Rabu, Juli 03, 2013

UU Ormas Dikhawatirkan Berangus Organisasi Kritis

Rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU Ormas menjadi Undang-Undang meski ada penolakan dari sejumlah ormas.


 RUU Ormas sempat ditunda pengesahannya pada pekan lalu karena masih banyak penolakan dari masyarakat. Untuk itu diputuskan dalam rapat paripurna tanggal 25 lalu bahwa DPR akan melakukan sosialisasi kembali terkait RUU Ormas tersebut.

Ketua Panitia Khusus RUU Ormas Abdul Malik Haramain kepada wartawan mengatakan selama tahapan sosialisasi tersebut, pihaknya melakukan pertemuan konsultasi dengan Ketua PP Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Pengurus Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Wali Gereja Indonesia dan Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa (2/7) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) menjadi Undang-undang meskipun masih ada penolakan dari sejumlah ormas yang khawatir aturan itu akan dipakai memberangus organisasi massa.

Pengesahan RUU tersebut dilakukan secara pemilihan suara. Partai yang mendukung pengesahan RUU Ormas menjadi Undang-undang adalah Partai Demokrat, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan partai yang menolak pengesahan RUU tersebut adalah Partai Amanat Nasional, Gerindra dan Hanura.

Alasan penolakan beberapa partai itu  karena masih ada penolakan dari sejumlah ormas.

Hasilnya, lanjut Haramain, ada delapan pasal yang direvisi, diantaranya soal  bidang kegiatan yang semula akan dikategorisasi diubah menjadi diserahkan kepada ormas sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.

Selain itu,  ada penambahan syarat pendirian ormas yang didirikan oleh warga negara asing dan badan hukum asing dimana salah satu jabatan ketua, sekretaris atau bendahara harus dijabat oleh warga negara Indonesia.


Lebih lanjut, Haramain menjelaskan, pihaknya juga mengubah pasal soal sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap ormas lingkup provinsi, kabupaten/kota.  Dalam memberikan sanksi,  kepala daerah wajib meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kepala kejaksaan dan kepolisian setempat. Sebelumnya, kepala daerah hanya meminta persetujuan dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah.

Ormas-ormas yang berdiri sebelum proklamasi Indonesia, lanjut Haramain, tidak perlu mendaftar lagi.

“Kewenangan pemerintah lebih kepada (mem)fasilitasi karena hal pengawasan misalkan. Sebetulnya pengawasan kita serahkan kepada intern ormas tetapi pengawasan ketika melibatkan ormas lain atau publik yang lain maka pemerintah harus turun, karena itu pemerintah dan DPR membuat pasal tentang larangan dan sanksi,” ujarnya.

“Larangan itulah yang menjadi rambu-rambu bagi ormas untuk mengekspresikan kebebasannya yang kebebasannya yang tidak bisa mengganggu kebebasan orang lain atau mengancam orang lain.”

Di tempat  yang sama, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan pihaknya akan segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait UU Ormas ini agar mereka dapat memahami secara utuh.

Gamawan memastikan tidak ada pasal yang represif dalam Undang-undang itu.

“Kita akan minta pendapat Mahkamah Agung (MA) kalau ada aktivitas organisasi yang melanggar ketentuan UU ini, tidak bisa langsung dibubarkan oleh Menteri Dalam Negeri. Tidak bisa begitu karena sekarang mekanisme hukum yang lebih kuat. Jauh lebih lunak UU ini dan sangat memperhatikan hak-hak masyarakat dan sangat mengakomodir proses hukum. Kalau misalkan satu organisasi membuat keributan dan sebagainya itu masih kita minta pendapat hukum,” ujarnya.

Di luar Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, ratusan buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi menolak pengesahan RUU Ormas menjadi Undang-undang.

Koordinator aksi Iswan Abdullah mengatakan Undang-undang Ormas merupakan alat bagi pemerintah untuk mengintervensi ormas yang kritis. Serikat-serikat buruh, lanjutnya, juga akan sulit berdiri karena UU Ormas tersebut. Untuk itu, para buruh kata Iswan akan melakukan mogok nasional dalam waktu dekat untuk menolak Undang-undang itu.

“Kalau sebelumnya gerakan buruh atau serikat buruh hanya mencatatkan dinas tenaga kerja, maka ke depan harus mendapatkan izin pendirian dan berbadan hukum. Sementara menurut UU no. 21/2000 (tentang serikat pekerja/serikat buruh), serikat buruh hanya dicatatkan saja tetapi nanti itu dihapuskan,” ujarnya.

Aksi yang dilakukan ratusan buruh sempat sedikit memanas ketika polisi mencoba untuk membubarkan massa aksi. Meski sempat memanas, aksi tersebut tidak berakhir ricuh.

Sebelumnya pada Februari, sekelompok ahli dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menulis kepada para pembuat undang-undang di Indonesia, memperingatkan bahwa RUU Ormas mengancam akan membatasi kebebasan berbicara dan beragama. 
o

oleh Fathiyah Wardah



Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog