Selasa, April 22, 2014

kebangsaan Indonesia. Sebuah kebangsaan yang unik. Kebangsaan yang luhur. Kebangsaan yang berbeda dengan pelbagai varian nasionalisme di belahan dunia lainnya.

Ikatan kebangsaan Indonesia adalah manusia dan kemanusiaan. Bahwa tanah tumpah darah ini adalah amanat bagi penderitaan rakyat. Bukan amanat bagi hasrat dan pelbagai kehendak orang per orang juga kelompok. Indonesia adalah untuk segenap anak manusia yang memiliki hasrat hidup bersama, juga rasa senasib dan sepenanggungan di tanah permai ini. Dalam suka dan duka. Dalam bahagia juga nestapa.

Tahun ini seharusnya akan menjadi tahun yang baik untuk PDI-Perjuangan. Seluruh "banteng" yang menggerakkan mesin partai semestinya akan mencatat tahun ini sebagai capaian sejarah. Seharusnya, tahun ini adalah sejarah kemenangan di pemilihan umum bagi PDI-P.

Berdasarkan banyak hasil hitung cepat, PDI-P diprediksi akan menang dalam pemilu legislatif. Perolehan suara sah nasional ada di kisaran 19 persen. Namun, angka itu masih jauh dari target yang dipatok PDI-P di kisaran 27,02 persen. Perbedaan capaian dan target inilah yang kemudian memunculkan banyak spekulasi, salah satunya tentang keberadaan friksi di internal partai.

Menanggapi isu friksi tersebut, beberapa petinggi PDI-P berkali-kali membantahnya. Seluruh mesin partai dipastikan solid, menjaga kemenangan pileg, dan siap memenangkan Joko Widodo di arena pilpres.

Bagi PDI-P, 2014 adalah tahun penentuan. Istilah mereka, waktu untuk memetik hasil dari konsolidasi internal yang dilakukan selama 10 tahun berada di luar pemerintahan.

"Sekarang saya kasih kalian seorang jagoan (Jokowi). Kalau kalian enggak memenangkan, maka PDI-P selamanya enggak akan memiliki presiden," kata Megawati saat menyampaikan orasi politiknya di Lapangan Trikoyo, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (5/4/2014).

Namun, kemenangan yang ada di depan mata bisa dengan mudah diraih atau malah justru hilang dan kembali gagal, semua tergantung pada strategi yang digunakan PDI-P. Meski perkiraan perolehan suara yang didapat partai ini jauh dari target, suara mereka masih berada di posisi teratas yang menempatkan PDI-P sebagai masinis dari lokomotif koalisi.

Lagi pula, partai ini punya amunisi lain yang tak ditemukan di partai lain. Amunisi itu bernama Joko Widodo. Pada 14 Maret 2014, Jokowi mendapatkan mandat Megawati untuk menjadi bakal calon presiden dari PDI-P.

Serangan untuk Jokowi memang berdatangan, justru setelah mandat Megawati keluar. Namun, tak dipungkiri sejauh ini elektabilitasnya masih tertinggi. Banyak pengamat pun masih menjagokannya. Maka, keberadaan Jokowi dan perolehan suara terbanyak dalam pemilu legislatif memberi ruang gerak yang lebih leluasa bagi PDI-P untuk menyusun peta koalisi.

Aturan ketat pun dibuat. Namun, baru Partai Nasdem yang terang-terangan berani merapat ke PDI-P. Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo mengatakan, partainya lebih memilih istilah "kerja sama politik" alih-alih koalisi. Arahnya adalah menyamakan persepsi mengelola negara, bukan sekadar bagi-bagi kursi yang sarat dengan praktik transaksional.

Adapun kriteria bakal cawapres untuk Jokowi juga telah disiapkan dan sama ketatnya. Kandidat itu harus punya komitmen menjadi wakil presiden selama lima tahun. PDI-P juga meminta bakal cawapres Jokowi harus mampu menempatkan diri sebagai wakil presiden bila kelak terpilih dan tidak melampaui kewenangan presidennya.

Kriteria selanjutnya, bakal cawapres Jokowi juga harus mampu memperkuat sistem presidensial, memiliki program pro rakyat dan bersungguh-sungguh mengimplementasikan trisakti seperti yang diwariskan oleh Bung Karno. Trisakti adalah doktrin untuk berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Sosok bakal pendamping Jokowi, sebut Tjahjo, dapat dari kalangan politisi maupun profesional. Tjahjo juga menegaskan bahwa partainya tidak berminat membangun kerja sama politik dengan banyak partai. Ia tak ingin meniru gaya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membangun koalisi gemuk tapi kemudian tak efektif.

"Kita harus belajar dan mencermati gelagat pada koalisi parpol-parpol besar 10 tahun ini yang mayoritas di DPR tapi akhirnya tidak mampu mengambil keputusan yang solid. Kasihan rakyat yang memilihnya," ujar Tjahjo, Senin (21/4/2014). Respons pun berdatangan.

Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, misalnya, langsung bersuara bahwa negara seluas dan sebesar Indonesia ini dikelola tanpa melibatkan banyak golongan. Maka Amien mengusulkan dibangun koalisi gemuk dengan nama koalisi Indonesia Raya. "Kalau itu benar (PDI-P ingin koalisi ramping) maka itu mengecewakan," kata dia.

Koalisi Indonesia Raya, sebut Amien, merupakan penyempurnaan koalisi poros tengah yang pernah dibangun pada Pemilu 1999 dengan dominasi partai-partai papan tengah dan berbasis massa Islam. Dengan nama baru, Amien berharap ruh koalisinya juga diperbarui.

Menurut Amien, koalisi baru yang digagasnya ini tak akan hanya melibatkan partai berbasis massa Islam tetapi melibatkan sebanyak-banyaknya partai, termasuk partai nasionalis. Saat ini komunikasi masih terus dijalin untuk mematangkan koalisi tersebut.

Namun, Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Achmad Basarah mengatakan partainya akan tetap teguh dengan semangat membangun kerja sama politik yang ketat. Semua peluang dan risiko telah dihitung dan secara sadar dipahami. Termasuk bila harus mengulangi pengalaman pahit, gagal menang dalam pilpres.

"Tentu semua perjuangan bukan tanpa risiko. Tapi sikap itu kami bangun dengan suatu kesadaran, dengan partai politik yang sudah belajar dari kesalahan masa lalu," kata Basarah. Karenanya, peluang PDI-P untuk menang dan kalah pun menjadi masih sama-sama terbuka.

Dalam ruang politik demokrasi Indonesia yang tersandera oleh kuasa oligarkhi, menawarkan tesis intervensi politik dengan memihak salah satu kekuatan politik yang tengah berkontestasi dalam proses elektoral memang mengundang kontroversi. Setidaknya ada dua catatan kritis atas pilihan politik intervensi tadi yakni: pertama, melakukan intervensi politik atas salah satu kubu dari kekuasaan yang sedang bertarung di tengah penuhnya ruang politik oleh kontestasi dan negosiasi di antara kekuatan oligarkhi adalah tindakan sembrono.

Sekali kita masuk ke dalam salah satu pihak kekuatan oligarkhi, dengan mudah kita terserap menjadi sekrup dan instrumen yang akan memperkuat faksi oligarkhi yang tengah kita dukung. Kedua, alih-alih mendorong pada perubahan politik progresif, inisiatif melakukan intervensi politik tidak memberikan dampak riil terhadap basis sosial dari kaum progresif: kaum marhaen, rakyat pekerja, petani, dan rakyat miskin. Sehingga dalam pandangan kritis ini, hanya individu-individu yang melakukan intervensi itu saja yang syukur-syukur dapat jatah kekuasaan, dan lagi-lagi itu sama saja dengan terserapnya mereka dalam arus besar logika oligarkhi, kasarnya: menjadi pengkhianat gerakan!

Pemilihan Presiden 2014 dan proses politik paska elektoral, sekaligus memberikan catatan kritis prakondisi apa sajakah yang harus dikemukakan agar suatu pilihan politik intervensi menjadi tidak delusif (dalam artian memiliki angan-angan tinggi yang berharap akan diraih semalam), sekaligus mengantisipasi avonturisme politik (mencari kesempatan menjadi elite dalam arus utama oligarkhis dan meninggalkan agenda gerakan).
  
Setidaknya ada dua bakal capres yang dianggap dapat menyaingi Jokowi. Satu kandidat adalah bakal capres dari Gerindra, Prabowo Subianto. Kandidat lain, bakal capres dari Golkar Aburizal Bakrie. Asumsinya, tokoh-tokoh ini bermodalkan perolehan suara dari partai masing-masing yang menempati posisi tiga besar menurut perkiraan hitung cepat saat ini.

Barangkali, kuncinya ada pada keputusan soal bakal cawapres Jokowi. Keputusan yang tepat akan membawa langkah PDI-P menuju kemenangan. Sebaliknya, bila keputusan salah, maka kandidat lain bisa jadi akan menyalip di tikungan terakhir.

Direktur Eksekutif Pol-Tracking Hanta Yudha mengatakan, semua partai akan menerima bila figur berlatar belakang partai politik berbasis massa Islam dipinang menjadi bakal cawapres bagi Jokowi. Langkah itu, imbuh dia, sekaligus akan memastikan wacana koalisi Indonesia Raya akan hilang dan terlupakan.

Menurut Hanta, wacana membangun koalisi Indonesia Raya dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar dari partai yang bergabung. Gabungan suara dari partai politik berbasis massa Islam dalam pileg lebih dari 20 persen, sebut dia, bisa memastikan dukungan untuk Jokowi cukup mencorong. "Semua partai lagi menunggu, kalau ada yang diminta jadi cawapres Jokowi, maka koalisi (Indonesia Raya) ini tak akan dibahas lagi," kata Hanta.

PDI-P tentu tak ingin membuang kesempatan emas ini. Komunikasi dengan semua partai politik terus dilakukan. Ada tiga figur yang diutus membuka peta koalisi, yakni Tjahjo, Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP PDI-P Puan Maharani, dan Jokowi. Mereka pun berjanji akan segera mengumumkan bakal pendamping Jokowi.

Namun, definisi "segera" menurut PDI-P itu bisa hitungan jam, hari, bahkan pekan. Semua langkah barangkali sekarang sedang dihitung dengan sangat cermat, atas nama hasrat menang dan menjalankan kekuasaan.

Satu hal yang mungkin harus dicatat baik-baik oleh PDI-P adalah masyarakat yang menitipkan harap kepada partai ini akan menagih pelunasan janji tentang pemerintahan yang solid, program pro rakyat, dan mewujudkan "Indonesia hebat" sebagaimana slogannya dalam pemilu kali ini. Rakyat menunggu.

"Apakah dengan menganut agama Islam yang mempunyai orientasi internasional, seorang Islam Indonesia tidak terhalang untuk menjadi nasionalis? Marilah kita dengarkan apa yang dikatakan Gandhi, demikian Soekarno menekankan: cinta untuk tanah air dan bangsa saya menjadi bagian dari cinta saya untuk umat manusia." Tulisan ini adalah gambaran Lambert Giebels akan pandangan politik Bung Karno. Giebels mencatatkan hal ini pada buku "Soekarno, Biografi 1901-1950".

Dalam kondisi politik demikian, bagaimana kita mendudukkan pilihan politik untuk tidak memilih salah satu kekuatan politik yang tengah berlaga dalam momen politik elektoral? Mari kita melakukan analisis perbandingan politik dengan melihat suasana politik di Mesir sebagai pertimbangan dan posisi kaum kelas menengah progresif serta kalangan gerakan kiri pada momen-momen politik yang menentukan di PILPERS & pembentukan  Kabinet 2014

Dalam banyak pandangan, Bung Karno kerap berupaya dengan sungguh-sunguh menggariskan kebangsaan Indonesia. Sebuah kebangsaan yang unik. Kebangsaan yang luhur. Kebangsaan yang berbeda dengan pelbagai varian nasionalisme di belahan dunia lainnya. Nasionalisme Indonesia adalah kebangsaan yang berpuncak pada kemuliaan umat manusia.

Ikhtiar Bung Karno inilah yang pada sekarang membuat kita tetap menjadi Indonesia. Tetap terikat dan mengikat diri dalam satu negara bangsa. Sebuah komunitas yang terus berikhtiar untuk tegak di tengah arus besar peradaban, yang kadang terasa mendesak begitu keras, memaksakan kehendak yang asing atas kebersamaan yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 ini. Tidak mudah memang. Bahkan, sekarang mungkin lebih sulit.

Mengikat diri dalam satu hasrat kebangsaan, kadang kerap membuat kita menyisihkan kehendak yang sama kuatnya. Sebut saja, saat umat Islam, demi Indonesia yang utuh, mengikhlaskan penghapusan 7 kata dalam sila pertama, yang termaktub dalam "Piagam Jakarta": Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.  

Kerelaan ini adalah kesaksian betapa Indonesia adalah hasrat hidup bersama. Piagam ini adalah permufakatan dari "Panitia Sembilan" yang terdiri dari: Soekarno, Achmad Soebarjo, Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Agus Salim dan Mohammad Yamin.

Kebesaran hati memang menjadi syarat sebuah ikatan kebersamaan. Tanpa kebesaran hati, kebersamaan hanya seperti bersandar pada batang yang ranggas. Getas dan mudah patah. 

Tentu banyak hikayat yang dapat kita baca. Sebut satu contoh yang masih dekat dengan ingatan kita: Yugoslavia. Ia bersandar pada kekuatan Josip Broz Tito. Saat Tito mangkat, tak terlalu lama, Yugoslavia tercabik-cabik. Bubar dan saling terkam. Lalu hancur. Manusia hanya pelengkap dalam ikatan ini.

Demikianlah hasrat kuat untuk Indonesia tetap bersatu hingga akhir Abad 21 selalu layak untuk dijaga dengan sungguh-sunguh. Dengan iktikad yang kuat  maka lima puluh tahun kedepan Kematangan Jiwa Persatuan Bangsa Indonesia telah  melewati masa - masa kritis seperti saat yang kita hadapi saat ini Pemilu Legislatif yang terindikasi dirusak secara masif adanya keterlibatan asing untuk mempertahankan kepentingannya &Tendensi hancurnya ruang hidup bersama dan hilangnya penghormatan terhadap hak-hak sipil warga negara ini berlangsung karena pertautan kepentingan ekonomi-politik antara elite dan kekuatan-kekuatan sosial anti-keberagaman di Indonesia.

 Ketika "Tidak ada satu manusia yang bisa menggambarkan hari kemudian dengan saksama. Tidak ada satu manusia yang bisa menentukan lebih dulu wujud hari kemudian menurut kemauannya. Tidak ada satu manusia yang bisa mendahului riwayat." Kalimat ini adalah kesaksian Bung Karno dalam pembelaan "Indonesia menggugat" (1930).

Ikhtiar Bung Karno, juga keikhlasan para pendiri republik dari pelbagai golongan, atas ikatan kebangsaan kita hari ini adalah: kesaksian. Sebuah daya upaya yang ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Sesuatu yang tak mudah dijumpai di zaman modal ini. Alhasil, riwayat tanah air ini, kelak tetap akan tertulis. Dan, tak ada satu manusia pun yang bisa mendahului riwayat



Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog