 
 | 
Bersatu untuk Kedaulatan Indonesia
 | 
Ketika negara yang bernama Indonesia akhirnya terwujud pada tanggal 17 
Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa Indonesia, 
persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia masih harus berjuang 
dalam perang kemerdekaan antara tahun 1945-1949, tatkala penjajah 
menginginkan kembali jajahannya. Nasionalisme kita saat itu betul-betul 
diuji di tengah gejolak politik dan politik divide et impera 
Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran 
yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk 
membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan 
sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan 
dan ekonomi , nasionalisme bangsa Indonesia  
masih terus diuji dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah
 tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin,  masalah 
nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser 
kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula 
situasi ini dengan terjadinya tragedi nasional 30 September 1965. 
 
    
         Pada masa Orde Baru, wacana nasionalisme pun perlahan-lahan 
tergeser dengan persoalan-persoalan modernisasi dan industrialisasi 
(pembangunan). Maka "nasionalisme ekonomi" pun muncul ke permukaan. 
Sementara arus globalisasi, seakan memudarkan pula batas-batas 
"kebangsaan", kecuali dalam soal batas wilayah dan kedaulatan negara. 
Kita pun seakan menjadi warga dunia. Di samping itu, negara mengambil 
alih urusan nasionalisme, atas nama "kepentingan nasional" dan "demi 
stabilitas nasional" sehingga terjadilah apa yang disebut greedy state, negara
 betul-betul menguasai rakyat hingga memori kolektif masyarakat pun 
dicampuri negara. Maka inilah yang disebut "nasionalisme negara"  
         Tahun
 1998 terjadi Reformasi yang memporakporandak-an stabilitas semu yang 
dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis 
berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme
 itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme 
sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, 
dan liberalisasi yang semakin menggila.
  
         Kasus
 Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba menyeruakkan rasa 
nasionalisme kita, dengan menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". 
Setahun terakhir ini, muncul lagi "nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa 
Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran 
itu. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh
 elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun 
anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika peristiwa 
itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme kultural dan 
politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita. Fenomena yang 
membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah mencari keadilan di 
negerinya sendiri, korupsi yang merajalela mulai dari hulu sampai hilir 
di segala bidang, dan pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran 
HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, 
penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang 
lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini seakan menafikan 
cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad yang lalu. Itulah potret 
nasionalisme bangsa kita hari ini.
         Pada 
akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan 
kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang 
lalu.  Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme 
yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana 
bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan,
 tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita 
tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari 
kehancuran total
Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa
 Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti
 yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru 
 lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau 
perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari
 gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang 
terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. 
Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini 
telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam 
bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan 
hubungan ini akan kita lihat dulu unsur-unsur kolonialisme yang 
menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting:
Pertama. Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan 
hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan 
bangsa Indonesia. Karena itu nasinalisme Indonesia di bidang politik 
bertujuan menghilangkan dominasi politik negara asing dengan membentuk 
pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin badan permusyawaratan 
dan permufakatan dalam perwakilan.
Kedua. Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial 
berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk 
kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga 
diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya
 seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang 
diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan 
menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro. Larena itu 
nasionalisme Indonesia hadir untuk menghentikan eksploitasi ekonomi 
asing dengan berdikari.
Ketiga. Penetrasi budaya.  Kolonialisme juga secara 
sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan 
kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang 
dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui 
system pendidikan. Karena itu di bidang kebudayaan nasionalisme 
Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus 
diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh 
kebudayaan luar, tetapi  menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem 
nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia.
Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam dari semangat yang
 mendadasi Pancasila. Dan dapat dirujuk kepada pidato Bung Karno (7 Mei 
1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah:Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan
 Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat 
secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian 
sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan 
hidup Rakyat bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika'
Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh sejarahnya    itu 
maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga 
berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang 
membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya
 bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideologi Barat yang mempengaruhi 
perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, dan 
marhaenisme.Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang 
disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep
 yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan 
bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, 
kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan 
lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan 
sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang 
ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan 
Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada 
perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, 
serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum
 kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 
1928.  Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti 
berikut:
1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang 
bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. 
Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman 
dan keseragaman.
2.      Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri
yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan 
eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan 
hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.
3.      Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat
demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.
4.      Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan
dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.
5.      Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan
kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk 
berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa
Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia
khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Ernest Renan.
Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas
 Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila 
bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang 
membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan
sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan 
munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC 
dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam 
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi 
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
2.      Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan 
perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, 
sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan 
kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.
3.      Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki
keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun 
keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai
 kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya
 Hindu dan Islam.
4.      Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan diwilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5.      Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan 
hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.
 
Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Surabaya Prof Soetandyo 
Wignjosoebroto MPA berpendapat nilai-nilai nasionalisme sekarang 
memiliki tiga budaya dalam satu kesatuan. "Ketiganya dipegang 
sekaligus, tetapi digunakan sesuai situasinya yakni budaya lokal, 
nasional, dan global," katanya saat berbicara dalam seminar ’Memperkokoh
 Rasa Nasionalisme dalam Bingkai NKRI’ di Universitas Hang Tuah (UHT) 
Surabaya, Kamis.Seminar juga menampilkan Panglima Komando Armada 
RI Kawasan Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda TNI Agung Pramono SH M.Hum
 dan Ketua Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Unair Dr M Nafik 
SE selaku pembicara. Dalam seminar yang digelar Fakultas Hukum UHT
 Surabaya itu, peraih Yap Thiam Hien Award 2011 itu mencontohkan dirinya
 yang memegang budaya Jawa (lokal), budaya Indonesia (nasional), dan 
budaya global (Belanda/Jepang). "Bahasa Jawa adalah bahasa ibu 
dalam diri saya, meski pun saya pernah sekolah di Belanda dan bisa 
Bahasa Belanda, tapi saya nggak mungkin menggunakan bahasa itu bila 
bertemu keluarga. Sebaliknya, kalau saya diundang seminar di luar 
negeri, tentu saya akan mengikuti," katanya.Oleh karena itu, kata
 pengamat sosial dari Unair itu, pemakaian budaya lokal, nasional, dan 
global itu ada waktunya masing-masing. "Budaya Jawa di rumah, budaya 
Indonesia bila bertemu suku bangsa lain, dan bahasa asing bila di 
dunia," Namun, katanya, menyatukan tiga budaya itu bukan 
perkara yang mudah, karena menyatukan ratusan budaya yang ada di 
Indonesia dalam satu budaya Indonesia juga bukan mudah."Kalau 
tranplantasi jantung itu tinggal menempelkan, tapi transplantasi budaya 
dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi satu budaya 
Indonesia itu bukan asal tempel. Saya saja mengerti Bahasa Indonesia 
setelah berusia 10 tahun," katanya.Oleh karena itu, katanya, 
budaya Indonesia itu bukanlah menyatukan budaya menjadi sama, namun 
menyatukan budaya yang berbeda dalam kesatuan, karena itu nasionalisme 
sekarang adalah memegang tiga budaya berbeda dalam satu kesatuan."Persatuan
 itu menyamakan, tapi kesatuan itu bersatu dalam perbedaan, karena itu 
potensi separatisme itu sebuah keniscayaan dalam sebuah kesatuan yang 
perlu dialog terus menerus dan tidak bisa tergesa-gesa," katanya.Misalnya,
 pornografi tidak bisa disamakan dengan bahasa hukum melalui UU 
Anti-pornografi, sebab pornografi dalam setiap suku bangsa di Indonesia 
itu memiliki penafsiran yang berbeda-beda. "Jadi, nggak bisa dipaksakan.
 Itu hukum, politik juga begitu," katanya.Dalam konteks ekonomi, 
Ketua Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Unair Dr M Nafik SE 
menilai konsep pertumbuhan merupakan konsep ekonomi yang perlu 
dievaluasi, karena menyalahi dengan keanekaragaman di Indonesia.
"Konsep
 pertumbuhan justru mengancam Indonesia, karena konsep pertumbuhan itu 
berarti mengundang pihak asing untuk menguras sumber daya alam Indonesia
 dengan menghancurkan NKRI, karena potensi bangsa Indonesia dirusak 
secara sistematis,"Menurut dia, konsep pertumbuhan 
justru menghancurkan, karena terbukti perusahaan asing di Indonesia saat
 ini mencapai 64,2 persen, sedangkan perusahaan lokal hanya 35,88 
persen. Di Jatim juga sama yakni 56,60 persen perusahaan asing dan 43,40
 persen perusahaan lokal."Apakah tidak kalah namanya? Karena itu,
 konsep ekonomi yang sesuai untuk Indonesia adalah konsep sumber daya 
atau menggali potensi lokal untuk dikembangkan menjadi potensi nasional 
dan akhirnya potensi global," kata Prof Soetandyo 
Wignjosoebroto MPA
Merawat Keberagaman menuju Indonesia Raya yang Adil & Sejahtera 
Sejak lengsernya
Soeharto, Indonesia sudah menentukan pilihannya, yaitu memilih jalur demokrasi
dalam upaya mencapai tujuan-tujuan bangsa. Akan tetapi, demokrasi yang
berkembang ternyata diikuti dengan eskalasi konflik dan kekerasan, dan lebih parah
lagi, diikuti dengan merosotnya kesadaran kebangsaan. Watak bangsa yang penuh
paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga Indonesia mengalami krisis
kebangsaan. Negara yang diharapkan menjadi faktor penting untuk menjaga
persatuan nasional juga gagal menjalankan fungsi dasarnya dan bahkan ada
indikasi menjadi Negara gagal , karena aparat Negara korupsi ,suara rakyat jadi
alat jual beli suara dan kepentingan kelompok politik/ekonomi diatas
kepentingan rakyat dan Negara . Elemen-elemen demokrasi yang seharusnya
berperan memperkuat institusi demokrasi dalam praktik justru melakukan
langkah-langkah kontraproduktif yang kemudian menciptakan defisit demokrasi.Dalam  menelisik
keragaman yang kembali terusik dengan munculnya berbagai konflik berbau SARA ternyata
pada beberapa kasus konflik antar warga yang terjadi  dibeberapa tempat  kita menyaksikan fenomena yang sama.
Sekelompok warga beretnik, berbahasa, dan beragama tertentu menolak kehadiran
warga dengan latar belakang etnik, bahasa, dan agama yang berbeda dengan
mereka.Secara sosiologis itu menjadi indikasi bahwa kerukunan penduduk
pendatang dan penduduk asli yang dulu berhasil berintegrasi dengan damai
sekarang mengalami disintegrasi yang berdarah-darah alias hancur lebur. Sebagai
gambaran, Desa Gedong Tataan di Lampung merupakan basis pertama transmigrasi
petani Jawa di daerah luar Jawa. Itu terjadi pada 1905 alias 107 tahun yang
lalu.
Dalam perspektif hidup berbangsa dan bernegara konflik horizontal itu menjadi
indikasi bahwa NKRI mengalami kemunduran yang dahsyat. Negara memang absen.
Negara tidak hadir meredakan dan mengatasi konflik, apalagi dengan bijak
mempersatukan kembali sesama anak bangsa yang tercerai-berai. Boleh dibilang
negara bahkan melakukan pembiaran yang sistemis.Bila terus dibiarkan, fenomena
pecahnya integrasi anak bangsa di tingkat warga itu akan menjadi salah satu
rapor pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat Jelak , merah yang dicatat
sejarah
Jika model demokrasi Indonesia kebablasan ,
Apakah kita
keliru memilih jalur demokrasi ? kerukunan
bangsa justru terancam akibat sistem demokrasi yang dianut Indonesia.
Menurutnya, demokrasi di Indonesia terlampau liberal sehingga berpotensi
merusak tatanan kerukunan bangsa. "Selama sistem politik kita seperti ini,
kita harus siap menghadapi ketidakrukunan itu dimana-mana
, Namun saya tidak berpendapat demikian, pilihan demokrasi bagi Indonesia
bukanlah pilihan yang keliru. Banyaknya masalah yang terjadi menyusul
terjadinya demokratisasi tidak harus menjadi alasan untuk kembali kepada sistem
otoriter seperti yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru karena ongkos
sosial dari otoritarianisme sangatlah besar. Semua kekuatan politik harus
mengupayakan terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang harus
tetap dipertahankan at all cost. Indonesia menjadi
salah satu contoh keberhasilan demokrasi. Namun, akibat salah urus, keragaman
telah berubah menjadi pusat pertengkaran dan perkelahian yang melemahkan,
bahkan mengancam sendi-sendi berbangsa dan bernegara Republik Indonesia Raya
Namun agar
demokrasi tidak membawa Indonesia kepada kehancuran kita harus kembali kepada
jati diri bangsa. Meminjam istilah Tukul Arwana, kita perlu kembali ke laptop,
bukan bagi-bagi laptop. Maksud saya, selama ini kita kehilangan rasa
kebersamaan sebagai sebuah bangsa seperti terlihat dari mengemukanya konflik komunal
karena perbedaan agama, ras, suku, atau kelas sosial. Padahal keragaman
kerap menjadi salah satu kekuatan yang kerap ditonjolkan dan dibanggakan bangsa
ini. Dengan kekuatan keragaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya  Kita
tidak mungkin mengatasi masalah masalah tersebut dengan menghilangkan perbedaan
atau menghilangkan pluralitas masyarakat. Di
beberapa daerah, konflik antar warga kerap terjadi. "Kondisi ini terjadi
karena pemimpin negara ini tidak bisa bertindak tegas,"
Kita juga tidak mungkin
membangun semacam tembok Berlin yang menyekat wilayah-wilayah berdasarkan
pembagian suku atau agama dan membiarkan masing-masing mengembangkan
eksklusivisme. Seperti yang dikatakan Clifford Geertz (1971:19): (A)rchipalegic
in geography, eclectic in civilization, and heterogeneous in culture, (Indonesia)
flourishes when it accept and capitalizes on its diversity and disintegrates
when it denies and surpresses it.Jika yang dipilih adalah “menerima dan
memanfaatkan perbedaan”, maka mau tidak mau kita harus kembali ke jati
diri kita sebagai bangsa dengan melakukan revitalisasi terhadap visi kebangsaan
yang digagas oleh para founding fathers kita, yang saya sebut di sini
sebagai nasionalisme madani, suatu konsep kebangsaan yang dibangun berdasarkan
pengakuan dan penghormatan secara timbal balik antar warga atau kelompok
masyarakat yang berbeda agama, kepercayaan, ideologi, etnisitas, identitas
gender, atau kelas ekonomi, dan kesediaan di antara mereka untuk hidup secara
damai.
Agar tercipta
kehidupan sosial yang aman, harmonis, adil, dan sejahtera, negara harus
mempunyai kapasitas dan kemauan kuat untuk menciptakan situasi aman bagi
seluruh warga. Negara tidak boleh dibiarkan berada dalam kondisi yang lemah dan
tidak pula dapat dibiarkan menjadi negara gagal. Dengan begitu, penguatan Negara
dalam kerangka demokrasi haruslah menjadi agenda pertama. Karena pengalaman
yang panjang berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang represif dan korup, serta
karena euforia demokrasi, rakyat tidak mudah percaya kepada pemerintahnya
sehingga apa pun kebijakan yang dibuat pemerintah selalu dianggap keliru oleh
masyarakat. Akan tetapi, di lain sisi, elemen-elemen negara (politisi,
birokrat, militer, atau aparat penegak hukum) bukannya berinvestasi untuk menanamkan
kepercayaan kepada masyarakat dengan menonjolkan sikap dan
perilaku terpuji, menjaga rasa keadilan masyarakat, tetapi justru terus-menerus
memproduksi ketidakpercayaaan publik (publicdistrust). 
Oleh karena itu,
ke depan para stakeholder negara harus mampu mengembangkan kebijakan dan
perilaku publik yang bertanggung jawab, serta mampu memproduksi public trust
sehingga mempunyai kewibawaan dalam menangani berbagai masalah yang mendera
masyarakat. Upaya memperkuat negara tidak dapat dilepaskan dari factor agama.
Posisi agama dalam konstitusi negara cukup unik.  Republik Indonesia bukan negara sekuler, juga
bukan negara agama. Karena bukan negara sekuler, agama tidak diprivatkan.
Sebaliknya, karena bukan negara agama, kitab suci agama tertentu tidak menjadi konstitusi.
Di negara yang bukan-bukan ini dualisme hukum menjadi tidak terhindarkan dan
penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena adanya tarik-menarik yang sangat
kuat antara kecenderungan memprivatkan agama dan mengagamakan negara. Jika
konflik seperti ini dibiarkan, kesatuan dan persatuan bangsa menjadi
taruhannya. Konflik wacana seperti ini saya kira perlu dikembalikan kepada
citacita luhur para founding fathers ketika memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia dan menyusun konstitusi negara  
Dengan itu, saya
tidak mau mengatakan agama perlu dipinggirkan. Sebaliknya, agama justru harus
hadir di tempat yang terhormat, yaitu sebagai sumber inspirasi bangsa, sebagai
kekuatan pendamai dan pemersatu, bukan sebagai faktor pemecah belah, seperti harapan
Romo  Suharyatmoko  (2003:xii): Agama harus menjadi fondasi
yang kuat untuk menghadapi dunia yang gelisah dan bukannya justru
menjadi penyebab kegelisahan atau sumber pembenaran kekerasan. 
Untuk menjadi
demikian, agama sarat dengan ajaran yang menyejukkan. Dalam Alquran, Allah SWT
berfirman: Wamaa arsalnaaka illa rahmattallil ’alamin (tidaklah kami
mengutus kamu [hai Muhammad] melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam).
Sementara itu, Rosulullah Muhammad SAW yang membawa mandat Allah SWT sebagai
Pemberi Rahmat bersabda, “Irkhamuu manfilardhi yarkhamkum manfissama”
(sayangilah orang yang tinggal di bumi, maka yang di langit akan
mengasihi kalian).
Salah satu faktor kuat yang
terus mengikis nasionalisme bangsa Indonesia adalah globalisasi. Globalisasi
adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya
sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Edison A. Jamli dkk. Kewarganegaraan. 2005).Globalisasi
berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi
dan komunikasi memberikan peran yang sangat penting bagi berlangsungnya proses
globalisasi. 
Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme Dikalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan
muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh
globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian
diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang
muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu 
negara termasuk Indonesia. Globalisasi mempunyai pengaruh yang positif 
dan juga pengaruh negatif. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak secara 
langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Namun secara keseluruhan 
dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang 
atau bahkan hilang.rasa berbangsa satu - Bangsa Indonesia
 
 | 
Peta Lokasi yang dieksploitasi Asing
 | 
Di era Reformasi sekarang ini, Barat melalui Bank Dunia dan IMF, 
berhasil menguliti Indonesia, dan bahkan Barat berhasil melakukan "take 
over" secara silence (diam-diam), di mana dengan menukangi partai 
politik dan anggota perlemen, kemudian lahirlah undang-undang yang 
sangat liberal, yang menjamin semua kepentingan asing masuk ke dalam 
kedaulatan Indonesia.
Liberalisasi alias penjajahan baru yang dilakukan Barat, berhasil 
dengan sangat efektif. Melalui legislatif bersamaan dengan lahirnya 
sejumlah undang-undang yang sangat liberal, yang memungkinkan fihak 
asing mengambil alih semua asset negara, tanpa ada lagi restriksi 
(hambatan), karena semua telah dijamin oleh undang-undang yang dibuat 
oleh lembaga legislatif.
Jadi, penjajahan Barat itu terhadap kedaulatan Indonesia, yang 
terjadi sekarang ini, diberikan kekuatan hukum oleh legislatif. Tengok 
saja undang-undnag minyak, undang sumber daya air,  undang-undang 
keuangan, dan sejumlah undang-undang lainnya, semuanya itu hanya 
memberikan jalan bagi pihak asing mencaplok asset negara, yang berarti 
bentuk penyerahan Republik kepada asing, yang dilindungi oleh 
undang-undang yang dibuat legislatif.
Orang berteriak adanya penguasaan asing terhadap sumber daya alam 
(SDA) Indonesia, tetapi fihak asing itu, sejatinya telah memiliki 
legitimasi adanya undang-undang yang disyahkan oleh wakil rakyat 
Indonesia. Jadi, apalagi masalahnya, yang sekarang diperdebatkan? Di era SBY, begitu pula asset SDA diserahkan kepada asing, seperti 
minyak di blok Cepu (Jawa Tengah), blok gas Mahakam, yang akan habis 
masa kontraknya tahun 2017, yang memiliki cadangan gas triliun kubik,  
tetapi sekarang akan diperpanjang lagi, dan ini sangat menguntungkan 
kepada fihak asing.
Padahal, Pertamina sudah sangat mampu menelolanya, dan ini sangat 
menguntungkan bagi kepada kepentingna nasional Indonesia. Tetapi, 
mengapa blok Mahakam ini, kontraknya akan diperpanjang lagi dengan fihak
 asing?.Sekarang, barang-barang import masuk bagiakan air bah, tak ada lagi 
perlindungan terhadap industri dalam negeri. Apalagi, di zamannya 
Menteri Perdagangannya Mari Pangestu, mantan Direktur CSIS,  semuanya 
barang dari  Cina seperti air bah, dan tak ada lagi pembatasan, dan 
bahkan barang selundupan pun menjadi sangat marak. Benar-benar menjadi 
malapetaka. Terutama bagi industri dalam negeri.
Sekarang orang berbicara tentang nasionalisme dan identitas 
Indonesia, yang sekarang sudah habis tergerus oleh asing. Seperti 
diucapkan oleh anak Bung Karno, Megawati, di Mukernas di Surabaya, di 
mana cucunya, sudah ketagihan terhadap tokoh bintang film dan pemusik 
Barat, yaitu Justin Bieber ,Gangnam Style dan lain sebagainya 
Kalangan nasionalis lebih galau lagi, karena ideologi 
negara Pancasila, sudah ditinggalkan dan tidak laku lagi dikalangan 
muda. Hasil survei di 5 perguruan tinggi negeri, 86 persen mahasiswa sudah 
tidak lagi mengenal Pancasila, dan menolak ideologi negara yang dibuat 
oleh Soekarno. Bukan hanya di Jakarta, sebuah media di Jakarta, 
menyebutkan sampai universitas di Lombk dan NTT pun, mahasiswa sudah kurang mengenal apalagi memahami Pancasila. ini jelas-jelas sudah jauh melenceng dari cita cita Para Pendiri Bangsa Indonesia 

Bagaimana Rakyat Indonesia menjaga Persatuan Bangsa ? 
Setiap jenjang generasi muda Indonesia harus bisa mengevaluasi konsep kerukunan. Menurut Romo 
Magnis, biasa Franz akrab disapa, kerukunan tidak akan pernah tercapai 
100%. Meskipun begitu, seluruh elemen bangsa harus belajar bagaimana 
mengelola perbedaan, baik perbedaan agama dan etnik, maupun perbedaan 
pendapat dan kepentingan. "Kita harus belajar bahwa perbedaan itu 
wajar, "Generasi muda Indonesia tidak boleh diam, mengingat keberadaan pemuda pada masa
 lalu acapkali berjuang untuk menegakkan kehormatan bangsa, oleh karena itu 
perjuangan menegaskan kedaulatan nasional, akan selalu hadir untuk 
disongsong oleh kaum muda Indonesia  di zaman Gobalisasi ini .
 
Sebagai bahan
renungan bagi kita semua dalam mengelola bangsa yang tengah berada dalam
situasi carut-marut ini, Teringat kami akan sepenggal puisi pamphlet karya Almarhum WS Rendra :
Keadilan di dalam alam boleh dilihat,
boleh ditunggu
Keadilan di masyarakat harus dijaga
tanpa ragu
Keadilan di masyarakat tidak datang dari
langit harus dibina dengan keringat, harus dicapai walaupun sulit mengayomi semua
rakyat tanpa kecuali.