Selasa, April 26, 2011

KENAPA REZIM KHADAFI DISERANG NATO NAMUN PARA PEROMPAK SOMALIA TIDAK DIBASMI



Rakyat Indonesia hari - hari ini sedang dirudung keprihatinan karena belasan pelautnya tengah disandera pembajak Somalia. Dalam sebuah berita online tentang perompak Somalia, ada seorang komentator yang bertanya, "Mengapa negara-negara Barat mau bersepakat menyerbu Libya, tetapi tidak ada tindakan yang mereka ambil untuk mengamankan Teluk Aden?

Sungguh sebuah pertanyaan yang kritis. Ya, mengapa perompak Somalia ‘dibiarkan' sedemikian merajalela? Masa sih AS dan NATO dengan persenjataan mereka yang sangat canggih tak mampu menumpas pembajak laut dari sebuah negara sangat-sangat miskin, Somalia?

Dulu saya pernah menulis mengenai indikasi ‘pembiaran' perompak Somalia itu, dengan mengutip analisis William Engdahl dari Global Research. Singkatnya begini, AS yang melancarkan serangan ke Yaman dengan alasan ‘mengejar Al Qaeda', sesungguhnya menghendaki perubahan rezim di sana. Yaman berbatasan dengan Arab Saudi di utara, Laut Merah di Barat, Teluk Aden dan Laut Arab di selatan, di seberang Teluk Aden ada Somalia, Jibouti. Di sebelah Jibouti berderet Eritrea, Sudan, dan Mesir. Dengan demikian, semua negara itu (Arab Saudi, Mesir, Somalia, Jibouti, Eritrea, Sudan, dan Yaman saling berhadapan dengan Selat Mandab (Bab el Mandab) yang super-strategis.Tanker-tanker minyak dari Teluk Persia harus lewat ke Selat Mandab, baru kemudian melewati Kanal Suez, dan menuju Mediterania.

Menurut Engdahl, jika AS punya alasan yang diterima opini publik internasional untuk memiliterisasi Selat Mandab, AS akan punya kartu truf di hadapan Uni Eropa dan China bila mereka ‘berani' di hadapan AS. Suplai energi China dan Eropa sangat bergantung dari Selat Mandab. Bahkan Selat Mandab bisa dipakai AS untuk menekan Arab Saudi agar tetap melakukan transaksi dalam dollar Amerika (sebagaimana pernah diberitakan media, Arab Saudi dan beberapa negara -termasuk Iran-pernah melontarkan keinginan untuk melakukan transaksi tidak dengan dollar). Engdahl juga menyebutkan adanya informasi dari Washington bahwa ada sumber minyak yang luar biasa besar di Yaman, yang sama sekali belum dieksplorasi.

Engdahl kemudian menyoroti kasus bajak laut Somalia yang membuat kacau di Selat Mandab selama dua tahun terakhir. Pertanyaannya: bagaimana mungkin bajak laut dari Somalia, sebuah negara yang berada di nomor teratas dalam list ‘negara gagal' (failed state) sampai punya senjata dan logistik yang canggih, sampai-sampai dalam dua tahun terakhir mampu membajak 80 kapal dari berbagai negara? Bahkan pembajak Somalia itu memakai gaya-gaya penjahat di negara maju: menelpon langsung kantor koran Times di Inggris, memberitahukan bahwa mereka sudah membajak. Saat ini, tercatat ada 56 kapal asing yang masih berada dalam ‘tawanan' pembajak Somalia beserta 800-an awak kapalnya. Selain kapal Indonesia "Sinar Kudus", ada kapal FV NN Iran yang ditawan sejak 2 Maret 2009 bersama 29 krunya.

Merajalelanya perompak Somalia di Selat Mandab memberi alasan kepada AS untuk menaruh kapal perangnya di sana. Pemerintah Mesir, Sudan, Jibouti, Eritrea, Somalia, Arab Saudi, sudah terkooptasi oleh AS sehingga diperkirakan tidak akan memberikan reaksi negatif bagi militerisasi AS di Selat Mandab. Kini, masih ada satu negara di sekeliling Selat Mandab yang masih perlu ditaklukkan: Yaman.
Pemerintah Yaman memang pro-AS, tapi masalahnya, Presiden Ali Abdullah Saleh tidak cukup kuat untuk mengontrol negaranya, karena itulah dia harus ‘digulingkan'. Aksi-aksi protes di Yaman saat ini, karenanya, sangat bersesuaian dengan keinginan AS.

Analisis Engdahl ini terasa klop dengan laporan dari AFP yang merilis pernyataan dari pejabat Interpol. Menurut mereka, aksi-aksi pembajakan di lepas laut Somalia dikontrol oleh sindikat kriminal, termasuk orang-orang asing (non-Somalia) yang tergiur oleh kesempatan untuk mendapatkan uang tebusan multi-juta dollar. Para pembajak itu memiliki senjata-senjata dan alat pendeteksi yang sangat canggih sehingga mereka mampu melakukan pembajakan di perairan dengan jarak yang sangat jauh, bahkan mencapai 1.200 nautical mil (=1380,935 mil) di lepas pantai Somalia. Mick Palmer, pejabat Interpol dari Australia, menyatakan bahwa ada bukti yang jelas, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kecanggihan perlengkapan yang dimiliki para pembajak. "Jadi mereka mendapatkan bantuan yang sangat canggih dalam mendeteksi keberadaan kapal-kapal perdagangan besar," kata Palmer.

Tak heran bila Jean-Michel Louboutin, direktur eksekutif kepolisian di Interpol yang berbasis di Prancis menegaskan, "Ini adalah kejahatan yang terorganisasi."

Lebih jauh lagi, pejabat Interpol itu menjelaskan bahwa pembajak laut Somalia sebenarnya hanya mendapatkan sebagian kecil dari uang tebusan. Rata-rata, setiap dua juta dollar yang mereka dapatkan sebagai uang tebusan, hanya 10.000 dollar yang masuk ke kantong mereka. Sisanya, masuk ke kantong sindikat kriminal. Setengah juta dollar akan diambil oleh orang yang menghantarkan tebusan (biasanya diantarkan dengan helikopter yang mendarat di atas kapal yang dibajak), dan setengah juta dollar lagi diambil oleh negosiator.
Dengan tegas Palmer menyatakan, "Ini adalah sebuah industri besar. Besar sekali uang yang bisa dihasilkan dari pembajakan. Tetapi, para pembajak itu sendiri, banyak di antara mereka adalah remaja miskin, hanya mendapat sebagian kecil saja dari uang itu."
Jadi, bila kita kembali ke pertanyaan yang diajukan komentator di atas, setelah membaca uraian artikel ini, menurut Anda, apa jawabannya?[]

Minggu, April 24, 2011

U.S.A PELANGGAR HAM ATAU PEMBELA HAM





Departemen Luar Negeri AS setiap tahun, mempublikasikan laporan pelanggaran hak asasi manusia negara-negara dunia. AS mengklaim diri sebagai pemimpin dunia. Dengan laporan seperti ini, AS ingin diakui sebagai super power di dunia. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hak asasi manusia mendapat perhatian besar sedemikian rupa dari Washington? Puluhan pakar dikerahkan untuk mempublikasi laporan tahunan hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia. Mengapa AS yang berkekuatan besar dari sisi militer dan ekonomi, masih membutuhkan kebijakan yang mengesankan sebagai pembela HAM di dunia?

Kecenderungan semacam ini sebenarnya muncul setelah hancurnya kekuatan Timur. AS setelah perang dingin, kehilangan Uni Soviet yang juga musuh terbesar di dunia yang secara tidak langsung melegalkan intervensi AS di berbagai negara. Setelah berakhirnya perang dingin, AS tidak memproduksi produk domestik bruto terbesar, tidak menganggarkan anggaran terbesar militer dan gudang senjata, serta tidak mempunyai hak untuk mengintervensi negara-negara.

