Jumat, Desember 11, 2009

Pengkhianatan di Ring-1 SBY ?




Jakarta 10/12 - Ini refleksi bagian keempat tentang pemerintahan Soeharto. Pelajaran pentingnya, bahwa orang-orang di Ring-1 Presiden seperti pisau bermata dua: tajam untuk menikam lawan, juga mematikan jika terkena badan sendiri.

Tulisan ini dibuat setelah tiga tulisan dipublikasikan, pada saat kebatinan bangsa Indonesia sedang tertuju pada arus besar. Yaitu: gerakan massa memperingati Hari Anti Korupsi se-Dunia, 9 Desember 2009.

Tulisan ini juga dibuat berdasarkan analisa dan informasi yang diperoleh dari lapangan, berdasarkan perkembangan situasi politik harian. Baik yang terpola di media atau yang muncul dalam gerakan massa, yang diolah melalui proses intelektual di Media Institute, Jakarta.

Kesimpulan dari tiga tulisan sebelumnya menunjukkan, bahwa Ali Moertopo dengan Komando Operasi Khususnya, telah membawa kepemimpinan Pak Harto ke dalam konflik kepentingan yang mengerikan.

Kekuasaan dibangun melalui benturan antar-kelompok, rekayasa peristiwa, sampai pada transaksi kekuasaan untuk kepentingan penimbunan kekayaan pribadi atau kelompok.

Nah, yang patut dicermati adalah: ketika terjadi eskalasi tinggi konflik yang mengarah pada posisi Kepresidenan SBY, beberapa figur muncul. Yaitu, figur yang sebenarnya bukan orang yang tidak kenal sama sekali dengan SBY. Tapi, orang yang pernah satu pemikiran, satu arus gerakan, dan mungkin satu forum.

Perhatikan saja pergerakan dua isu besar, yang menguras energi publik secara nasional: yaitu pembenturan antara KPK Vs Polri. Sebagai isu turunan, muncullah blasting issue memperbesar tagline Cicak Vs Buaya.

Juga, bagaimana Tim-8 dan Bibit-Chandra menjadi selebiti yang high rate, sehingga mengalami episode anti-klimaks ketika Bibit-Chandra kembali menjadi pimpinan KPK.

Kemudian, bagaimana Hari Anti Korupsi, 9 Desember 2009, menjadi begitu penting bagi banyak elemen gerakan. Sehingga, selebrasinya harus membuat prosesi turun ke jalan dalam bentuk aksi demonstrasi. Lalu, anti-klimaks ketika massa yang turun dalam aksi itu, tidak mencapai kuota yang digembar-gemborkan.

Dua amunisi politik: Cicak Vs Buaya dan Aksi 9/12, pada akhirnya hanya menjadi Low Explosive Political Pressure. Ya, tekanan politik berdaya ledak rendah. Tidak sampai menjadi gerakan institusional, yang bisa menggoyang konstitusi, yaitu melakukan pergantian kepemimpinan nasional.

Kenapa?

Dalam pelajaran politik praktis, ada 5-M yang harus dipenuhi untuk melakukan political pressure atau political bargaining. 5-M itu adalah Man, Money, Machine, Management and Motive.

Dua isu besar; Cicak-Buaya dan Aksi 9/12, yang membuat Presiden SBY harus pidato berkali-kali dalam suasana yang tegang, jelas tidak dipersiapkan untuk penggulingan kekuasaan.

Nah, pertanyaannya: kenapa isu ini terus di-drilling? Juga, siapa yang berpotensi melakukannya?

Jawabannya sederhana saja, yaitu orang-orang yang selama ini merasa diuntungkan oleh SBY, dan sekarang ini sudah tidak bisa lagi mendapatkan keuntungan itu. Mereka, tentu saja, adalah orang-orang yang selama ini berada di Ring-1 kekuasaan SBY dan posisinya di Ring-1 kekuasaan itu sebagai motif pribadi.

Kenapa?

Karena, orang-orang itulah yang memenuhi kriteria 5-M untuk membuat gerakan politik, yang intelectual segmented seperti kasus Bibit-Chandra dan Hari Anti Korupsi 9/12 harus menjadi besar. Orang biasa seperti saya, masih belum memenuhi unsur itu.[bersambung]disadur ;im sumarsono

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog