Jumat, Agustus 26, 2011

Etika Pemimpin dan Reputasi Bangsa





Mengapa etika penting bagi sebuah bangsa? Jawabnya, ia berkaitan erat dengan kepercayaan (trust), yang pada gilirannya menentukan integritas para pemimpin dan reputasi bangsa itu.

Mengacu pada Francis Fukuyama, jika hendak menguji ketahanan sebuah bangsa dan kemampuannya bersaing di dunia, lihatlah pada tingkat kepercayaan yang diemban masyarakatnya. Di situ pula, di tengah karakteristik budaya kepercayaan yang berakar itu, faktor kehidupan ekonomi bangsa teruji.

Di situlah kemudian sebuah modal sosial berdiri kokoh. Modal sosial itu - yang dipraktikkan sebagai suatu kebiasaan dan punya akar dalam fenomena agama dan tradisi etika-kemudian membuahkan sebuah alasan penting bagi berfungsinya ekonomi modern dan institusi politik secara benar.

Namun, apakah etika itu? Etika, akal budi, atau akhlak bukanlah sekadar "melakukan sesuatu dengan benar" (do things right), melainkan merupakan pendekatan sistematis untuk menentukan "cara yang benar dalam bertindak", yang jadi pegangan bagi pemimpin yang baik. Oleh sebab itu, tak aneh jika masyarakat lalu mengaitkan urusan etika dengan fungsi kepemimpinan berbagai lembaga publik di negeri kita.

Orang bertanya, misalnya, apakah etis kalau petugas KPK bertemu secara diam-diam dengan terduga korupsi atau jika tokoh partai atau wakil rakyat berbohong atau bicara simpang siur? Sekiranya tidak melanggar hukum pun, etiskah memberi "amplop" kepada petugas lembaga peradilan atau menagih utang kartu kredit dengan ancaman? Selain itu, apakah tak melanggar etika jika kerumunan sebuah acara keagamaan justru makin memacetkan jalanan dan menyusahkan banyak orang lain?

Berbeda dengan hukum yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan orang, etika adalah mengenai apa yang selayaknya dilakukan. Etika bermula saat hukum berakhir. Apabila hukum berkaitan dengan pelaksanaan aturan dan prosedur yang tegas, etika menyangkut berbagai pilihan pengambilan keputusan yang lebih fleksibel. Itu sebabnya pelanggaran etika sering berimpitan dengan pelanggaran hukum, tetapi penanganannya lebih pelik karena memerlukan pendekatan berdasarkan nilai moral, filsafat, atau agama.

Pelanggaran etika sering ditutupi dengan "pembenaran" atau rasionalisasi, yakni menciptakan alasan mengada-ada demi menjaga agar "citra diri" tetap utuh. Saat orang tak dapat mencari alasan sebenarnya atas perbuatannya, ia akan mencari "rasionalisasi" bagi kelakuannya atau menimpakan kesalahan kepada orang lain.

Di antara beberapa "pembenaran" yang sering dipakai adalah pelaku mengaku "hanya menjalankan perintah orang lain". Meski banyak terjadi pada organisasi yang hierarkis, pembenaran model ini juga tidak bisa diterima karena, ketika seseorang "bebas bertindak", maka tidak ada keharusan bagi dia menaati perintah yang melawan hukum.

Pelaku lain mencari pembenaran dengan relativitas etis lewat pernyataan: "semua orang toh melakukan hal yang sama". Itu lazim terjadi karena manusia punya tendensi alamiah untuk menaati aturan main dalam kelompoknya. Saat pelaku meyakini apa pun yang kata kelompoknya sebagai "benar", kemungkinan itulah yang "benar".

Lebih parah lagi, kecenderungan itu bisa menjadikan pelaku berlepas tangan dari tanggung jawab moral. Tak hanya itu. Ada juga pelaku yang memakai rasionalisasi bahwa "tindakannya tidak membuat banyak perbedaan" sebab "kalaupun saya tidak melakukannya, toh orang lain akan berbuat hal yang sama".

Etika, "trust", dan reputasi
Etika, kepercayaan, dan reputasi (nama baik) adalah tiga sekawan yang tidak terpisahkan. Runtuhnya nama baik seorang tokoh, sebagaimana ambruknya reputasi sebuah organisasi, sering kali terjadi akibat pelanggaran etika.

Itu sebabnya mengapa para ahli komunikasi dunia menyarankan, saat hendak mengambil keputusan yang terkait dengan masalah etika, setiap organisasi mesti mengacu pada nilai-nilai dan pandangan yang ada di tengah masyarakat.
Lewat hubungan "mengambil dan memberi" dengan publiknya, pemimpin-dalam semua ranah kehidupan bernegara-menyerap apa yang diinginkan publiknya ke dalam rumusan strategi jangka panjang lembaganya. Dengan demikian, mereka mengedepankan pertimbangan "konsekuensi" model utilitarianism; lalu memilih keputusan terbaik yang "memaksimalkan hasil positif dan meminimalkan yang negatif" bagi orang banyak.

Banyak prinsip etika yang lain, di antaranya dua prinsip penting ini. Pertama, selalu menyampaikan kebenaran dan hanya yang benar-only the truth and the whole truth-tidak menyembunyikan sebagian dan mengungkap sebagiannya lagi. Kedua, membuktikan selarasnya kata dan tindakan. Banyak penelitian menunjukkan, persepsi publik terhadap sebuah organisasi ditentukan 90 persen oleh apa yang "dilakukan" organisasi dan hanya 10 persen dari apa yang "dikatakan" para tokohnya.

Lewat kedua hal itu, integritas meningkat, kepercayaan terbangun, dan reputasi terbentuk. Bukan hanya reputasi pemimpin politik, bahkan juga di bidang bisnis. Perusahaan dengan reputasi baik, menurut Fombrun dan Van Riel (2004), terbukti selalu mengalahkan perusahaan yang buruk reputasinya dalam semua ukuran finansial selama lima tahun berturut-turut.

Masalahnya, penerapan etika memang memerlukan keberanian moral dan hasilnya baru bisa dipetik dalam jangka panjang. Namun tidak perlu khawatir: riset membuktikan bahwa kemampuan menerapkan etika biasanya sejalan dengan naiknya "pangkat" seseorang dalam kariernya. Oleh sebab itu, kita berharap para pemimpin bisa menjadi teladan dalam menjunjung etika agar mereka mendapatkan kepercayaan demi reputasi dan kemajuan bangsa.

Syafiq Basri Assegaff: Dosen Ilmu Komunikasi dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina.(kompas)

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog