Rabu, Juli 28, 2010
Dokumen Bocor, Ratusan Informan Amerika Terancam
Kabul – Ratusan warga sipil Afganistan yang menjadi informan militer Amerika Serikat terancam akibat bocornya 90 ribu dokumen perang Afganistan.
Dalam dokumen yang dipublikasikan situs Wikileaks terdapat banyak nama, yang dalam beberapa kasus mencantumkan nama individu informan.
Misalnya dalam dokumen terdapat laporan wawancara militer terhadap seseorang yang berpotensi membangkang dari kelompok Taliban. Nama militan itu ditulis lengkap dengan nama ayahnya dan desa tempat ia tinggal.
“Kebocoran ini membuat banyak nyawa dan integritas warga Afganistan terancam,” kata petugas senior di kementrian luar negeri Afganistan seperti dilaporkan hari ini, Rabu 928/7). “Amerika bertanggung jawab secara moral dan hukum atas kerugian yang dialami individu akibat kebocoran itu, terutama mereka yang namanya disebut.
Masih kata pejabat yang namanya dirahasiakan itu, kebocoran ini juga akan membatasi akses internasional dan Amerika ke depannya untuk tak mensensor pandangan warga Afganistan.
Salah seorang bekas pejabat intelijen bahkan yakin Taliban bisa saja melancarkan serangan balas dendam kepada pengkhianat dalam beberapa hari mendatang.
Situs Wikileaks mempublikasikan dokumen laporan perang Afganistan dari 2004 sampai 2010 sejak Ahad lalu. Namun mengenai nama-nama informan Amerika, pendiri Wikileaks Julian Assange mengklaim telah memindahkan informasi-informasi yang sifatnya sensitif.
Dengan mendekatnya operasi militer besar-besaran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) terhadap kelompok militan Taliban di Provinsi Kandahar, perbedaan pendapat antarpejabat militer dan politik AS terus mengemuka. Friksi itu semakin jelas menyusul pengunduran diri Panglima Militer di Afghanistan, Jenderal Stanley McChrystal yang disetujui oleh Presiden AS, Barack Obama.
Pernyataan McChrystal dalam wawancaranya dengan Majalah Rolling Stone mencerminkan adanya persilangan pendapat serius antarpejabat militer dan politik AS. Hasil wawancara itu juga membuat McChrystal harus mengundurkan diri dari jabatannya. Obama yang juga kebakaran jenggot karena pernyataan McChrystal itu, spontan menyetujui pengunduran diri Panglima Militer di Afghanistan itu. Masalah Afghanistan adalah di antara masalah yang diperselisihkan antarpejabat militer dan politik di AS.
Dalam wawancaranya dengan Rolling Stone, McChrystal ketika menjawab pertanyaan terkait kesangsian Wakil Presiden AS, Joe Biden, akan strategi perang Afghanistan, mengatakan, "Siapakah Biden itu? Apakah dia adalah wakil presiden AS?
Panglima Perang di Afghanistan juga menyinggung penentangan Duta Besar AS di Afghanistan, Karl W. Eikenberry, terhadap kebijakan penambahan pasukan dan logistik di negara ini, dan menuding diplomat Gedung Putih ini sebagai pengkhianat.
McChrystal dalam menjelaskan pengkhianatan Duta Besar AS di Afghanistan, mengatakan, pada tahun 2009, diplomat Gedung Putih ini mempertanyakan kebijakan penambahan pasukan di negara ini. Menurutnya, langkah Eikenberry sengaja ditempuh untuk menjaga namanya dalam sejarah. Dengan cara itu, Eikenberry ingin menjelaskan bahwa dirinya jauh hari, sudah mengingatkan akan kekalahan AS di Afghanistan. Ini adalah upaya lepas tangan dari segala kekeliruan kebijakan AS di Afghanistan.
Obama Bersandiwara
Pemublikasian hasil wawancara dengan McChrystal membuat para pejabat Washington, termasuk Obama, kebakaran jenggot. Karena pernyataan McChrystal yang dinilai menghina sejumlah pejabat Washington itu, Panglima Militer di Afghanistan ini dipanggil di Gedung Putih. Hari Rabu lalu. Dalam pemanggilan itu, McChrystal di Gedung Putih tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan terkait pernyataannya, kepada Barack Obama.
Bersamaan dengan pengunduran diri McChrystal, muncul sebuah analisa bahwa Panglima Militer di Afghanistan tidak akan mampu mempertahankan jabatannya meski sudah menjelaskan dengan argumentasi yang baik. Sebab, para pejabat militer AS mendesak McChrystal supaya dicopot dari jabatannya. Untuk itu, Obama sengaja menampilkan pemanggilan sandiwara kepada McChrystal sehingga pengunduran Panglima Militer di Afghanistan ini terkesan tidak sepihak dari Gedung Putih.
Beberapa menit setelah pemanggilan McChrystal di Gedung Putih, Obama dalam penjelasannya di hadapan para wartawan menunjukkan adanya perbedaan pendapat antarpejabat militer dan politik di Washington tanpa memperhatikan hasil perang Afghanistan, bahkan hal ini menjadi alat untuk menentukan strategi perang dan memetik kemenangan di negara ini.
Lebih lanjut Obama menjelaskan bahwa langkah McChrystal dapat membahayakan Amerika dan melemahkan kontrol non-militer di negara yang bersistem demokrasi. Sejumlah pengamat menilai pengunduran diri McChrystal sebagai pesan bagi para pejabat militer dan politik. Pesan itu ingin menyampaikan bahwa hanya para pejabat politik yang dapat menentukan strategi perang di Afghanistan, sedangkan para pejabat militer hanya menjadi pelaksana kebijakan Washington.
Evaluasi Washington Tidak Valid
Dalam kondisi seperti ini, laporan inspektur khusus untuk urusan konstruksi di Afghanistan, Arnold Fields, menjelaskan kekeliruan metode evaluasi Gedung Putih dalam mengukur kemampuan pasukan lokal Afghanistan. Ini juga menunjukkan bahwa janji Washington untuk meningkatkan kemampuan militer dan polisi Afghanistan tidak terealisasi.
Berdasarkan laporan Fields, metode evaluasi yang dijadikan tolok ukur utama Gedung Putih dalam lima tahun terakhir ini adalah cacat, dan bahkan tidak valid. Berdasarkan laporan tersebut, para pejabat AS mengkhawatirkan penempatan pasukan lokal Afghanistan di front terdepan untuk menghadapi kelompok militan Afghanistan.
Dari sisi lain, para pejabat AS tidak hanya terlilit oleh perselisihan pendapat soal perang di Afghanistan, termasuk masalah mendahulukan strategi serangan udara atau darat, tapi juga terjebak pada perselisihan pendapat dengan pemerintah Afghanistan dalam memerangi kelompok radikal di negara ini. Perselisihan ini menyebabkan perang terhadap kelompok radikal tidak efektif.
Para pejabat Afghanistan bersandarkan pada hasil operasi bersama di Helmand yang digelar beberapa bulan lalu, juga mengkhawatirkan dampak yang sama dalam operasi bersama di Kandahar. Mengingat bahwa pasukan asing tidak dapat menundukkan kelompok militan dalam operasi militer di kota kecil seperti Marjah dan Nade Ali di Provinsi Helmand, maka pemerintah Afghanistan menyimpulkan bahwa operasi berskala luas di Provinsi Kandahar akan berdampak lebih buruk dibandingkan dengan operasi militer di dua kota yang sekupnya lebih kecil.
Menurut prediksi para pejabat pemerintah Afghanistan, operasi militer dalam skala luas di Kandahar, selain hanya menghasilkan upaya minimal dalam menangkap kelompok militan Taliban, juga akan menelantarkan ratusan keluarga Afghanistan dan menelan banyak korban bagi warga negara ini. Inilah dampak-dampak negatif jika pasukan AS tetap melancarkan serangan terhadap kawasan Kandahar setelah gagal di Helmand.
K.P.K Dulu Cicak, Kini Kura-kura
OBROLAN yang dibuka dengan gelak tawa itu berubah murung. "Sekarang status saya tidak jelas, tersangka atau bukan," kata Chandra M. Hamzah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, awal Juli lalu.
Hadir dalam diskusi dengan jurnalis dan komunitas narablog di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ia didampingi Bibit Samad Rianto, sesama Wakil Ketua KPK. Keduanya dijadikan tersangka oleh polisi sejak September tahun lalu, dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. "Kami sendirian, kanan-kiri ada koruptor," kata Bibit.
Chandra mengakui berlarut-larutnya kasus itu mem pengaruhi kinerja KPK. "Bohong kalau dibilang kami tidak terpengaruh." Dia lalu membeberkan angka-angka penyelesaian kasus di lembaganya sepanjang 2009. "Ada penurunan jumlah penyelidikan dan penyidikan," katanya terus terang.
Di bawah tekanan publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya telah memerintahkan Jaksa Agung menghentikan kasus Chandra dan Bibit, yang diduga menjadi korban rekayasa. Jaksa Agung Hendarman Supandji pun mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) pada akhir November 2009.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Juni lalu, mementahkan lagi penyelesaian itu. Mengabulkan gugatan pengusaha Anggodo Widjojo atas penerbitan surat penghen tian penuntutan, hakim meminta kasus itu dilimpahkan ke pengadilan. "Enam bulan setelah keluarnya penghentian penuntutan, ternyata masalah kami belum tuntas juga," kata Chandra.
Buntut putusan itu kini terasa. Sampai pekan lalu, sejumlah kasus kakap yang di atas kertas sudah bisa berlanjut, tak terdengar lagi gaungnya. Kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mandek. Kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah provinsi juga tak terdengar.
Sejumlah pegawai KPK, diam-diam ataupun terang-terangan, mengaku kehilangan arah. "Tak ada kepemimpin an di sini," kata satu pegawai. Situasi diperparah oleh kepergian para pemimpin di level menengah. Satu demi satu mereka memilih mengundurkan diri dan pindah ke lembaga lain.
Maret lalu, keluar pula Chesna Anwar (Direktur Pengawasan Internal) dan Budi Ibrahim (Direktur Pengolah an Informasi dan Data). Sebelumnya, Lambok Hutauruk (Direktur Gratifi kasi) dan Roni Ihram Maulana (Direktur Monitoring) sudah angkat kaki. Dua polisi yang kinerjanya dinilai baik, Bambang Wirdayatmo (Direktur Penyidikan) dan Ahmad Wiagus (Direktur Pengaduan Masyarakat), juga sudah "cabut". Sampai pekan lalu, pengganti empat posisi direktur belum dilantik.
"Jelas ada krisis di KPK," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Benny K. Harman akhir pekan lalu. "Kalau tak segera ditangani, lembaga itu bisa-bisa jadi macan ompong."
PELEMBAMAN KPK berawal dari penangkapan sang ketua, Antasari Azhar, Mei tahun lalu. Dia dituduh terlibat pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ketika ditahan polisi, Antasari membuat testimoni mengenai dugaan peme rasan yang dilaporkan pengusaha Anggoro Widjojo, adik kandung Anggodo.
Testimoni inilah yang dipakai polisi mengejar Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Menggunakan peng akuan Ary Muladi, kolega Anggodo yang mengatakan telah menyerahkan sejumlah uang kepada pemimpin KPK, polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka. Padahal pengakuan Ary kepada polisi itu telah dicabut.
Kasus Antasari dan dua pemimpin lainnya membuat KPK luluh-lantak. Apalagi ruang kerja pemimpin jantung dari semua operasi KPK sempat digeledah. Sejumlah pegawai pun bolak-balik diperiksa polisi. "Kami waktu itu tidak bisa bekerja, karena terus-menerus diperiksa," kata Wakil Ketua KPK Haryono Umar, Kamis pekan lalu.
Pukulan terakhir datang dari pembatalan SKPP dalam kasus Bibit dan Chandra. Sepekan setelah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu di umumkan, Wakil Ketua KPK M. Jasin mengumumkan kebijakan baru lembaganya. "Hal-hal penting yang ber kait an dengan penandatanganan surat ditangani saya dan Pak Haryono Umar," kata Jasin. Keputusan itu, kata dia, diambil untuk menghindari polemik. "Ini demi keamanan dan keabsahan setiap tindakan KPK."
Sumber Tempo mengatakan keputusan internal itu sempat disesalkan. "Seharusnya tidak perlu diumumkan begitu," katanya. Dalam satu diskusi, Bibit dan Chandra juga berulang-ulang menegaskan posisi mereka tetap sah sebagai pemimpin KPK. "Keputusan Presiden yang membatalkan nonaktifnya kami berdua belum dicabut," kata Bibit. Namun mereka setuju tidak lagi menandatangani berkas perkara.
Keputusan inilah yang dituding sebagai pangkal mandeknya sejumlah kasus korupsi yang ditangani KPK. Latar belakang Haryono dan Jasin sebagai akuntan dan birokrat memang membuat keduanya bertanggung jawab di bidang pencegahan, bukan penindak an. Selama ini, yang menjadi motor di bidang penindakan memang Bibit dan Chandra.
Walhasil, dalam beberapa gelar per kara, meski penyidik sudah menyatakan alat bukti lengkap, keputusan pemimpin bisa mementahkan semua. "Kalau memang dua pemimpin setuju, dan dua yang lain belum, ya statusnya ditunda," kata Haryono. "Kami minta penyidik melakukan pendalaman lagi." Namun dia membantah ada pelembaman kerja KPK dalam satu bulan terakhir. "Semua tetap kenceng kok," katanya menjamin
Sumber: Tempo Interaktif
Langganan:
Postingan (Atom)