Selasa, September 18, 2012

Analisa Potensi Ancaman Kedaulatan NKRI dari Aset Alat Tempur TNI


Dengan Aset militer Indonesia yang terbukti paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Dan semakin pudarnya dominasi Rudal buatan Uni Sovyet di Indonesia  tentu ada perhitungan sendiri
ketika itu di bawah panji kestabilan ekonomi dan membina hubungan yang baik di kawasan, pada era Soeharto pengembangan rudal mulai berjalan, walau sangat lamban, bahkan secara de facto etalase rudal Indonesia sudah tertinggal dari Singapura dan Malaysia.Tapi harus diakui, tak serta merta sistem rudal Indonesia tertinggal secara keseluruhan, di lini rudal anti kapal, terlihat pemerintah sangat serius untuk memperkuat beragam rudal anti kapal, sebagai bukti adalah Yakhont, yang kini menjadi lambang supremasi alutsista Indonesia.Khusus pada era Orde Baru , Pemerintah nampak kurang mempersiapkan militer seumpama menghadapi konflik terbuka antar negara tetangga, berkat sosok Soeharto yang sangat disegani sebagai pemimpin pemerintahan paling senior di ASEAN, beragam alutsista di per-modern, tapi sayangnya dengan kuantitas yang serba minim. Tapi fakta kini berbicara lain, musim telah berganti, era baru pun harus disikapi secara tepat tanpa harus berlebihan. Dengan segala intrik dan konflik di seputar perbatasan, potensi munculnya perang antara negara bertetangga bisa saja meletus di masa mendatang.

Tanpa bermaksud mengharap datangnya peperangan, tapi diyakini, seandainya terjadi duel antara militer Indonesia dan Malaysia,  ada beberapa lakon dalam pertempuran akan memunculkan nama Sidewinder, Maverick, Exocet, atau bisa jadi Yakhont. Uniknya antar negara tetangga di ASEAN, termasuk Malaysia dan Singapura, mempunyai karakter dan jenis alutsista yang serupa. Sebut saja seperti rudal Maverick, Sidewinder, RBS-70, dan Rapier dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Inilah yang menarik untuk dicermati, konflik di masa mendatang akan terkait dengan teknologi tinggi, dan bisa dipastikan rudal akan selalu kebagian peran strategis yang menentukkan. Dalam buku “Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara” untuk pertama kalinya dibahas tentang sepak terjang dan etalase rudal yang dahulu dan kini memperkuat TNI.

Aset militer Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste.
Negara Tier 4 memiliki AEW&C dengan kemampuan tempur DJP paripurna. Singapura berbasis 4 pesawat G550 AEW&C. Australia memiliki 6 Boeing 737 Wedgetail AEW&C. Thailand punya 2 berbasis SAAB 340 alias S 100B Argus. Semua memiliki rudal BVRAAM, khususnya AMRAAM.

Hanya Indonesia dan Malaysia yang belum memiliki AWACS. Namun Indonesia hanya memiliki 10 Su-27/30, sementara Malaysia dengan 36 Su-30MKM, 8 F/A-18D dan MiG-29N. F-16 odong-odong Indonesia tidak dihitung karena belum mampu melakukan tempur DJP (BVR). Apalagi F-5 tua.
Negara Tier 4 keatas, diatas kertas memiliki kemampuan menggulung TNI, mulai dari meraih superioritas udara, dengan cara menghabisi ke-16 Su-27/30 dan 24 F-16 blok 32+ menggunakan kemampuan tempur udara DJP (BVR). Setelah TNI AU di gulung, seluruh pertahanan rudal anti serangan udara (RASU) TNI dengan mudah dihancurkan menggunakan rudal jarak jauh. Batalion-batalion Artileri Pertahanan Udara TNI AD  hanya akan bisa menonton kanon dan AAMG-nya di hancurkan oleh rudal, tanpa pernah melihat pesawat musuh. Tidak ada fungsi artileri pertahanan udara dalam perang moderen. SAM jauh lebih bermakna. Namun SAM dan manpad SAM TNI AD berjumlah sangat terbatas. Kalaupun TNI AD dapat mengakuisisi 2 atau 3 SAM moderen seperti S-300, dampaknya tidak terlalu besar. Keunggulan rudal udara jarak jauh dalam kondisi superioritas udara, terhadap batere SAM sudah terbukti.
Segera setelah meraih superioritas udara, fighter-fighter musuh akan berburu kapal-kapal perang Armada Timur dan Barat. Tidak ada kapal perang TNI AL yang memiliki pertahanan anti serangan udara memadai menghadapi rudal jarak jauh anti kapal.
Tanpa Alutsista yang mumpuni dari TNI AU dan TNI AL, Maka basis-basis pertahanan TNI AD akan menghadapi pengeboman tanpa memiliki kemampuan pertahanan. Tinggallah TNI menjadi inti pasukan gerilya, menunggu pendaratan musuh, jika musuh merencanakan invasi.
Kelemahan TNI ini terjadi karena TNI AU yang terlalu lemah, sedangkan perang moderen terpusat utamanya pada superioritas udara, baru kemudian superioritas laut, dan terakhir barulah kekuatan darat dapat di proyeksikan baik lintas laut atau lintas udara.

Apa yang diperlukan: Belajar dari Bung Karno dan Para Pendiri TNI

1. Semangat
Sukarno percaya diri bahwa angkatan udara bisa dibangun, padahal di masa itu SDM sangat sulit, kepakaran tidak ada, uang tidak ada, industri tidak ada.
Saat ini kita kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin teknologi dunia. Bahwa kita bangsa yang besar dengan 230 juta kepala yang cerdas. Rakyat kita yang paling miskin berhutang ke luar negeri mencicil ponsel. Rakyat kita yang miskin berhutang ke luar negeri dengan mencicil motor. Rakyat menengah berhutang ke luar negeri dengan mencicil mobil. Rakyat yang kaya berhutang ke luar negeri mencicil mobil mewah CBU. Semua penghasilan rakyat kita disetorkan untuk menjadi kemakmuran bagi bangsa asing.
Sementara semangat kita untuk kemandirian industri dan kemandirian teknologi tinggi seperti hilang lenyap.
Kita perlu semangat untuk menegakkan supremasi udara TNI AU, dengan akuisisi alutsista mandiri. Kita harus sadar bahwa sekarang tahun 2012, bukan tahun 1952. RRC bicara bagaimana pergi ke Mars. Korea bicara bagaimana mendominasi pasar ponsel dunia. Kita masih harus belanja pesawat baling-baling ke Brazil. Sedangkan doraemon tidak perlu ke Brazil untuk baling-baling-nya.
2. Kejujuran
Sukarno jujur, bahwa Republik tidak memiliki uang yang cukup, dan AURI tidak memiliki pesawat yang memadai.
Disini kita perlu mencontoh kejujuran tersebut, bahwa anggaran TNI yang 1,5% itu tidak memadai untuk mencapai MEF sampai kapanpun. Yang ada hanyalah daftar belanjaan dari trimatra, untuk kebanggaan dan pencitraan semu. Kita perlu jujur bahwa TNI AU membutuhkan minimal 4 skadron fighter besar hanya untuk bisa memberi kesempatan bagi TNI AL dan AD bertempur secara moderen, belum untuk mencapai MEF.
Minimum untuk mencapai MEF dalam Tier 4, dengan kondisi hankam mandiri (tanpa sekutu yang kapabel), dibutuhkan 2,5% dari GDP, dan sedikitnya 8 skadron pesawat tempur besar (F-15, Su-27/30, dsb). Dan kebutuhan itu bisa meningkat seiring peningkatan anggaran militer negara-negara tetangga dan negara-negara yang memiliki kemampuan mem-proyeksikan militernya ke nusantara.
Kita harus jujur bahwa pesawat tempur kecil seperti F-16 tidak efisien untuk mencapai superioritas udara di nusantara, karena dibutuhkan dalam jumlah terlalu besar. Setidaknya 3 kali lipat daripada kebutuhan pesawat tempur besar diperlukan untuk menjamin superioritas udara nusantara, agar TNI, baik AU, AD, maupun AL dapat melakukan perang moderen. Bahwa kepemilikan terlalu banyak jenis pesawat menurunkan kemampuan kita melakukan pememeliharaan.
3. Memanfaatkan potensi rakyat
Sukarno mau datang ke Aceh, tanpa malu meminta dukungan material rakyat Aceh.
Pemerintah tidak perlu malu untuk meminta dukungan rakyat, partisipasi potensi industri nasional, potensi intelektual nasional di kampus-kampus, dan potensi pembiayaan swasta nasional. Buat RFC, RFI, RFP, minta pendapat rakyat, bangun manajemen untuk mengkoordinasikan seluruh kekuatan itu.
Kita harus memikirkan apa yang kita punya, dan mengembangkan apa yang kita punya itu. Kalau kita punya industri kayu jepara, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya industri di Bekasi, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya PT Dirgantara dengan N-219, itu potensi rakyat kita. Kita punya banyak pengusaha bermodal besar, itu juga potensi rakyat kita.
AURI dibangun bukan dengan uang, bukan dengan tenaga ahli, bukan dengan industri, tetapi dengan keberanian, dan semangat juang. Sekarang semuanya kita miliki, kecuali keberanian dan semangat juang.


13425223071824344925

 

Kesalahan Akuisisi Berulang

F-16 dengan metode akuisisi berupa pembelian, tidak pernah bermanfaat bagi kemampuan tempur TNI AU. Dengan jarak tempuh terbatas dan kemampuan angkut senjata terbatas, fighter kecil seperti F-16 sangat tidak ideal untuk meraih superioritas udara di Nusantara.
Besarnya kemungkinan embargo menjadikan alutsista AS sangat tidak sesuai untuk di beli, kecuali dengan tingkat kemandirian yang memadai.
Walaupun dapat diperoleh dengan kemandirian, F-16 sendiri tidak sesuai untuk Indonesia, dengan alasan:
  1. Jika diproyeksikan sebagai platform utama fighter kecil seperti F-16 dibutuhkan dalam jumlah terlalu banyak, dengan kemampuan jangkauan terbatas dan kemampuan angkat rendah, sehingga harus ada banyak pangkalan udara, yang masing-masing membutuhkan pengawalan besar. Pada saat F-16 kembali ke lanud karena daya angkut senjata rendah, dibutuhkan F-16 lain untuk mengudara menjaga lanud dari serangan. Akibatnya untuk dampak yang sama dengan fighter besar, dibutuhkan 3 kali lipat fighter kecil.

  2. F-16 blok 32 tidak mampu menghadapi fighter manapun dari alutsista asing. Kalaupun dapat dibeli blok 52 yang mahal, tetap kemampuan tersebut tidak ada, mengingat blok 52+ Singapura dan Thailand di upgrade oleh Israel, pakar utama dari teknologi F-16. Untuk itu lebih baik dipilih fighter kecil yang lebih murah, yang sama-sama tidak efektif, tetapi yang mendukung untuk kemandirian alutsista dengan produksi di dalam negeri. Dengan demikian, biaya mengoperasikan skadron fighter dengan kemampuan tempur terbatas dapat tetap di justifikasi.

  3. AS selalu menjual alutsista berkualitas lebih rendah kepada negara non-blok (mis: Indonesia, Malaysia), dibanding dengan yang dijual kepada sekutunya (mis: Australia, Thailand, Singapura). Sebagai contoh, F-16 block 52+ hanya diberikan kepada Singapura (Indonesia semula mau beli block 52, diminta beli bekas, upgrade ke block 32+), F/A-18F hanya diberikan kepada Australia. Hanya Singapura dan Australia yang memperoleh AIM-120 C7, sedang lainnya maksimal C5 atau lebih rendah. Hanya Australia yang memperoleh ASRAAM. Sidewinder AIM-9X baru diberikan setelah ada Phyton-5 untuk keunggulan Singapura dan Thailand. Demikian pula untuk rudal-rudal lain, Indonesia hanya diizinkan membeli rudal AS yang tidak mengganggu supremasi militer sekutu AS.
Fighter buatan Indonesia sekalipun awalnya mungkin seadanya, tetapi dapat kita kembangkan secara mandiri. Ada banyak platform fighter yang bisa dibeli untuk kita kuasai, khususnya riset yang gagal, atau konsep yang ditolak oleh negara besar.Untuk itu Janganlah kita mengulang terus kesalahan yang sama.
Tahun 2012, seharusnya kita membicarakan soal satelit mata-mata dan payung rudal terintegrasi, tetapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. 
Namun jangan juga kita terlena dan melakukan pengadaan alutsista yang diluar prioritas, tidak perlu dengan tingkat kemandirian rendah, dan manfaat yang tidak nyata, seperti 16 EMB-314.
Atau pengadaan yang tidak sesuai dan memberi ketidak pastian seperti 50 KF-X pada 2020.
Atau pengadaan 24 fighter kecil F-16 yang tidak meningkatkan kemampuan tempur TNI AU.
Padahal ada prioritas penting yang harus dikejar oleh TNI AU, yang sangat vital demi memberikan AL dan AD kesempatan untuk berperang. Hanya kemampuan tempur moderen pada TNI AU yang memungkinkan hal itu. Menghindarkan TNI dari terlikuidasi dan terpaksa melakukan perang gerilya pada abad yang sudah lanjut ini.
Prioritas TNI AU adalah memiliki kemampuan tempur moderen secepatnya, guna menjaga udara nusantara. Yang juga bermakna mengejar kemandirian akuisisi alutsista secara agresif dan progresif.
Kemampuan tersebut hanya bisa diperoleh dengan memprioritaskan:
  • Pengadaan satu jenis (bisa beda varian) fighter besar minimal 4 skadron, menuju ke-8 skadron

  • Pengadaan sistem AEW terpadu dengan keunggulan

  • Pengadaan sistem senjata rudal canggih dan teruji

  • Kesiapan menghadapi setiap skenario proyeksi militer asing ke wilayah Nusantara, dengan kemampuan melakukan perang moderen
Bagaimana jika kita bisa mengadakan F-16 blok 52+, dilengkapi rudal AMRAAM, dan C-295 AEW&C kita bisa datang tahun 2015 ? Apa masalahnya ?
  • Kepemilikan 2 platform fighter berbeda F-16 dan Su-27/30 akan mengakibatkan masalah dalam kemampuan tempur TNI AU. Selain soal pemeliharaan, linud, dsb, kita harus memelihara 2 platform BVRAAM: AMRAAM dan R-77, juga 2 platform untuk semua tipe rudal udara lain. Dalam hal ini riset untuk kemandirian rudal, elektronik, counter measure, dsb akan terlalu mahal dan sulit dilakukan karena konsentrasi terpecah pada 2 platform berbeda.

  • AEW&C pun menjadi tidak optimal, karena AEW&C harus dikonsentrasikan untuk optimalisasi salah satu platform. Sebagai contoh apakah platform AEW&C bisa mengirimkan sinyal lokasi BVR target ke AMRAAM dan R-77 sekaligus ? Salah satu harus dikorbankan: F-16 atau Su-27/30.

  • Menggunakan platform asing sepenuhnya untuk AEW, tanpa alih teknologi dan optimasi, sama dengan bunuh diri. Katakanlah kita memperoleh IAI/Elta AESA Gen 4 (pastinya bukan teknologi terkini Israel) dengan dual interface platform BVR AS dan Rusia (yang hampir mustahil). Negara Tier 4 keatas akan sangat mudah memperoleh informasi kelemahan sistem tersebut. Semua negara Tier 4 melakukan upgrade persenjataan dan elektronik di Israel, dan entah kenapa, saya yakin mereka jauh lebih dekat dengan Israel daripada Indonesia. Akibatnya, dalam situasi konflik, platform AEW&C Indonesia, yang merupakan kunci perang moderen, akan dengan mudah di eliminasi. Dengan demikian kepemilikan AEW&C untuk F-16 (baca: alutsista negara barat), akan menjadi false-sense-of-security. Memberi perasaan nyaman seolah-olah udara nusantara dikuasai, padahal begitu terjadi konflik, seluruh aset udara tidak dapat melakukan perang moderen.

  • F-16 blok 52+ milik negara Tier 2 semua di upgrade di Israel, yang menjadi berbeda dengan F-16 blok 52+ produk AS, sekalipun namanya sama. Apakah anda berfikir AS mau memberikan persenjataan yang dapat memberi resiko bagi keunggulan udara Australia,  Singapura, dan Thailand, yang menjalin perjanjian pertahanan dengan AS ? Belum lagi penggunaan rudal Phyton yang jaul lebih unggul dibandingkan Sidewinder. Apakah kita juga mau membeli Python-4 dari Israel ? Kalau demikian sebaiknya buka dulu hubungan diplomatik.

  • Pada saat kelengkapan perang moderen F-16 tersebut siap, negara-negara Tier 4 keatas sudah berganti platform superioritas udaranya, dari F-16, F-15, dan F-18 menjadi F-35. Tidak ada harapan F-16 blok apapun berhadapan dengan F-35. Dan jangan harap AEW&C Indonesia bisa tetap mengudara.

  • Uang sebanyak itu lebih baik di prioritaskan untuk membangun armada fighter besar moderen dengan kemampuan BVR dan teknologi yang bisa kita kembangkan sendiri. Tulang punggung BVR, AEW dan BVRAAM bukan produk yang bisa dibeli dari negara lain, melainkan suatu teknologi yang harus dikuasai dan dikembangkan secara mandiri. Tidak berarti Pesawat AEW-nya harus kita produksi, atau propulsi BVRAAMnya yang harus di produksi sendiri, tetapi komponen-komponen vital yang menentukan kepemilikan kemampuan tempur udara untuk meraih supremasi udara nusantara.
Prosedur asal beli perlu dicegah. AEW&C, misalnya sebelum dibeli harus dipertimbangkan dengan baik spesifikasinya, agar fungsinya optimal. Adalah kekonyolan jika membeli AEW&C sebelum primary fighter dipesan, dan platform BVRAAM ditetapkan.

13425277621909791760

 

Pilihan Platform TNI AU

Kata kunci dari akuisisi alutsista yang berdampak positif adalah kemandirian akuisisi. Kemandirian disini artinya, setidaknya:
  • Produk dapat dirakit, dikembangkan desainnya, dan dilakukan seluruh pemeliharaan dan upgrade rutin di dalam negeri.

  • Persenjataan dapat dirakit, dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri.

  • Seluruh unsur elektronika dapat dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri, termasuk hardware dan software

Pilihan Pertama:

  • Fighter besar: F-15 Strike Eagle, dengan alih teknologi

  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat lama seperti F-5)

  • Rudal produk AS, Inggris, Prancis, Brazil, dan Israel, di transfer teknologi ke Indonesia
Kelebihan:
  • Teknologi lebih canggih

  • Pesawat dan rudal battle proven
Kelemahan:
  • Harga lebih mahal

  • Transfer teknologi lebih terbatas

  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meng-counter kelebihan alutsista negara tetangga, yang lebih dekat dengan AS dan didukung oleh Israel.

Pilihan Kedua:

  • Fighter besar: Kombinasi Su-27/30/34/35 atau Su PAK FA, dengan alih teknologi

  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat kecil Rusia)

  • Rudal produk Rusia, India dan China, di transfer teknologi ke Indonesia
Kelebihan:
  • Harga lebih murah

  • Transfer teknologi lebih
Kekurangan:
  • Teknologi belum battle proven

  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meningkatkan daya tempur alutsista
13426688711729164327

Pilihan Ketiga:

  • Tetap seperti sekarang, bagaimanapun ok. Pembelian bebas untuk pencitraan. Bisa TNI AU menggunakan F-16.

  • Dilakukan perjanjian kerjasama pertahanan dengan AS, dengan kewajiban AS untuk melindungi Indonesia jika mendapat serangan dari negara manapun, selama 50, 75, atau 100 tahun.

  • Disusun undang-undang melarang pelanggaran HAM, sesuai dengan standar AS, agar menghindari terjadinya embargo militer di masa depan.

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog