Selasa, 6 Juli 2010 17:22 WIB
ITULAH yang terjadi Selasa dini hari. Dua orang yang tidak dikenal melemparkan bom molotov ke Kantor Majalah Tempo di Jl. Proklamasi, Jakarta. Bom molotov itu tidak sempat membakar gedung karena berhasil dipadamkan petugas keamanan.
Aksi teror ke kantor media massa memberikan pencitraan buruk terhadap pembangunan demokrasi di negara kita. Itu simbolisasi bagi pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi.
Untuk itulah kita pantas mengecamnya. Bagaimana tidak sukanya kita terhadap pemberitaan media massa, maka tidak bisa kita bersikap seperti itu. Ada banyak jalur yang bisa dipakai ketika kita diperlakukan tidak adil oleh media massa.
Media massa tidak kebal terhadap hukum. Media massa tidak tutup telinga kepada segala macam kritik. Media massa terbuka terhadap segala koreksi bagi perbaikan kinerja mereka.
Media massa tidak bekerja atas dasar suka atau tidak suka. Media massa bukan bekerja hanya untuk memuaskan keinginan para pengelolanya. Mereka hadir untuk memerjuangkan kepentingan masyarakat.
Kritik dan koreksi dibuat bukan atas dasar tidak suka. Kritik dan koreksi dilakukan untuk mengingatkan yang mapan, menghibur yang papa. Media massa bukan memerjuangkan kepentingan yang besar. Mereka hadir untuk menyuarakan mereka yang terpinggirkan, mereka yang termarjinalkan.
Kritik media massa memang sering kali dirasakan sangat keras. Tetapi semua itu dilakukan bukan atas dasar kebencian. Media massa bertugas untuk mengingatkan seraya memberi kesempatan kepada mereka yang diingatkan untuk memerbaiki kesalahannya.
Bisa jadi dalam menjalankan tugasnya itui, media massa salah dalam melakukan penilaian. Atas segala kesalahan yang terjadi, sekali lagi media massa terbuka untuk koreksi. Media massa akan selalu memerbaiki kesalahan profesional yang dilakukan. Bahkan bukan mustahil atas kesalahan yang fatal, media massa akan meminta maaf.
Media massa yang profesional diatur oleh prinsip-prinsip jurnalistik dan kode etik yang jelas. Mereka tidak akan pernah menabrak rambu-rambu yang sudah digariskan ketika menjalankan tugas jurnalistik.
Kita tidak tahu siapa yang melakukan teror terhadap Tempo. Kita tidak tahu apakah teror ini ada koinsidensinya dengan laporan terbaru majalah itu yang sempat menghebohkan. Tempo baru saja mengangkat isu rekening gendut para jenderal polisi.
Saat menghadiri peringatan HUT Ke-64 Polri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa terhadap berbagai kritik tajam yang harus diterima Polri, sepantasnya itu dipakai sebagai bahan koreksi. Seluruh jajaran Polri diminta untuk tetap mengedepankan sikap rasional, bukan sikap emosional dalam menanggapi kritik sekeras apa pun.
Laporan tentang rekening gendut para jenderal polisi yang dibuat Tempo pasti bukan dimaksudkan untuk menghancurkan institusi Polri. Tempo sendiri berkepentingan bagi hadirnya institusi Polri yang bisa diandalkan untuk menciptakan ketenangan dan ketenteraman.
Buktinya, ketika sekarang Tempo dihadapkan kepada aksi teror, mereka meminta bantuan polisi. Institusi yang pertama-tama dimintai pertolongan untuk mengungkap kasus teror tersebut adalah polisi.
Tidak ada satu pun di antara kita yang tidak membutuhkan polisi. Negara ini pasti akan chaos ketika tidak ada polisi. Kita sudah merasakan ketika terjadi krisis di tahun 1998 dan polisi tidak ada di mana-mana. Keamanan dan ketertiban langsung hilang dan kita tiba-tiba hidup dalam kecemasan.
Polisi harus menunjukkan dirinya profesional. Aksi teror yang dihadapi Tempo harus bisa diungkap agar polisi tidak dituduh sebagai pelaku teror. Kita harus menuntaskan kasus ini agar kekerasan tidak terus menjadi ciri bangsa ini dan pembangunan demokrasi di negara kita tidak terganggu