Mau tidak mau, Washington dituntut untuk menjustifikasi superioritasnya di hadapan masyarakat dunia. Karena inilah, AS mengklaim sebagai pembela HAM dan demokrasi, bahkan klaim itu sengaja dimunculkan lebih kentara dibanding periode perang dingin.

Pelanggaran HAM di AS

Pada faktanya, hak asasi manusia adalah isu penting bagi kebijakan AS. Dari laporan itu, negara yang menjadi pendukung AS atau bukan dapat diketahui dengan baik. Laporan tahunan HAM yang dirilis Deplu AS juga dijadikan sebagai sikap AS atas negara-negara di dunia. Tak diragukan lagi, Republik Islam Iran menjadi pelanggan tetap dalam laporan pelanggaran HAM yang dirilis Deplu AS.

Iran disinggung sebanyak 80 halaman dalam laporan tahunan HAM yang dirilis Deplu AS. Pemublikasian pelanggaran HAM oleh Deplu AS dapat dikatakan sebagai tindakan pengulangan rutin. Akan tetapi perilisan itu kini kurang menjadi perhatian di dunia menyusul pelanggaran HAM AS di negeri sendiri dan negara-negara lain.

Pelanggaran HAM oleh AS sudah menjadi rahasia umum. Meski demikian, AS tetap tak malu diri dengan terus merilis daftar nama-nama negara yang diklaim sebagai pelanggar HAM. Iran, Rusia, Cina dan sejumlah negara lain penentang kebijakan Washington menjadi pelanggan tetap dalam daftar nama pelanggar HAM yang dibuat oleh AS. Bahkan klaim pelanggaran negara-negara itu dijabarkan secara detail.

Sejumlah media AS juga mengakui perilisan daftar nama negara pelanggar HAM sebagai alat Washington untuk menyudutkan negara-negara yang dianggap melawan kebijakan Gedung Putih. Buletin Foreign Policy yang juga termasuk media terkemuka di AS mempertanyakan klaim-klaim AS yang menuding Iran sebagai palanggra HAM. Dalam buletin itu disinggung bahwa AS tak memperhatikan hak manusia yang paling mendasar. Hal itu terjadi pada tindakan tentara AS yang dikirim ke negara-negara lain. Buletin juga menyebut pemberlakuan sanksi atas Iran sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang nyata oleh AS.

Media terkemuka AS itu juga menyinggung kejahatan-kejahatan AS seperti serangan militer ke dua negara, penculikan, penyiksaan atas ribuan tahanan di Guantanamo, Begram dan Abu Ghraib. Sumber yang sama juga menyebutkan kasus 15 tentara AS yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan penyiksaan terhadap para tahanan. Dilaporkan, "Dari 15 tentara hanya satu orang yang dinyatakan sebagai pelanggar hak asasi manusia dan penyiksa para tahanan. Pengadilan juga hanya menyatakan tiga dari semua tentara yang tersangka sebagai pihak yang bersalah, sedangkan sisanya dinyatakan bebas."

Koran lainnya yang mengungkap kriminalitas dan pelanggaran hak asasi manusia AS adalah Washington Post. Koran itu menyebutkan, sejumlah tentara AS membantai warga sipil Afghanistan yang tak bersalah. Bahkan disebutkan bahwa mereka membantai warga tak berdosa di Afghanistan dengan maksud hiburan. Ini benar-benar pelanggaran hak asasi manusia yang sama sekali tak dapat ditolerir. Yang lebih menyeramkan lagi, sejumlah tentara AS setelah membantai warga-warga sipil yang tak berdosa, memotong-motong jasad mereka.

Masih mengenai kekejian AS, Washington Post juga mengungkap bahwa AS benar-benar memanfaatkan Peristiwa 11 September dengan menangkapi semua pihak yang hanya dicurigai sebagai teroris. Mereka diculk dan dijebloskan ke penjara-penjara rahasia. Tak dapat dipungkiri, pembuatan penjara-penjara rahasia merupakan pelanggaran nyata. Para warga yang hanya sebatas dicurigai sebagai teroris langsung dipenjarakan tanpa prosedur pengadilan. Ini semua dilakukan oleh AS yang mengklaim sebagai pendukung HAM. Lebih dari itu, penyiksaan para tahanan di penjara-penjara rahasia menjadi skandal tersendiri bagi AS.

Obama dan HAM

Banyak skandal pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Sebagian pelanggaran HAM itu disebutkan dalam buku biografi Mantan Presiden AS, George W.Bush. Setelah itu, Barack Obama muncul sebagai Presiden AS yang menang dalam pemilu setelah mengangkat slogan-slogan pemanis yang di antaranya adalah penutupan penjara-penjara rahasia dan pengadilan atas para pelaku penyiksa di masa pemerintah Bush. Namun setelah Obama duduk di kursi kepresidenan, slogan yang disuarakan hanya sebatas janji tanpa realisasi.

Beberapa lama setelah menjadi Presiden AS, Obama menyatakan bahwa tidak ada pengusutan hukum bagi para perwira yang terlibat dalam kekerasan interogasi dan penangkapan para warga yang dicurigai teroris. Menurut pandangan Obama, para perwira hanya melakukan ketetapan dan instruksi yang ada. Untuk itu mereka tidak dapat diadili." Lebih lanjut, Obama mengatakan, "Menghabiskan waktu untuk mengecam masa lalu, tak akan menyelesaikan masalah."

Dalam laporan Kementerian Kehakiman AS disebutkan bahwa menelanjangi secara paksa, memukul perut dan muka, mencampur aduk makanan, membenturkan ke tembok buatan, mengikat dengan ikatan yang menyakitkan, menggunakan serangga dalam mengintimidasi para tahanan, mengeksekusi adalah hal -hal yang dikategorikan sebagai palanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi menggunakan cara penyiksaan terburuk untuk interogasi terhadap tersangka tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia."

Iranphobia

Departemen Luar Negeri AS merilis laporan tahunan pelanggaran hak asasi manusia dan menjadikan Iran sebagai negara yang disorot secara khusus dalam laporan itu. AS sengaja melakukan itu dengan beberapa tujuan. Di antara tujuannya adalah Iranphobia di tingkat kawasan. Dengan cara ini, pengaruh Revolusi Islam Iran dapat diantisipasi di tengah gejolak kebangkitan rakyat di kawasan.

Tak diragukan lagi, kebangkitan rakyat secara serentak di kawasan merupakan kegagalan total politik AS. Apalagi AS selama ini dikenal sebagai sahabat dekat rezim-rezim penindas. Dengan kebangkitan rakyat di kawasan, AS benar-benar dihadapkan pada kondisi yang membingungkan. Pada saat yang sama, rezim-rezim penindas di kawasan adalah pihak-pihak yang menguntungkan kebijakan Washington.

Kebencian masyarakat atas AS bahkan dapat dipastikan sebagai faktor kebangkitaan rakyat di kawasan. Di Mesir, masyarakat menolak intervensi AS yang selalu merugikan kepentingan bangsa. Hal itu ditunjukkan rakyat Mesir dengan tetap berada di Bundaran Al Tahrir selama Hosni Mubarak yang juga antek utama AS di kawasan, tak diadili dan dihukum. Di Bahrain, masyarakat tetap menuntut demokrasi di negara mereka yang malah dihabisi oleh rezim Al Khalifa dan Saudi. Semua itu menunjukkan bahwa AS akan terkucilkan di kawasan, bahkan dunia. Selamat tinggal AS. (IRIB/AR/NA)

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog