Rabu, Juli 24, 2013

Intervensi Asing dan Militer dalam Pertumpahan Darah di Mesir

Krisis Mesir belum usai. Bahkan mungkin baru dimulai. Pendukung dan penentang Mursi masih melanjutkan unjuk rasa di berbagai kota Mesir yang berbuntut  bentrokan berdarah. Media Memberitakan Kini seluruh aktivitas Pemerintahan serta Ekonmi Mesir diliburkan.


bentrokan antara loyalis dan penentang Mursi baru-baru ini setidaknya menewaskan lima orang dan menciderai puluhan lainnya. Bentrokan yang terjadi di alun-alun Tahrir saja menewaskan satu orang dan menciderai lima lainnya. Selain itu, bentrokan antara loyalis dan oposan Mursi di kota Suez menyebabkan 85 orang cidera.

Militer Mesir memperingatkan akan menindak penyulut fitnah di negeri piramida itu. Tampaknya, konflik pasca kudeta militer terhadap Mursi semakin membara dan mengkhawatirkan. Kian hari kemarahan loyalis Mursi terhadap militer semakin membara. Dalam kondisi demikian, Ikhwanul Muslimin Mesir memegang kendali pembangkangan sipil terhadap pemerintahan transisi yang dikendalikan militer. Ikhwanul Muslimin mengklaim memiliki solusi untuk mengeluarkan Mesir dari krisis saat ini.

 Mesir merupakan negara Arab pertama yang menandatangani pakta perdamaian dengan Israel.

AS memperhatikan secara mendalam, bagaimanapun, ketidakstabilan yang terus berlanjut di Mesir akan memperluas konsekwensi di wilayah yang pernah diguncang kerusuhan, termasuk semakin tak berhukumnya Semenanjung Sinai.Demi Kepentingan Pemerintahan Obama dalam menjaga pengaruhnya dengan militer Mesir saat negara itu berjuang menghadapi masa transisi Mka secara Tersirat bantuan logistik untuk  para Demonstran Anti Mursi disuplai oleh kelompok kelompok dadakan danPara NGO ber afiliasi Amerika Serikat

Prakarsa Ikhwanul Muslimin bertumpu pada tiga poin. Pertama, semua pihak harus menghormati itikad bangsa Mesir yang telah memilih Mursi sebagai presiden yang terpilih secara demokratis melalui pemilu. Legitimasi presiden, undang-undang dasar dan parlemen harus dihidupkan kembali.  Kedua, presiden terpilih harus menggelar pemilu legislatif dan amandemen undang-undang dasar. Ketiga, semua kubu nasional dan politik harus duduk bersama dalam sebuah perundingan. Mereka harus berkomitmen terhadap hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut.

Reaksi pertama terhadap prakarsa Ikhwanul Muslimin tersebut datang dari Front Penyelamat Nasional. Aliansi politik ini menolaknya dan menegaskan bahwa kondisi Mesir tidak akan kembali pada situasi sebelum 30 Juni, ketika masih dipimpin Mursi. Front Penyelamat Nasional mengklaim partai dan kubu politik Mesir tidak akan bersedia berunding dengan Ikhwanul Muslimin. Terang saja sikap itu akan memperpanjang berlanjutnya krisis di Mesir yang mengancam masa depan negara Arab di Afrika Utara itu.

Sekitar 25 hari Mesir dilanda unjuk rasa yang digelar kubu loyalis dan oposan Mursi yang digulingkan rezim militer. Kubu Islamis Mesir tidak mengakui legitimasi pemerintahan koalisi militer dan Liberal saat ini, bahkan mereka menilainya ilegal. Kini, kubu Front Penyelamat Nasional yang merupakan pendukung utama rezim militer saat ini mengambil sikap berhadap-hadapan dengan Ikhwanul Muslimin.

Kini muncul pertanyaan, sampai kapan perseteruan politik kedua kubu itu terus berlanjut. Lalu, mungkinkah mengendalikan negara dalam kondisi Mesir yang kisruh saat ini ?

Kini seluruh aktivitas pemerintahan Mesir diliburkan. Jalan berubah menjadi arena konflik antara kubu loyalis dan oposan Mursi. Militer pun tidak bisa mengendalikan situasi dan kondisi saat ini. Tidak lama lagi militer Mesir pun akan mengambil sikap tegas dengan memihak salah satu kubu dan memberangus kubu lainnya. Sementara itu kekerasan terus berlanjut dan pertumpahan darah tidak bisa dielakkan lagi.

Kini, muncul tesis yang memandang krisis di Mesir merupakan skenario yang didiktekan langsung dari luar negeri. Sebab pihak asing dalam kondisi krisis saat ini dengan leluasa dan lebih mudah mendiktekan tujuannya terhadap penguasa Mesir. Pada saat yang sama para boneka asing di dalam negeri semakin gencar membuka jalan mewujudkan sasarannya.
  tentara dan pemimpin militer ingin menjadikan Mesir sebagai Suriah yang baru. [1] Tuduhan tersebut muncul setelah tentara menewaskan 51 demonstran Ikhwan dan melukai lebih dari 430 lainnya di depan Markas Garda Republik di Kairo. [2] Sebagai tanggapan, tentara menyebut para demonstran sebagai “teroris.” [2] Dengan semua kekacauan ini, pertanyaannya adalah, ke arah mana Mesir akan menuju?
Para pemimpin beberapa faksi politik sekuler telah mampu memobilisasi puluhan ribu orang turun ke jalanan karena 3 alasan: kondisi ekonomi yang mengerikan, inkompetensi Ikhwan dan sentimen revolusioner yang masih ada pada massa karena Arab Spring. Sejak kudeta pada tahun 1952 oleh Gamal Abdul Nasser, institusi militer telah menjadi kekuatan utama di negara itu, dan hal ini jelas oleh fakta bahwa semua presiden sebelumnya adalah mantan pemimpin militer. Ikhwanul Muslimin didirikan pada tahun 1928 sebagai reaksi sosial-politik runtuhnya Kekhalifahan Islam Utsmani di Istambul. Setelah 85 tahun sejak pendiriannya dan karena sentimen massa Islam dan pemberontakan pada tahun 2011, tentara, dengan restu AS [3], telah memungkinkan Ikhwan untuk mencapai kursi kepresidenan. Faksi-faksi sekuler yang terpecah-pecah tidak bisa menggalang dukungan yang cukup dari masyarakat Mesir, meninggalkan kelonggaran sempit bagi Ikhwan untuk melakukan manuver.
Amerika Serikat tidak ingin pengaruh Islam politik tumbuh di kawasan ini, karena itu mereka menyambut gerakan-gerakan Islam liberal, sebagaimana Ikhwan, untuk ikut berpartisipasi dalam proses politik Mesir. AS tidak memiliki masalah dengan gerakan-gerakan ini untuk mencapai posisi kepemimpinan selama kekuasaan yang sesungguhnya berada di tangan otoritas sekuler, misalnya di Mesir hal ini terutama adalah angkatan bersenjata. AS tidak mengecam junta militer Mesir yang menggulingkan presiden yang terpilih secara demokratis, yang menunjukkan bahwa mereka puas dengan langkah yang telah diambil melalui beberapa bentuk permintaan rakyat. AS melihat kesempatan untuk mendiskreditkan agenda kelompok Islamis di mata rakyat dan bukan hanya Ikhwan. Selain itu, para ahli strategi AS tahu bahwa langkah-langkah tersebut akan memacu reaksi keras dari basis massa Islam yang pasti akan menyebabkan kerusuhan dan kekerasan, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Jadi mengapa AS dan junta militer mengambil langkah yang beresiko tersebut ?

 Mufti Qatar, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa wajib bagi para demonstran untuk
membunuh penguasa. Alalam (23/7) melaporkan, Yusuf Al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa tersebut dalam tayangan acara "Agama dan Kehidupan" di televisi Aljazeera, Qatar. Dalam acara tersebut dia tidak menyebutkan nama penguasa. .Koran Al-Sharuq terbitan Aljazair mereaksi fatwa Qaradhawi itu menulis, "Dari fatwa Qaradhawi itu dapat dipahami bahwa maksudnya adalah Abdel Fatah Al-Sisi, Menteri Pertahanan Mesir dan para panglima militer, karena mereka telah menggulingkan presiden terpilih Muhammad Mursi."


Sejatinya, dari sisi manapun kondisi Mesir sangat mengkhawatirkan. Bagaimanapun Mesir kini sedang melaju jalan dengan tujuan yang masih samar-samar. Militerpun sedang bersiap-siap untuk mengantisipasi pertumpahan darah besar di jalan antara loyalis dan oposan Mursi

Sumber : [1] Reuters.com,  http://www.reuters.com/article/2013/07/08/us-egypt-protest-brotherhood-syria-idUSBRE9670DA20130708
[2] Reuters.com, http://www.reuters.com/article/2013/07/08/uk-egypt-protests-idUKBRE96101L20130708
[3] AFP, http://www.google.com/hostednews/afp/article/ALeqM5hF-paJHAg17tLMRR-4VxmocVgQGQ?docId=CNG.0a272664987adaa3bf793f4d11f4fe3a.991
.(IRIB Indonesia/PH)

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog