Skenario global terhadap dunia Islam
Membahas otak sesungguhnya dari terorisme yang mengatasnamakan agama Islam tentunya akan sulit untuk lepas dari teori konspirasi yang sesungguhnya memiliki kelemahan yang mendasar. Kelemahan bersandar pada teori konspirasi adalah kurang validnya data, terlalu banyak faktor kebetulan, serta terlalu kuatnya asumsi dan prasangka tertentu.
Apabila kita waspada, akan terlihat bahwa mempercayai teori konspirasi berarti mengakui supremasi Barat (AS)yang seolah-olah telah mengenggam dunia dengan segala kehebatannya. Kelemahan intelektual dan pengakuan atas supremasi Barat itulah yang justru dihembuskan dari para penganjur teori konspirasi yang mayoritas juga justru dari kalangan Barat yang tidak memiliki kredibilitas yang kuat, misalnya kelompok - kelompok Kiri radikal yang sudah invalid ditelan waktu
Terlalu banyak desepsi informasi yang menggambarkan seolah-olah CIA, MI6, dan kawan-kawan begitu hebatnya dalam operasi intelijen global serta telah menguasai banyak hal di dunia. Hal itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Saya dapat bertaruh 50-50, artinya setiap cerita kehebatan itu harus dikorting 50% nilai kebenarannya, sehingga sudah sangat tidak meyakinkan karena telah masuk dalam kategori meragukan.
Dalam berbagai kasus politik internasional, tampak jelas bahwa kemampuan intelijen AS dan negara-negara Barat tidaklah kuat. Dalam berbagai kasus serius di Timur Tengah, Afrika, China, Myanmar, Eropa Timur jelas sekali jalannya sejarah tidak ditentukan oleh peranan intelijen, tetapi justru intelijen berupaya mengklaim prestasi atau suatu hal yang tidak pantas diklaim.
Frustasi intelijen Barat selama perang dingin terobati dengan blunder politik keterbukaan di bekas Uni Soviet, karena kelemahan terbesar dari intelijen Barat adalah kurangnya penetrasi human intelligence ke dalam sasaran. Namun dari sudut pandang teori konspirasi, sah-sah saja bila intelijen Barat mengklaim telah berjasa dalam mendorong keterbukaan di bekas Uni Soviet yang akhirnya menghancurkan sendi-sendi persatuan nasional dan pecahlah negara Uni Soviet. Hal ini disadari betul oleh Vladimir Putin yang telah mengembalikan kekuatan Uni Soviet dalam skala Russia yang secara meyakinkan bangkit kembali tanpa menunjukkan suatu keadaan yang tunduk pada negara-negara Barat.
Permainan dengan pejuang Mujahidin di Afghanistan adalah juga dalam kerangka perang dingin, dan pada waktu itu Islam sama sekali bukan suatu isu ancaman bagi AS dan sekutunya. Bahkan secara serius terjadi pembinaan yang intensif dalam rangka menghadapi musuh bersama Russia. Perebutan pengaruh global di kawasan tidak dapat tidak akan melibatkan kekuatan-kekuatan lokal, sehingga mujahidin dan berbagai kelompok perlawanan mendapatkan angin dukungan dari AS. Tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada sahabat sejati, demikian politik internasional berbicara. Masa romantis AS dan pejuang Mujahidin berakhir hanya karena Mujahidin tidak dapat dikendalikan secara ideologi untuk tunduk dan patuh kepada konsep-konsep yang ingin dipaksakan oleh AS seperti diberlakukan kepada bangsa Jepang paska Perang Dunia ke-II. Sebelum sungguh-sungguh pecah kongsi, telah terjadi upaya untuk meyakinkan pejuang Mujahidin tentang "itikad baik" membantu Afghanistan, tetapi siapa yang dapat percaya? Mengapa tidak percaya, karena perilaku AS dan Barat adalah suatu pola penjajahan modern yang memaksakan bukan hanya kekuasaan tetapi juga mencakup nilai-nilai yang tidak dapat diterima oleh kaum Mujahidin.
Mari kita tengok sejenak kasus di Indonesia.
CIA dan MI6 yang konon malang melintang di Indonesia pada saat Partai Komunis Indonesia berjaya, sesungguhnya dalah macan ompong yang tidak mengerti sama sekali Indonesia. Mereka hanya penonton yang manis yang rajin mencatat dan menganalisa, namun soal operasi nol besar. Apa yang kemudian terjadi adalah bahwa Indonesia sedang rapuh dalam persatuan dan kesatuan sehingga lahir kelompok kolaborator yang secara sukarela menerima tawaran AS dan sekutunya. Artinya bukan diciptakan oleh operasi intelijen, saya pastikan ini murni pertarungan politik domestik dalam sejarah Indonesia. Apa yang disebut sebagai dokumen Gilchrist, peranan CIA dan lain-lain adalah klaim yang terlalu dibesar-besarkan.
Bahwa ada operasi CIA itu benar, namun operasi itu tidak berarti karena sejarah perjalanan bangsa Indonesia digoreskan oleh para pelaku sejarah Indonesia sendiri dan bukan dikendalikan oleh operasi intelijen CIA. Apabila rekan-rekan Blog I-I ingin melihat bagaimana orang CIA bekerja, tentunya kita akan terheran-heran karena begitu payahnya dan jauh dari bayangan hebat seperti di film hollywood.
Misalnya analis CIA. Meskipun mereka menggunakan kode-kode nomor sandi, namun sangat kentara ketika mempersiapkan diri, misalnya dengan kuliah ke Australia meneliti Indonesia, kemudian belajar bahasa di Yogyakarta atau Solo, kadang-kadang lupa karena masih bersikap seperti intel. Yang agak lebih cerdas misalnya dengan telah menetap lama di Indonesia sebelum akhirnya ditempatkan di Indonesia. Konyolnya lagi, kadang kala mereka mempersiapkan diri di Bangkok, Thailand karena dipikirnya tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia.
Untuk operasional, inteljen Barat lebih memaksimalkan peranan kolaborator lokal yang mana hal ini terjadi karena kolaborator lokal tergiur dollar, melesatnya karir politik dan fantasi bekerja untuk lembaga bergengsi serta kesempatan mendapatkan pengalaman. Dari sejumlah rekan yang pernah bekerja untuk kepentingan asing tersebut sering terungkap rasa bersalah yang sangat tinggi serta kekecewaan karena pada akhirnya mereka hanyalah pion-pion yang tidak berarti.
Sekarang kita perhatikan kasus terorisme di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang terjadi?
Dari penelusuran saya bersama team I-I terhadap mantan Mujahid yang pernah berangkat ke Afghanistan dan Pakistan serta mereka yang pernah ke Filipina Selatan, setidaknya ada beberapa hal yang wajib serta sangat perlu untuk diperhatikan, yakni:
1. Sekelompok kecil adalah Mujahid sejati ikhlas berjuang demi agama Islam.
2. Sekelompok besar Mujahid lebih dikendalikan fanatisme & fatwa jihad
3. Hampir 100% tidak terlalu paham dengan konstelasi politik global.
4. Keyakinan benarnya cara perjuangan para Mujahid sangat kuat.
5. Melalui pola-pola indoktrinasi pembenaran aksiteror terjadi cuci otak.
6. Hasilnya adalah pelaku teror bunuh diri yang merasa benar tindakannya.
7. terbukti tanpa sadar konsep Jihad mujahid disusupi tafsir2 yg sesat
Apa maknanya. Para pelaku teroris adalah kolaborator terbaik bagi suatu agenda yang dapat menarik perhatian global sebagai suatu ancaman terhadap umat manusia. Apakah mereka dikendalikan oleh operator-operator Barat? Saya melihatnya tidak bersifat langsung demikian, namun secara tidak sadar langkah-langkah yang ditempuh teroris tersebut menjadi pilar utama dari agenda global Negara2 Adi Kuasa untuk dapat mencampuri dan mendikte negara - negara Islam / Dunia Islam
Sekian