Budaya Korupsi : Milik Kita Bersama ?
Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama? .. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama… Ia sangat cair,bahkan bisa seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata,sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging dimasyarakat disemua kelas dan status sosial secara lebih menyeluruh pada kehidupan negara kita….
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa??? …
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor!! ” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor…Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.
…………….
Dulu Suharto bikin Kraton Kemukus; kraton sempalannya nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR ” dan “DPR ”, dan akhirnya hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit…
Rakyat Indonesia tidak keberatan dengan “Kraton” berlabel “Republik” itu, karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini.
Dan sampai hari inipun kaum intelektual juga tidak pernah mengakui bahwa ORBA adalah “Kraton ”, karena diam-diam di dalam kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor ” atau inferioritas “kawulo ” ; masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut ”, “pakewuh ” atau “segan ”,..
juga karena sejak semula mereka diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem” OrBa agar bisa ikutan Korupsi. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima proposal lamaran mereka untuk jadi abdi dalem di Kraton Dinasti OrBa, barulah mereka tampil di media-media massa sebagai Oposan/Lawan yang kencang berteriak…“Suharto Korup !! Abdi-Abdi Dalem OrBa, Korup !!”
Kemudian, setelah Prabu Haryo Suharto Lengser karena dihantam dari sana-sini, dari External maupun Internal Keraton, dari kalangan jelata,mahasiswa,preman sampai militer..dari Cuaca dan Iklim Perekonomian Dunia yang bergeser kearah jurang krisis moneter yang mempengaruhi stabilitas power kedinastiannya yang lalu kemudian di tambahi lagi pergesekannya oleh lawan-lawan politik yang dulu lamarannya di tolak sang prabu dengan membangkit-bangkitkan rasa sakit dari borok kesenjangan sosial dikalangan rakyat keraton yang sudah lama menunggu kesempatan membalaskan luka mereka dengan kebebasan hewani utk menjarahi orang-orang china ; baik harta maupun wanita-wanitanya…….lalu ketika Suharto sudah tidak lagi menjadi Prabu, mereka yang dulu penjilat-penjilat setianya merubah wajah mereka dengan wajah-wajah yang lebih “reformis”-mereka yang dulu ditolak lamarannya menjadi bagian penjilat Suharto mulai sibuk membenahi penampilan mereka utk bersiap duduk dikursi-kursi Keraton yang ditinggalkan Suharto: untuk meneruskan kekuasaan dan tradisi Korupsinya.
tulisan ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama.
view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini ”. Sebelum mengKorupsi uang dan harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi….
pergantian demi pergantian dinasti penguasa di negara ini belum ada yang bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya..bagaimana mungkin kita bisa hidup tidak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, Handphone ? ; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan gemerlap??..maka untuk mendapatkan itu semua, bakat tradisi korupsi akhirnya terus terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-mudahan…Dengan hasil korupsi, kita bisa memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses,Pesantren dan Masjid yang kita bantu dengan hasil jerih payah korupsi kita bisa menyimpulkan kita adalah dermawan… masyarakat yang melihat bisa menganggap bahwa kita adalah “orang yang benar-benar Baik ”: buktinya; punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka….
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi karena yang korup dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit tenang…