Dalam beberapa hari ini, media massa Indonesia banyak menyoroti tentang kasus NII (Negara Islam Indonesia) dan muncul berbagai reaksi tentang hal ini. Antara Jumat (29/4) menyebutkan. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda, Kalimantan Timur, KH Zaini Naim, mensinyalir, gerakan Negara Islam Indonesia NII di kota itu sudah ada sejak lima tahun silam atau pada 2006.
Dikatakannya, "MUI Samarinda empat hingga lima tahun yang lalu sudah mendeteksi adanya upaya untuk merekrut orang masuk ke NII."
Perkembangan NII di Samarinda tegasnya sulit dideteksi karena penyebarannya dilakukan secara berpindah. Gerakan NII di Samarinda lanjut Zaini Naim, tidak dilakukan di kampus tetapi di luar dan di mushalla.
Ia menduga, gerakan NII juga terkait dengan keberadaan Pesantren Al Zaitun di Indramayu, Jawa Barat.
Antara News (30/4) juga menurunkan laporan tentang sikap yang dikeluarkan oleh Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu yang menilai keberadaan kelompok yang menamakan diri Negara Islam Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Menurutnya, "Keberadaan NII harus kita perangi bersama karena menciderai nilai dari dasar negara Indonesia yaitu UUD 1945 dan Pancasila,"
Ralahalu mengajak, seluruh komponen bangsa di daerah ini meningkatkan kewaspadaan terhadap kegiatan-kegiatan yang mengarah pada gerakan yang bertentangan dengan NKRI.
Sikap serupa juga ditunjukkan Bupati Lebak H Mulyadi Jayabaya yang menegaskan gerakan Negera Islam Indonesia (NII) yang saat ini meresahkan masyarakat harus diberantas tuntas hingga ke akar-akarnya karena bisa melakukan perbuatan makar dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Ia mengatakan, selama ini gerakan NII sangat meresahkan masyarakat juga bisa menimbulkan kekacauan, terlebih mereka sudah melakukan tindakan kriminal dengan cara penipuan, pemerasan, dan penculikan.
Sebagian besar korban gerakan NII adalah mahasiswa dan pelajar.
Gerakan NII sangat membahayakan juga bisa melakukan perbuatan melawan pemerintah yang sah atau makar.
Sengaja Dibiarkan
Sebelumnya, menurut pemberitaan Kompas.com edisi Kamis (28/4), Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan, kembali mencuatnya pergerakan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) karena adanya pengabaian dan pembiaran oleh negara. Menurutnya, isu NII sudah ada sejak lebih kurang 20 tahun lalu. Namun, negara tidak hadir untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah menurunkan fatwa ini sejak dulu, tetapi pemerintah tetap tak bisa menyelesaikannya.
Pembiaran inilah yang, menurutnya, membuat kelompok NII dengan mudah menyebar, bahkan sampai ke sekolah menengah atas dan di perguruan tinggi. Din menilai negara tidak mampu untuk memutus mata rantai dari kelompok NII ini.
Sikap Din itu seiring dengan ungkapan Peneliti Setara Institute Ismail Hasani yang mensinyalir, mencuatnya kembali gerakan Negara Islam Indonesia (NII) memunculkan dugaan bahwa intelijen tak bekerja hingga tuntas untuk menelusuri akar-akar radikalisme. Ia menduga, ada sisi politis dari oknum intelijen yang memang membiarkan kelompok radikal berkembang dan eksis dengan menyisakan satu orang anggotanya untuk menjaga aktivitas gerakan tersebut.
Detikcom hari ini juga menurunkan berita yang sama mengenai NII. Menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, pemerintah RI tidaklah sulit dan tidak butuh waktu lama dalam menumpas NII KW 9. Sebab pemerintah sangat mengetahui soal NII.
Dikatakannya kepada wartawan Jumat malam (20/4), "Yang dilakukan NII KW 9 sudah membahayakan negara, dan sesungguhnya pemerintah tidak boleh membiarkannya karena sudah jelas bertentangan dengan ideologi negara dan bertentangan dengan konstitusi."
Saat ini, kata Hasyim, rakyat Indonesia menunggu sikap negara yang tegas. Bagaimana pun sumbernya (NII, Red) harus ditutup, begitu juga dengan muaranya. Bagi para pelaku yang mengajar dan merekrut anggota baru NII KW 9, maka mereka harus berhadapan dengan hukum.
Hasyim juga menilai, selama ini ada kecenderungan pembiaran. Tindakan hukum hanya diberlakukan bagi yang pengebom dan tindakan kriminal lainnya. Padahal, itu hanya kasuistis tetapi akar dari pergeseran bangsa menjadi negara agama, belum ada langka-langka konkret yang dilakukan pemerintah.
Ajaran NII
Kini kita simak laporan dari Kompas.com hari ini yang menguak siapa sebenarnya NII dari mulut Mantan Menteri Peningkatan Produksi Negara Islam Indonesia, Imam Supriyanto. Dikatakannya, Islam yang sebenarnya bukanlah ajaran yang dulu diajarkan oleh organisasinya tersebut. Imam Supriyanto kini telah resmi keluar dari Negara Islam Indonesia (NII).
Imam menuturkan kepada Tribunnews.com bahwa banyak ajaran sesat dan menyimpang dari NII. Shalat lima waktu, misalnya, dianggap bukanlah kewajiban untuk dijalankan. Padahal, dalam Islam, hukum shalat lima waktu adalah wajib.
"Shalat ketika itu saya anggap hanyalah ritual, tidak wajib. Yang wajib adalah mencari sedekah, infak, sana-sini. Dengan cara apa pun, infak harus saya dapat karena mereka yang bukan NII akan kami anggap bukan Islam dan halal hartanya (untuk dimiliki)," cerita Imam.
Dari yang dia ceritakan itu kemudian terungkap bahwa para petinggi NII ternyata gemar minum red wine (anggur merah). Meminum anggur merah itu menurutnya dianggap halal karena dianggap sebagai tanaman yang banyak di surga.
"Kami meminum red wine karena anggur adalah tanaman yang menghiasi surga. Itu pemahaman kami dulu. Alhamdulillah, saya diberi petunjuk oleh Allah SWT, keluar dari NII," ungkap Imam.
Sebelumnya, Imam juga mengungkap aset NII dalam berbagai bentuk, mulai dari uang tunai, obligasi, hingga emas. Ia mengaitkan NII dengan Pondok Pesantrean Al Zaytun di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
"Saya berdosa kalau tak menyampaikan apa adanya. Jangan sampai ada yang mengikuti langkah salah saya ini," aku Imam.
Kini, Imam mengaku harus meniti perjalanan hidupnya dari awal lagi. Imam yang tinggal di Purwakarta kini menjadi petani untuk menghidupi istri dan keenam anaknya. (ANT/MZ)