Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu Cina Yang
Jiechi sepakat untuk mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan
sengketa laut Cina Selatan, yang dipertikaikan Cina dan sejumlah negara
ASEAN.
Hal itu ditegaskan Marty dan Yang Jiechi usai
menandatangani kerjasama bilateral di Kementrian Luar Negeri, Jakarta,
Jumat (10/08) soreKerjasama itu, lanjutnya, untuk mengimplementasikan secara penuh dan efektif Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea.
"(Yaitu) membangun rasa saling percaya, meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan," tambahnya.
Semua itu, imbuh Yan, didasarkan atas "konsensus bagi diadopsinya suatu code of conduct di Laut China Selatan".
Diplomasi Indonesia
Sementara, Menlu Marty Natalegawa dalam wawancara terpisah dengan wartawan, mengatakan, negara-negara ASEAN dan Cina dituntut untuk menciptakan kondisi kondusif bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina selatan.Menlu Marty Natalewaga menyatakan, Cina sepakat mengutamakan pendekatan diplomatik untuk menyelesaikan sengketa di Laut CIna Selatan.
Setelah Komisi Militer Cina menyetujui
pendirian garnisun militer di kawasan sengketa di Laut Cina Selatan.
Media pemerintah China hari Minggu (22/07)
menyebutkan garnisun ini akan didirikan di wilayah pemukiman Sansha, di salah
pulau di Kepulauan Paracel, yang juga diklaim sebagai milik Taiwan dan Vietnam.
Cina telah mengerahkan militer di
Laut Cina Selatan dan keputusan terbaru ini makin mengukuhkan upaya Cina
mendapatkan kedaulatan.
Kantor berita resmi Xinhua memberitakan,
garnisun di Sansha memiliki misi memobilisasi pertahanan negara, menjaga, dan
mendukung layanan warga setempat di saat terjadi bencana.
Garnisun ini juga akan melakukan
berbagai misi militer, kata Xinhua.
Sansha tidak memiliki banyak
penduduk namun wilayah administratif Sansha meliputi kawasan perairan luas di
Laut Cina Selatan yang diklaim Cina.
Media nasional Cina mengkritik AS karena dianggap "membuat keributan" di
Laut Cina Selatan, dua hari setelah Beijing memanggil seorang diplomat
AS terkait isu tersebut.
Diprotes
Vietnam
Cina mengambil alih Kepulauan
Paracels secara penuh pada 1974 setelah terlibat sengketa laut dengan Vietnam.Keputusan Cina meningkatkan status
Vietnam menyebut tindakan Cina
melanggar hukum dan melanggar wilayah distrik yang masuk wilayah mereka.
Beberapa hari lalu ratusan orang di
Hanoi menggelar aksi protes menentang langkah Cina mengembangkan wilayah
Sansha.Perairan dan pulau-pulau di Laut China Selatan Kep. Spartlay di laut Cina Selatan diyakini memiliki cadangan minyak dan gas besar dan menjadi
sengketa Cina, Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan.
Upaya Filipina untuk mendapatkan hak kedaulatan ekslusif dan otoritas untuk
mengeksplorasi dan eksploitasi sumber alam di wilayah itu diluar negara lain. Tidak
ada keraguan dan sengketa mengenai hak tersebut."Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan, yang juga diklaim oleh Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei dan Malaysia.Diperkirakan wilayah laut Cina Selatan yang menjadi sengketa itu mengandung minyak dan gas yang besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan antara sejumlah negara menajam, menyusul peningkatan aktivitas maritim Cina di wilayah itu.
Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di Scarborough Shoul
Media nasional Cina mengkritik AS karena dianggap "membuat keributan" di Laut Cina Selatan, dua hari setelah Beijing memanggil seorang diplomat AS terkait isu tersebut.
Satu komentar meminta AS untuk
"tutup mulut" menyangkut subyek itu, sedangkan yang lain mengatakan
AS "layak mendapat kutukan."
Respon itu datang setelah Departemen
Luar Negeri AS mengatakan mereka memantau "dari dekat" meningkatnya
ketegangan di Laut Cina Selatan.
AS juga menyampaikan kekhawatiran
akan langkah Cina untuk memiliterisasi pulau sengketa tersebut. "Cina meningkatkan level
administratif akan Kota Sansha dan mengirim garnisun militer baru ke area yang
disengketakan berlawanan dengan upaya diplomatik kolaborasi untuk menyelesaikan
perbedaan dan meningkatkan ketegangan di wilayah itu," kata juru bicara
Patrick Ventrell dalam pernyataan hari Jumat.
Kota Sansha terletak di Pulau Woody
di kepulauan Paracel, yang dikendalikan Cina sejak pertempuran 1974 dengan
Vietnam. Taiwan juga mengklaim kepulauan itu, yang populasinya hanya ribuan
orang dan sebagian besar adalah nelayan.
Juni lalu, kota itu dinyatakan
sebagai basis administratif Cina untuk seluruh wilayah Laut Cina Selatan,
termasuk teritori Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal.
'Penghasutan'
Beijing memanggil wakil duta besar
AS Robert Wang hari Sabtu lalu untuk menyatakan "ketidakpuasan besar"
terhadap pernyataan AS.
Dan hari ini sebuah komentar di
edisi luar negeri People's Daily, media yang menjadi corong Partai Komunis,
membawa nada yang sangat tajam pada AS.
"Pernyataan AS membingungkan
semua pihak, membuat publik salah paham, mengirim sinyal yang salah dan harus
dikritik," kata komentar tersebut. "Kita dapat berteriak bersama-sama
kepada AS: Tutup mulut."
China Daily, dalam editorialnya juga
menuduh AS sebagai "pembuat keributan."
"Jika Gedung Putih tertarik
untuk memperbaiki perdamaian di Laut Cina Selatan, mereka harus meminta para
pembuat keributan agar tidak berulah. Kebenarannya adalah, AS telah menghasut
negara-negara lain yang terlibat konflik dan mempersenjatai mereka, pada saat
yang sama menyalahkan Cina karena langkah-langkah defensif."
Cina mengklaim wilayah Laut Cina
Selatan tersebut, sekaligus area yang diklaim oleh Filipina, Vietnam, Taiwan,
Brunei dan Malaysia.
Konflik kepemilikan itu dipicu
dugaan adanya cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar di wilayah tersebut.
Bulan lalu, Asosiasi Negara-Negara
Asia Tenggara (Asean) untuk pertama kalinya gagal melahirkan pernyataan bersama
terkait masalah itu.
Sengketa ini membuat pertemuan
negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pekan lalu gagal menelurkan komunike
bersama untuk pertama kalinya dalam sejarah organisasi tersebut.