Kamis, November 22, 2012

Potret Nasionalisme Masa Kini



Bersatu untuk Kedaulatan Indonesia

Ketika negara yang bernama Indonesia akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan penghuninya yang disebut bangsa Indonesia, persoalan ternyata belum selesai. Bangsa Indonesia masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan antara tahun 1945-1949, tatkala penjajah menginginkan kembali jajahannya. Nasionalisme kita saat itu betul-betul diuji di tengah gejolak politik dan politik divide et impera Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi , nasionalisme bangsa Indonesia  masih terus diuji dengan munculnya gerakan separatis di berbagai wilayah tanah air hingga akhirnya pada masa Demokrasi Terpimpin,  masalah nasionalisme diambil alih oleh negara. Nasionalisme politik pun digeser kembali ke nasionalisme politik sekaligus kultural. Dan, berakhir pula situasi ini dengan terjadinya tragedi nasional 30 September 1965.

   
         Pada masa Orde Baru, wacana nasionalisme pun perlahan-lahan tergeser dengan persoalan-persoalan modernisasi dan industrialisasi (pembangunan). Maka "nasionalisme ekonomi" pun muncul ke permukaan. Sementara arus globalisasi, seakan memudarkan pula batas-batas "kebangsaan", kecuali dalam soal batas wilayah dan kedaulatan negara. Kita pun seakan menjadi warga dunia. Di samping itu, negara mengambil alih urusan nasionalisme, atas nama "kepentingan nasional" dan "demi stabilitas nasional" sehingga terjadilah apa yang disebut greedy state, negara betul-betul menguasai rakyat hingga memori kolektif masyarakat pun dicampuri negara. Maka inilah yang disebut "nasionalisme negara" 


         Tahun 1998 terjadi Reformasi yang memporakporandak-an stabilitas semu yang dibangun Orde Baru. Masa ini pun diikuti dengan masa krisis berkepanjangan hingga berganti empat orang presiden. Potret nasionalisme itu pun kemudian memudar. Banyak yang beranggapan bahwa nasionalisme sekarang ini semakin merosot, di tengah isu globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi yang semakin menggila.
 

         Kasus Ambalat, beberapa waktu lalu, secara tiba-tiba menyeruakkan rasa nasionalisme kita, dengan menyerukan slogan-slogan "Ganyang Malaysia!". Setahun terakhir ini, muncul lagi "nasionalisme" itu, ketika lagu "Rasa Sayang-sayange" dan "Reog Ponorogo" diklaim sebagai budaya negeri jiran itu. Semangat "nasionalisme kultural dan politik" seakan muncul. Seluruh elemen masyarakat bersatu menghadapi "ancaman" dari luar. Namun anehnya, perasaan atau paham itu hanya muncul sesaat ketika peristiwa itu terjadi. Dalam kenyataannya kini, rasa "nasionalisme kultural dan politik" itu tidak ada dalam kehidupan keseharian kita. Fenomena yang membelit kita berkisar seputar: Rakyat susah mencari keadilan di negerinya sendiri, korupsi yang merajalela mulai dari hulu sampai hilir di segala bidang, dan pemberantasan-nya yang tebang pilih, pelanggaran HAM yang tidak bisa diselesaikan, kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain, suap-menyuap, dan lain-lain. Realita ini seakan menafikan cita-cita kebangsaan yang digaungkan seabad yang lalu. Itulah potret nasionalisme bangsa kita hari ini.

         Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu.  Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi semua permasalahan di atas, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korup, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total

Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru  lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsur-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting:


Pertama. Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu nasinalisme Indonesia di bidang politik bertujuan menghilangkan dominasi politik negara asing dengan membentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin badan permusyawaratan dan permufakatan dalam perwakilan.


Kedua. Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro. Larena itu nasionalisme Indonesia hadir untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dengan berdikari.


Ketiga. Penetrasi budaya.  Kolonialisme juga secara sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui system pendidikan. Karena itu di bidang kebudayaan nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi  menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia.


Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam dari semangat yang mendadasi Pancasila. Dan dapat dirujuk kepada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah:Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup Rakyat bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika'

Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh sejarahnya    itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideologi Barat yang mempengaruhi perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, dan marhaenisme.Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928.  Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut:


1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman.

2.      Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri

yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.

3.      Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat

demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.

4.      Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan

dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.

5.      Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan

kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa

Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia

khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Ernest Renan.

Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:

1.      Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan

sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.


2.      Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki

persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.


3.      Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki

keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.


4.      Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan diwilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.


5.      Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.

Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga Surabaya Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA berpendapat nilai-nilai nasionalisme sekarang memiliki tiga budaya dalam satu kesatuan. "Ketiganya dipegang sekaligus, tetapi digunakan sesuai situasinya yakni budaya lokal, nasional, dan global," katanya saat berbicara dalam seminar ’Memperkokoh Rasa Nasionalisme dalam Bingkai NKRI’ di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Kamis.Seminar juga menampilkan Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim) Laksamana Muda TNI Agung Pramono SH M.Hum dan Ketua Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Unair Dr M Nafik SE selaku pembicara. Dalam seminar yang digelar Fakultas Hukum UHT Surabaya itu, peraih Yap Thiam Hien Award 2011 itu mencontohkan dirinya yang memegang budaya Jawa (lokal), budaya Indonesia (nasional), dan budaya global (Belanda/Jepang). "Bahasa Jawa adalah bahasa ibu dalam diri saya, meski pun saya pernah sekolah di Belanda dan bisa Bahasa Belanda, tapi saya nggak mungkin menggunakan bahasa itu bila bertemu keluarga. Sebaliknya, kalau saya diundang seminar di luar negeri, tentu saya akan mengikuti," katanya.Oleh karena itu, kata pengamat sosial dari Unair itu, pemakaian budaya lokal, nasional, dan global itu ada waktunya masing-masing. "Budaya Jawa di rumah, budaya Indonesia bila bertemu suku bangsa lain, dan bahasa asing bila di dunia," Namun, katanya, menyatukan tiga budaya itu bukan perkara yang mudah, karena menyatukan ratusan budaya yang ada di Indonesia dalam satu budaya Indonesia juga bukan mudah."Kalau tranplantasi jantung itu tinggal menempelkan, tapi transplantasi budaya dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi satu budaya Indonesia itu bukan asal tempel. Saya saja mengerti Bahasa Indonesia setelah berusia 10 tahun," katanya.Oleh karena itu, katanya, budaya Indonesia itu bukanlah menyatukan budaya menjadi sama, namun menyatukan budaya yang berbeda dalam kesatuan, karena itu nasionalisme sekarang adalah memegang tiga budaya berbeda dalam satu kesatuan."Persatuan itu menyamakan, tapi kesatuan itu bersatu dalam perbedaan, karena itu potensi separatisme itu sebuah keniscayaan dalam sebuah kesatuan yang perlu dialog terus menerus dan tidak bisa tergesa-gesa," katanya.Misalnya, pornografi tidak bisa disamakan dengan bahasa hukum melalui UU Anti-pornografi, sebab pornografi dalam setiap suku bangsa di Indonesia itu memiliki penafsiran yang berbeda-beda. "Jadi, nggak bisa dipaksakan. Itu hukum, politik juga begitu," katanya.Dalam konteks ekonomi, Ketua Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Unair Dr M Nafik SE menilai konsep pertumbuhan merupakan konsep ekonomi yang perlu dievaluasi, karena menyalahi dengan keanekaragaman di Indonesia.

"Konsep pertumbuhan justru mengancam Indonesia, karena konsep pertumbuhan itu berarti mengundang pihak asing untuk menguras sumber daya alam Indonesia dengan menghancurkan NKRI, karena potensi bangsa Indonesia dirusak secara sistematis,"Menurut dia, konsep pertumbuhan justru menghancurkan, karena terbukti perusahaan asing di Indonesia saat ini mencapai 64,2 persen, sedangkan perusahaan lokal hanya 35,88 persen. Di Jatim juga sama yakni 56,60 persen perusahaan asing dan 43,40 persen perusahaan lokal."Apakah tidak kalah namanya? Karena itu, konsep ekonomi yang sesuai untuk Indonesia adalah konsep sumber daya atau menggali potensi lokal untuk dikembangkan menjadi potensi nasional dan akhirnya potensi global," kata Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA

Merawat Keberagaman menuju Indonesia Raya yang Adil & Sejahtera 

Sejak lengsernya Soeharto, Indonesia sudah menentukan pilihannya, yaitu memilih jalur demokrasi dalam upaya mencapai tujuan-tujuan bangsa. Akan tetapi, demokrasi yang berkembang ternyata diikuti dengan eskalasi konflik dan kekerasan, dan lebih parah lagi, diikuti dengan merosotnya kesadaran kebangsaan. Watak bangsa yang penuh paradoks gagal dikelola dengan baik sehingga Indonesia mengalami krisis kebangsaan. Negara yang diharapkan menjadi faktor penting untuk menjaga persatuan nasional juga gagal menjalankan fungsi dasarnya dan bahkan ada indikasi menjadi Negara gagal , karena aparat Negara korupsi ,suara rakyat jadi alat jual beli suara dan kepentingan kelompok politik/ekonomi diatas kepentingan rakyat dan Negara . Elemen-elemen demokrasi yang seharusnya berperan memperkuat institusi demokrasi dalam praktik justru melakukan langkah-langkah kontraproduktif yang kemudian menciptakan defisit demokrasi.Dalam  menelisik keragaman yang kembali terusik dengan munculnya berbagai konflik berbau SARA ternyata pada beberapa kasus konflik antar warga yang terjadi  dibeberapa tempat  kita menyaksikan fenomena yang sama. Sekelompok warga beretnik, berbahasa, dan beragama tertentu menolak kehadiran warga dengan latar belakang etnik, bahasa, dan agama yang berbeda dengan mereka.Secara sosiologis itu menjadi indikasi bahwa kerukunan penduduk pendatang dan penduduk asli yang dulu berhasil berintegrasi dengan damai sekarang mengalami disintegrasi yang berdarah-darah alias hancur lebur. Sebagai gambaran, Desa Gedong Tataan di Lampung merupakan basis pertama transmigrasi petani Jawa di daerah luar Jawa. Itu terjadi pada 1905 alias 107 tahun yang lalu.

Dalam perspektif hidup berbangsa dan bernegara konflik horizontal itu menjadi indikasi bahwa NKRI mengalami kemunduran yang dahsyat. Negara memang absen. Negara tidak hadir meredakan dan mengatasi konflik, apalagi dengan bijak mempersatukan kembali sesama anak bangsa yang tercerai-berai. Boleh dibilang negara bahkan melakukan pembiaran yang sistemis.Bila terus dibiarkan, fenomena pecahnya integrasi anak bangsa di tingkat warga itu akan menjadi salah satu rapor pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat Jelak , merah yang dicatat sejarah


Jika model demokrasi Indonesia kebablasan ,

Apakah kita keliru memilih jalur demokrasi ? kerukunan bangsa justru terancam akibat sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Menurutnya, demokrasi di Indonesia terlampau liberal sehingga berpotensi merusak tatanan kerukunan bangsa. "Selama sistem politik kita seperti ini, kita harus siap menghadapi ketidakrukunan itu dimana-mana , Namun saya tidak berpendapat demikian, pilihan demokrasi bagi Indonesia bukanlah pilihan yang keliru. Banyaknya masalah yang terjadi menyusul terjadinya demokratisasi tidak harus menjadi alasan untuk kembali kepada sistem otoriter seperti yang pernah diterapkan pada zaman Orde Baru karena ongkos sosial dari otoritarianisme sangatlah besar. Semua kekuatan politik harus mengupayakan terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi adalah sistem yang harus tetap dipertahankan at all cost. Indonesia menjadi salah satu contoh keberhasilan demokrasi. Namun, akibat salah urus, keragaman telah berubah menjadi pusat pertengkaran dan perkelahian yang melemahkan, bahkan mengancam sendi-sendi berbangsa dan bernegara Republik Indonesia Raya

Namun agar demokrasi tidak membawa Indonesia kepada kehancuran kita harus kembali kepada jati diri bangsa. Meminjam istilah Tukul Arwana, kita perlu kembali ke laptop, bukan bagi-bagi laptop. Maksud saya, selama ini kita kehilangan rasa kebersamaan sebagai sebuah bangsa seperti terlihat dari mengemukanya konflik komunal karena perbedaan agama, ras, suku, atau kelas sosial. Padahal keragaman kerap menjadi salah satu kekuatan yang kerap ditonjolkan dan dibanggakan bangsa ini. Dengan kekuatan keragaman suku, ras, agama, bahasa, dan budaya  Kita tidak mungkin mengatasi masalah masalah tersebut dengan menghilangkan perbedaan atau menghilangkan pluralitas masyarakat. Di beberapa daerah, konflik antar warga kerap terjadi. "Kondisi ini terjadi karena pemimpin negara ini tidak bisa bertindak tegas,"

Kita juga tidak mungkin membangun semacam tembok Berlin yang menyekat wilayah-wilayah berdasarkan pembagian suku atau agama dan membiarkan masing-masing mengembangkan eksklusivisme. Seperti yang dikatakan Clifford Geertz (1971:19): (A)rchipalegic in geography, eclectic in civilization, and heterogeneous in culture, (Indonesia) flourishes when it accept and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and surpresses it.Jika yang dipilih adalah “menerima dan memanfaatkan perbedaan”, maka mau tidak mau kita harus kembali ke jati diri kita sebagai bangsa dengan melakukan revitalisasi terhadap visi kebangsaan yang digagas oleh para founding fathers kita, yang saya sebut di sini sebagai nasionalisme madani, suatu konsep kebangsaan yang dibangun berdasarkan pengakuan dan penghormatan secara timbal balik antar warga atau kelompok masyarakat yang berbeda agama, kepercayaan, ideologi, etnisitas, identitas gender, atau kelas ekonomi, dan kesediaan di antara mereka untuk hidup secara damai.

Agar tercipta kehidupan sosial yang aman, harmonis, adil, dan sejahtera, negara harus mempunyai kapasitas dan kemauan kuat untuk menciptakan situasi aman bagi seluruh warga. Negara tidak boleh dibiarkan berada dalam kondisi yang lemah dan tidak pula dapat dibiarkan menjadi negara gagal. Dengan begitu, penguatan Negara dalam kerangka demokrasi haruslah menjadi agenda pertama. Karena pengalaman yang panjang berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang represif dan korup, serta karena euforia demokrasi, rakyat tidak mudah percaya kepada pemerintahnya sehingga apa pun kebijakan yang dibuat pemerintah selalu dianggap keliru oleh masyarakat. Akan tetapi, di lain sisi, elemen-elemen negara (politisi, birokrat, militer, atau aparat penegak hukum) bukannya berinvestasi untuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat dengan menonjolkan sikap dan perilaku terpuji, menjaga rasa keadilan masyarakat, tetapi justru terus-menerus memproduksi ketidakpercayaaan publik (publicdistrust).

Oleh karena itu, ke depan para stakeholder negara harus mampu mengembangkan kebijakan dan perilaku publik yang bertanggung jawab, serta mampu memproduksi public trust sehingga mempunyai kewibawaan dalam menangani berbagai masalah yang mendera masyarakat. Upaya memperkuat negara tidak dapat dilepaskan dari factor agama. Posisi agama dalam konstitusi negara cukup unik.  Republik Indonesia bukan negara sekuler, juga bukan negara agama. Karena bukan negara sekuler, agama tidak diprivatkan. Sebaliknya, karena bukan negara agama, kitab suci agama tertentu tidak menjadi konstitusi. Di negara yang bukan-bukan ini dualisme hukum menjadi tidak terhindarkan dan penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena adanya tarik-menarik yang sangat kuat antara kecenderungan memprivatkan agama dan mengagamakan negara. Jika konflik seperti ini dibiarkan, kesatuan dan persatuan bangsa menjadi taruhannya. Konflik wacana seperti ini saya kira perlu dikembalikan kepada citacita luhur para founding fathers ketika memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan menyusun konstitusi negara  

Dengan itu, saya tidak mau mengatakan agama perlu dipinggirkan. Sebaliknya, agama justru harus hadir di tempat yang terhormat, yaitu sebagai sumber inspirasi bangsa, sebagai kekuatan pendamai dan pemersatu, bukan sebagai faktor pemecah belah, seperti harapan Romo  Suharyatmoko  (2003:xii): Agama harus menjadi fondasi yang kuat untuk menghadapi dunia yang gelisah dan bukannya justru menjadi penyebab kegelisahan atau sumber pembenaran kekerasan.

Untuk menjadi demikian, agama sarat dengan ajaran yang menyejukkan. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman: Wamaa arsalnaaka illa rahmattallil ’alamin (tidaklah kami mengutus kamu [hai Muhammad] melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam). Sementara itu, Rosulullah Muhammad SAW yang membawa mandat Allah SWT sebagai Pemberi Rahmat bersabda, “Irkhamuu manfilardhi yarkhamkum manfissama” (sayangilah orang yang tinggal di bumi, maka yang di langit akan mengasihi kalian).

Salah satu faktor kuat yang terus mengikis nasionalisme bangsa Indonesia adalah globalisasi. Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Edison A. Jamli dkk. Kewarganegaraan. 2005).Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan peran yang sangat penting bagi berlangsungnya proses globalisasi.


Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme Dikalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Globalisasi mempunyai pengaruh yang positif dan juga pengaruh negatif. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Namun secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau bahkan hilang.rasa berbangsa satu - Bangsa Indonesia

Peta Lokasi yang dieksploitasi Asing

Di era Reformasi sekarang ini, Barat melalui Bank Dunia dan IMF, berhasil menguliti Indonesia, dan bahkan Barat berhasil melakukan "take over" secara silence (diam-diam), di mana dengan menukangi partai politik dan anggota perlemen, kemudian lahirlah undang-undang yang sangat liberal, yang menjamin semua kepentingan asing masuk ke dalam kedaulatan Indonesia.

Liberalisasi alias penjajahan baru yang dilakukan Barat, berhasil dengan sangat efektif. Melalui legislatif bersamaan dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang sangat liberal, yang memungkinkan fihak asing mengambil alih semua asset negara, tanpa ada lagi restriksi (hambatan), karena semua telah dijamin oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif.

Jadi, penjajahan Barat itu terhadap kedaulatan Indonesia, yang terjadi sekarang ini, diberikan kekuatan hukum oleh legislatif. Tengok saja undang-undnag minyak, undang sumber daya air,  undang-undang keuangan, dan sejumlah undang-undang lainnya, semuanya itu hanya memberikan jalan bagi pihak asing mencaplok asset negara, yang berarti bentuk penyerahan Republik kepada asing, yang dilindungi oleh undang-undang yang dibuat legislatif.

Orang berteriak adanya penguasaan asing terhadap sumber daya alam (SDA) Indonesia, tetapi fihak asing itu, sejatinya telah memiliki legitimasi adanya undang-undang yang disyahkan oleh wakil rakyat Indonesia. Jadi, apalagi masalahnya, yang sekarang diperdebatkan? Di era SBY, begitu pula asset SDA diserahkan kepada asing, seperti minyak di blok Cepu (Jawa Tengah), blok gas Mahakam, yang akan habis masa kontraknya tahun 2017, yang memiliki cadangan gas triliun kubik,  tetapi sekarang akan diperpanjang lagi, dan ini sangat menguntungkan kepada fihak asing.

Padahal, Pertamina sudah sangat mampu menelolanya, dan ini sangat menguntungkan bagi kepada kepentingna nasional Indonesia. Tetapi, mengapa blok Mahakam ini, kontraknya akan diperpanjang lagi dengan fihak asing?.Sekarang, barang-barang import masuk bagiakan air bah, tak ada lagi perlindungan terhadap industri dalam negeri. Apalagi, di zamannya Menteri Perdagangannya Mari Pangestu, mantan Direktur CSIS,  semuanya barang dari  Cina seperti air bah, dan tak ada lagi pembatasan, dan bahkan barang selundupan pun menjadi sangat marak. Benar-benar menjadi malapetaka. Terutama bagi industri dalam negeri.

Sekarang orang berbicara tentang nasionalisme dan identitas Indonesia, yang sekarang sudah habis tergerus oleh asing. Seperti diucapkan oleh anak Bung Karno, Megawati, di Mukernas di Surabaya, di mana cucunya, sudah ketagihan terhadap tokoh bintang film dan pemusik Barat, yaitu Justin Bieber ,Gangnam Style dan lain sebagainya

Kalangan nasionalis lebih galau lagi, karena ideologi negara Pancasila, sudah ditinggalkan dan tidak laku lagi dikalangan muda. Hasil survei di 5 perguruan tinggi negeri, 86 persen mahasiswa sudah tidak lagi mengenal Pancasila, dan menolak ideologi negara yang dibuat oleh Soekarno. Bukan hanya di Jakarta, sebuah media di Jakarta, menyebutkan sampai universitas di Lombk dan NTT pun, mahasiswa sudah kurang mengenal apalagi memahami Pancasila. ini jelas-jelas sudah jauh melenceng dari cita cita Para Pendiri Bangsa Indonesia


Bagaimana Rakyat Indonesia menjaga Persatuan Bangsa ?

Setiap jenjang generasi muda Indonesia harus bisa mengevaluasi konsep kerukunan. Menurut Romo Magnis, biasa Franz akrab disapa, kerukunan tidak akan pernah tercapai 100%. Meskipun begitu, seluruh elemen bangsa harus belajar bagaimana mengelola perbedaan, baik perbedaan agama dan etnik, maupun perbedaan pendapat dan kepentingan. "Kita harus belajar bahwa perbedaan itu wajar, "Generasi muda Indonesia tidak boleh diam, mengingat keberadaan pemuda pada masa lalu acapkali berjuang untuk menegakkan kehormatan bangsa, oleh karena itu perjuangan menegaskan kedaulatan nasional, akan selalu hadir untuk disongsong oleh kaum muda Indonesia  di zaman Gobalisasi ini .

Sebagai bahan renungan bagi kita semua dalam mengelola bangsa yang tengah berada dalam situasi carut-marut ini, Teringat kami akan sepenggal puisi pamphlet karya Almarhum WS Rendra :

Keadilan di dalam alam boleh dilihat, boleh ditunggu
Keadilan di masyarakat harus dijaga tanpa ragu
Keadilan di masyarakat tidak datang dari langit harus dibina dengan keringat, harus dicapai walaupun sulit mengayomi semua rakyat tanpa kecuali.

 

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog