Sabtu, Mei 30, 2009

Napak Tilas Sir ALEX ALATTAS .


Bapak Ali Alattas
Dia salah satu diplomat handal Indonesia. Menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinat dan pernah dinominasikan menjadi Sekjen PBB oleh sejumlah negara Asia pada 1996, suatu bukti kehandalannya mewakili Indonesia di pelbagai meja perundingan dan jalur diplomatik.
Selama dua dasawarsa lebih, Alex (nama panggilannya) memperlihatkan kelas tersendiri sebagai diplomat. Bahkan pada usia senjanya, ia masih mengemban tugas sebagai Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004). Kemudian pada masa pemerintahan Presiden SBY diangkatn menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Urusan Luar Negeri 2005-2008. Maka tak salah bila ia dijuluki singa tua diplomat Indonesia.

Kisah hidupnya adalah diplomasi. Padahal pada masa kecil ia bercita-cita menjadi pengacara. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia 1956,
kelahiran Jakarta 4 November 1932 ini, meniti karier sebagai diplomat sejak berusia 22 tahun. Ia mengawali tugas diplomatnya sebagai Sekretaris Kedua di Kedutaan Besar RI Bangkok (1956-1960), sesaat setelah ia menikah.

Pusat Data Tokoh Indonesia mencatat bahwa sebelumnya, ia sempat berkecimpung dalam dunia jurnalistik sebagai korektor Harian Niewsgierf (1952-1952) dan redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954). Selepas bertugas di Kedubes RI Bangkok, ia kemudian menjabat
Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966). Lalu ditugaskan menjabat Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972), Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975) dan Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976).

Kemudian, ia dipercaya mejalankan misi diplomat sebagai Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978). Kembali lagi ke tanah air, menjabat Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982). Lalu, kemampuan diplomasinya diuji lagi dengan mengemban tugas sebagai Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987). Selepas itu, ia pun dipercaya menjabat Menteri Luar Negeri (1987-1999) dalam empat kabinet masa pemeritahan Soeharto dan Habibie.

Saat menjabat Wakil Tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia harus menghadapi berbagai kritikan mengenai masalah Timor Timur. Ia dengan cekatan bisa melayaninya dengan diplomatis. Apalagi saat pecah insiden Santa Cruz yang menewaskan puluhan orang pada 12 November 1991, ia cekatan untuk meredam kemarahan dunia. “Diplomasi itu seperti bermain kartu. Jangan tunjukkan semua kartu kepada orang lain. Dan jatuhkan kartu itu satu per satu,” katanya.

Namun semua perjuangannya menjadi sia-sia seketika, manakala Presiden BJ Habibie memberikan refrendum dengan opsi merdeka atau otonomi, tanpa berkonsultasi dengannya. Suatu opsi yang amat naif. Ia tidak setuju atas solusi jajak pendapat yang dicetuskan Habibie itu. Sebab sebagai seorang diplomat, ia tetap berkeyakinan pada solusi diplomasi betapapun sulitnya sebuah situasi.

Maka tak heran, matanya berkaca-kaca beberapa saat setelah referendum. Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi dan yang lebih memilukan, Timor Loro Sa’e itu rusuh dan hangus dilalap api. Karena keputusan presiden yang sulit dimengertinya, ia harus rela mengakhiri karir diplomatnya dengan air mata.

Namun semua orang tahu, bahwa kekalahan di Timor Timur itu bukan kesalahannya. Tetapi kesalahan ‘bosnya’ yang di luar batas kewenangannya. Presiden Habibie memang akhirnya menuai badai – pertanggungjawabannya ditolak MPR – akibat ‘kecerobohan’ itu. Maka, nama besar Alex sebagai diplomat yang prestisius tetap terukir tinta emas dalam lembar-lembar perjalanan karirnya.

Sehingga, ketika Alwi Shihab diangkat menjabat Menlu pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Alatas dipercaya sebagai penasehat. Kemudian, setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Alex diangkat menjabat Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri.

Sebagai penasehat presiden ia antara lain telah menjalankan misi diplomat ke berbagai negara, termasuk ke Swedia, mengenai Hasan Tiro. Namun, aktivitasnya sebagai penasehat presiden tidak lagi sesibuk ketika ia menjabat Menlu. Sehingga, ia berkesempatan mengisi waktu dengan mewujudkan impiannya menjadi pengacara, sebagai salah satu penasihat hukum di Biro Pengacara Makarim & Taira's. Dan untuk mengisi waktu ia pun menikmati hidup dengan keluarga di rumah kediamannya di Kemang Timur, Jakarta Selatan dan Jalan Benda Raya No 19, Cilandak, Jakarta Selatan.

Para pemimpin dari berbagai negara terkejut dengan meninggalnya diplomat kawakan Indonesia, Ali Alatas, Kamis (11/12) pagi di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Mereka memuji peran menonjol Alatas dalam bidang diplomasi, baik di regional maupun internasional.

Ali Alatas, yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada 1988-1999, meninggal pada usia 76 tahun. Departemen Luar Negeri menyebutkan, Alatas meninggal pada pukul 07.30 waktu Singapura, diduga kuat karena terkena serangan jantung.

Jenazah almarhum tiba di Bandar Udara Soekarno-Hatta sekitar pukul 18.30 disambut oleh Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Rachmawati Soekarnoputri.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terguncang mendengar kabar meninggalnya anggota Dewan Pertimbangan Presiden Ali Alatas. Presiden bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, yang sedang berada di Indonesia, melawat ke rumah duka di Jalan Benda Raya No 19, Cilandak, Jakarta Selatan.

Presiden mendengar kabar meninggalnya Alatas saat menuju Bandara Ngurah Rai untuk kembali ke Jakarta. Presiden terguncang karena pada 7 Desember 2008 saat membesuk Alatas di RS Mount Elizabeth mengetahui almarhum dalam penyembuhan dan akan balik ke Jakarta pada 17 Desember.

Presiden membatalkan rencana kegiatannya di Palembang, Sumatera Selatan, guna menjadi inspektur upacara pada pemakaman secara militer bagi Alatas yang akan dilakukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jumat ini sekitar pukul 09.00.

Dengan Bintang Adi Mahaprana dan Bintang Republik Indonesia Utama, menurut Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, Alatas dinilai berhak dimakamkan di TMP Kalibata dengan upacara militer. Presiden melihat Alatas sebagai negarawan dan salah satu putra terbaik bangsa.


Mantan Kepala Badan Pelaksana Gerakan Nonblok dan Duta Besar Keliling Nana Sutresna, yang sejak tahun 1972 sering bekerja sama dengan almarhum, di Bandara Soekarno-Hatta kemarin petang mengatakan, Ali Alatas bukan hanya seorang diplomat ulung, melainkan juga pribadi luar biasa dan patut diteladani. ”Ketika beliau menjadi Sekretaris Menlu Adam Malik, saya sebagai Juru Bicara Menlu,” ujar Nana.


”Kita kehilangan putra terbaik bangsa, diplomat paling mumpuni yang pernah kita miliki,” kata Hassan Wirajuda dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali. Menlu mengaku, almarhum bukan hanya mantan atasannya, melainkan juga dianggap ayah oleh semua bawahannya.

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan, mengenal Ali Alatas sejak 40 tahun lalu ketika sebagai diplomat muda ikut menyaksikan berdirinya ASEAN pada tahun 1967. ”Beliau kenal baik dengan mendiang ayah saya. Peran Pak Ali Alatas paling menonjol saat menjabat Menteri Luar Negeri mulai tahun 1988. Bersama-sama TNI, waktu itu Bapak LB Moerdani, beliau sukses mengombinasikan diplomasi sebagai soft power dengan kekuatan militer sebagai hard power,” ujar Juwono.

Negarawan dihormati

PM Malaysia mengaku terkejut mendengar berita kepergian Alatas. ”Bapak Ali Alatas seorang negarawan yang sangat dihormati di Malaysia. Peranannya sebagai Menlu saat itu banyak membantu hubungan baik bilateral Indonesia-Malaysia,” ujar Badawi.

PM Australia Kevin Rudd menyebut nama Alatas sebagai seorang komisioner di Komisi Internasional untuk Perlucutan Senjata dan Antipenyebarluasan Nuklir, yang baru dibentuk. ”Alatas memberikan kontribusi baik visi maupun kerja kerasnya untuk memperkuat jaringan politik, ekonomi, dan pribadi di antara kedua negara,” kata Rudd yang sedang berada di Bali mengikuti Bali Democracy Forum, Kamis.

Adapun Singapura dalam pernyataan tertulisnya juga menyatakan, Alatas adalah seorang negarawan yang sangat dihormati, yang sangat meyakini pentingnya kerja sama regional. Ia berperan sangat penting dalam penulisan naskah ASEAN Charter.

PM Jepang Taro Aso pun menyampaikan belasungkawa kepada Presiden Yudhoyono. Menteri Luar Negeri Hirofumi Nakasone mengirimkan pesan serupa kepada Hassan Wirajuda.

Ungkapan belasungkawa dan pujian juga disampaikan Duta Besar Inggris untuk Indonesia Martin Hatfull, Duta Besar Iran untuk Indonesia Behrooz Kamalvandi, Duta Besar Polandia untuk Indonesia Thomaz Lukaszuk, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Eivind Homme, dan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Al-Mehdawi.(DWA/INU// GTF /OS/Antara/ AP/AFP/Reuters/OKI , )
Nama : Ali Alatas Lahir : Jakarta, 4 November 1932
Meninggal: Singapura, 11 Desember 2008
Agama: Islam


Jabatan Terakhir:
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Urusan Luar Negeri 2005-2008

Pendidikan :
:: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1956
:: Akademi Dinas Luar Negeri, 1956

Karir :
:: Korektor Harian Niewsgierf (1952-1952)
:: Redaktur Kantor Berita Aneta (1953-1954)
:: Sekretaris II Kedutaan Besar RI di Bangkok (1956-1960)
:: Direktur Penerangan dan Hubungan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1965-1966)
:: Konselor Kedutaan Besar RI di Washington (1966-1970)
:: Direktur Penerangan Kebudayaan (1970-1972)
:: Sekretaris Direktorat Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1972-1975)
:: Staf Ali dan Kepala Sekretaris Pribadi Menteri Luar Negeri (1975-1976)
:: Wakil Tetap RI di PBB, Jenewa (1976-1978)
:: Sekretaris Wakil Presiden (1978-1982)
:: Wakil Tetap Indonesia di PBB, New York (1983-1987)
:: Menteri Luar Negeri (1987-1999)
:: Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri (2001-2004)
:: Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Urusan Luar Negeri 2005-2008

Penghargaan:
Bintang Adi Mahaprana dan Bintang Republik Indonesia Utama

Alamat Rumah Keluarga:
Jalan Benda Raya No 19, Cilandak, Jakarta Selatan

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog