Oleh Toeti Adhitama
Ungkapan dalam `OPM' rasanya valid saja, apabila Papua Barat memang bukan bagian dari wilayah Hindia Belanda yang dijajah Belanda, yang pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan diri sebagai negara Republik Indonesia yang merdeka.
GEJOLAK di Papua B a r a t m e n u n t u t upaya keras untuk membuat langkahlangkah strategis mencegah kerusuhan berkala yang meledak di provinsi tersebut sejak Operasi Trikora (Trikomando Rakyat) setengah abad lalu.
Operasi selama dua tahun itu berlaku setelah pengumuman Presiden Soekarno di Yogyakarta, 19 Desember 1961. Dampak Trikora terhadap sta bilitas nasional dan wawasan Nusantara pernah diseminarkan di Jakarta seperempat abad yang lalu, tepatnya 19 Desember 1986, dalam rangka memperingati 25 tahun Trikora.
Dalam seminar itu terungkap sejarah Trikora: pembentukan Komando Mandala di bawah pimpinan Pak Harto untuk mengembalikan Irian Barat (sebutan waktu itu) ke wilayah Indonesia, Operasi Jaya-Wijaya untuk menyerbu Irian Barat, sikap Amerika yang akhirnya mendesak Belanda supaya ke luar dari wilayah tersebut (suatu kebijakan yang rupanya didorong kecenderungan Indonesia untuk bertumpu pada Soviet), dan bagaimana tentara kita mendaratkan pasukan di Irian Barat.
Kisah-kisah menarik di medan laga dan diplomasi itu cukup menggugah perhatian peserta seminar mengenai sejarah NKRI sekitar masa itu, khususnya tentang Papua Barat, yang antara lain disampaikan Dr Roeslan Abdulgani (1914-2005), pelaku sejarah yang menjadi narasumber yang fasih dan cermat. Menurut catatan sejarah, pada 15 Agustus 1962 diadakan perundingan Indonesia-Belanda di Markas PBB di New York.
Pihak Indonesia diwakili Dr Soebandrio. Hasil persetujuan menyebutkan Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang pada gilirannya menyerahkan pemerintahan itu kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.
Setelah penyerahan pemerintahan Papua Barat, Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan itu ditentang sejumlah pihak di Papua dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965.
Kemungkinan perubahan revolusioner Seminar Desember 1986 itu antara lain menghasilkan kesimpulan bahwa masyarakat yang bersikap dan berperilaku sederhana, dengan lembagalembaga yang belum memadai, hanya mampu mengadaptasi lingkungan mereka, bukan mengubahnya. Sepertiga peserta seminar waktu itu terdiri dari mereka yang berasal dari Papua. Mereka secara beruntun menyampaikan pandangan yang menyentak, yang menyiratkan pertanyaan: Apa arti kejayaan Trikora dan apa efeknya bagi penduduk Papua? Menurut mereka, mereka pun punya andil dalam usaha membebaskan diri dari Belanda. Ada nada mereka merasa terabaikan dan belum diikutsertakan. Itu yang menurut mereka mudah menggoyahkan sikap kebangsaan mereka. Keluhan itu sudah disampaikan 25 tahun lalu; mungkin sudah pula dirasakan jauh sebelum itu dan bahkan berlanjut sampai sekarang.
Permasalahan Papua Barat tentu tidak sederhana. Gubernur Isaac Hindom (periode 1982-1988) waktu itu mengatakan luas wilayah Papua Barat 4x wilayah Jawa, berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa, memakai 300 bahasa, dan tersebar di seluruh wilayah yang sebagian besar boleh dikata belum dibuka.
Apakah kita memiliki dana dan kemampuan untuk perubahan cepat yang bisa diterima rakyat daerah itu? Sebagai jawaban untuk persoalan Papua Barat, pemerintah Republik Indonesia melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 memberikan Otonomi Khusus (UU Otsus) kepada Provinsi Papua.
Ada tiga masalah krusial yang melandasi terbitnya UU Otsus sebagai solusi untuk Papua, yakni konfl ik politik, yang berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang oleh pemerintah Indonesia dipandang sebagai gerakan separatis; konfl ik sosial antarwarga sebagai akibat tidak adanya solusi memadai atas menguatnya konfl ik politik yang muncul lebih dahulu; dan ketertinggalan pembangunan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat asli Papua, dibandingkan sebagian besar provinsi lain di Indonesia’.(Melawan Korupsi dari Aceh sampai Papua, 2006).
Buku yang diterbitkan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia itu selanjutnya menyatakan ada tiga tujuan UU Otsus, yakni di bidang-bidang politik, sosial, dan ekonomi. Isinya berkisar tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dengan kebijakan desentralisasi yang lebih memadai; pengakuan dan penghormatan atas identitas sosial budaya dan hak-hak dasar masyarakat asli Papua dalam kerangka kebinekaan Indonesia; dan peningkatan alokasi dana pembangunan dalam rangka pemulihan dan peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat, terutama warga asli Papua yang rentan.
Pendekatan budaya dan kesejahteraan `Perlu pendekatan budaya' begitu sering diungkapkan dalam opini mengomentari perkembangan di Papua Barat belakangan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam pertemuan dengan Menhan Amerika Serikat di Bali, awal minggu ini, menyatakan Indonesia menggunakan pendekatan kesejahteraan, bukan kekerasan seperti di waktu lalu. Demikian menurut Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah.
Menurut anggota Komisi I DPR, Effendi Choire, UU Otsus terbit sebagai kompromi untuk solusi suatu masalah besar. UU itu harus dijalankan sebagai solusi. Namun, terkesan pendekatan ‘security’ yang dipakai, bukan pendekatan komprehensif yang meliputi bidang kesejahteraan, hak asasi manusia, dan hak masyarakat asli Papua.
Dari sudut security, ada anggapan, UU Otsus akan memungkinkan Papua Barat memerdekakan diri dari Indonesia. Padahal, sebenarnya UU itu justru dibuat agar Papua Barat tetap dalam NKRI. Namun, apakah otsus memang sudah tepat untuk solusi bagi Papua Barat? Pertanyaan itu pernah diajukan kepada mantan Gubernur Isaac Hindom. Dia menjawab bahwa otsus itu mampu menjawab aspirasi rakyat Papua bila dilaksanakan sepenuhnya dengan baik. Namun, penyelewengan dan korupsi membuat program-program prioritas otsus tidak terlaksana.
Ada artikel menarik, ‘Menggerakkan Masyarakat Papua Menghadapi Korupsi’, tulisan tiga ahli hukum dari The Institute for Civil Society Strengthening (ICS), dimuat dalam buku Melawan Korupsi yang disebutkan sebelumnya dalam tulisan ini. Disarankan artikel itu, perlu ada langkah-langkah operasional mendesak.
Pertama, membuat kajian kritis dan publikasi peraturan perundang-undangan daerah yang sekiranya memberi peluang terjadinya korupsi. Kedua, mendorong pemahaman dan keberanian publik tentang pentingnya arti peraturan daerah yang mendukung advokasi antikorupsi. Ketiga, mendorong kemauan institusi eksekutif dan legislatif daerah untuk mengubah peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya korupsi serta membuat peraturan daerah yang mencegah terjadinya korupsi.
Tidak kurang upaya pemerintah dan ormas-ormas untuk mempertahankan Papua Barat di NKRI. Namun, gigih pula usaha golongan separatis untuk melepaskan Papua Barat dari Indonesia. Salah satu buku karya Pendeta Socrates S Yoman, berjudul OPM (Otsus, Pemekaran dan Merdeka), menyatakan konsep ‘merdeka’ dalam buku itu berarti kembali kepada kemerdekaan dan kedaulatan asli. Artinya, leluhur dan nenek-moyang orang Melanesia, orang asli Papua ini, sejak dulu telah merdeka, tidak pernah dikuasai bangsa lain. Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari penjajahan Indonesia.
Ungkapan dalam ‘OPM’ rasanya valid saja, apabila Papua Barat memang bukan bagian dari wilayah Hindia Belanda yang dijajah Belanda, yang pada 17 Agustus 1945 memproklamasikan diri sebagai negara Republik Indonesia yang merdeka.
*) Tulisan pernah dimuat di Media Indonesia, 28 Oktober 2011