Hendrikus Colijn mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, kemudian Perdana
Menteri Belanda. Veteran perang Aceh dan bekas ajudan Gubernur Jenderal
van Heutz. Sekitar tahun 1927 – 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang
menyebut Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Katanya,
masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang
terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tampa dibagi
dalam wilayah-wilayah.. Tapi Tuhan yang Maha Esa berkehendak lain .Bukan
suatu kebetulan, bahwa pernyataan Colijn tersebut malah memunculkan Kongres
Pemuda yang kedua pada tgl 28 Oktober 1928 di Batavia,dimana diikrarkan
Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa menjadi cikal bakal Bangsa Indonesia menuju Indonesia Merdeka Peristiwa ini kita kenang
sebagai hari Sumpah Pemuda.84 tahun silam
28 Oktober 2012 Semangat Sumpah Pemuda yang menghormati Pluralisme mulai bangkit kembali.
Suara lonceng berdentang kencang berasal dari sebuah gereja. Tidak
lama kemudian, adzan maghrib pun berkumandang dari sisi yang lain. Suara
keduanya pun berhenti setelah seolah-olah saling bersahutan. Kondisi
seperti ini lumrah terjadi setiap harinya di Manado, Sulawesi Utara.
Kota dengan mayoritas penduduk memeluk agama Kristen ini, kedua
terbanyak adalah agama Islam, banyak ditemukan gereja maupun masjid di
beberapa titik kota. Namun, keduanya tampak bebas menjalankan ibadahnya
masing-masing tanpa khawatir terganggu satu sama lain.
Semangat pluralisme tersebut yang tampak ingin diusung dalam Saresehan
dan Dialog Nasional Lintas Agama yang dihelat oleh Garda Pemuda Nasional
Wilayah Demokrat Sulawesi Utara (GP Nasdem Sulut). Dalam rangka
merayakan hari sumpah pemuda yang jatuh pada 28 Oktober 2012 ini, pas
sekali digelar di Manado untuk menciptakan simbol pluralisme.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah GP Nasdem Sulut, Hendrik Kawilarang
Luntungan, mengutarakan acara ini digelar dalam rangka merespon kondisi
bangsa saat ini yang dianggapnya sudah melenceng dari cita-cita pendiri
bangsa dan semangat sumpah pemuda. Menurut Rully, biasa ia disapa,
tingkat kerukunan ummat beragama di tanah air saat ini sudah mulai
menurun. Di beberapa daerah, konflik antar warga kerap terjadi. "Kondisi
ini terjadi karena pemimpin negara ini tidak bisa bertindak tegas,"
kata Rully kepada Taufiqurrohman dari GATRA di sela-sela acara di Hotel
Aryaduta, Manado, 27 Oktober lalu.
Kondisi tersebut
sebenarnya masih dapat diperbaiki. Buktinya, lanjut Rully, Indonesia
masih memiliki beberapa daerah yang "kental" menjunjung tinggi
pluralisme. Sebut saja Bali dan Yogyakarta yang masyarakatnya hidup
damai berdampingan dan kerap menjadi daerah tujuan wisata. Tampaknya itu
pula yang diinginkan Rully terhadap Manado, untuk menjadi salah satu
daerah yang menjunjung tinggi pluralisme.
Rully
menjelaskan, meski penduduk Sulut mayoritas nasrani, namun dipimpin oleh
seorang gubernur yang beragama Islam dan tetap mampu menjaga kerukunan
antar ummat beragama di daerahnya. GP Nasdem Sulut, menurutnya,
menginginkan kondisi seperti ini diterapkan dalam konteks bernegara.
"Indonesia bukan negara agama, tapi bangsa yang hidup dengan
keberagaman," katanya.
Dengan menggerakkan pemuda,
Rully mencoba untuk melakukan perubahan terhadap Indonesia yang
menurutnya saat ini memiliki kerentanan terjadinya disintegrasi
kebangsaan. "Harus ada gerakan dari pemuda dalam melakukan perubahan,"
tandasnya.
Cendekiawan muslim, Azyumardi Azra, yang
turut hadir dalam saresehan yang mengusung tema kerukunan Indonesia dari
Sulawesi Utara untuk Indonesia, menilai kerukunan bangsa justru
terancam akibat sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Menurutnya,
demokrasi di Indonesia terlampau liberal sehingga berpotensi merusak
tatanan kerukunan bangsa. "Selama sistem politik kita seperti ini, kita
harus siap menghadapi ketidakrukunan itu dimana-mana," katanya.
Sementara itu, rohaniawan Katolik, Franz Magnis Suseno, mengatakan,
kerukunan ummat beragama menjadi salah satu tantangan baru bagi pemuda
Indonesia. Setiap generasi harus bisa mengevaluasi konsep kerukunan.
Menurut Romo Magnis, biasa Franz akrab disapa, kerukunan tidak akan
pernah tercapai 100%. Meskipun begitu, seluruh elemen bangsa harus
belajar bagaimana mengelola perbedaan, baik perbedaan agama dan etnik,
maupun perbedaan pendapat dan kepentingan. "Kita harus belajar bahwa
perbedaan itu wajar," ujarnya.
Ketua Dewan Direktur
Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan
di Jakarta, Minggu, (28/10) menegaskan, peringatan Sumpah Pemuda ke-84
harus dijadikan momentum kaum muda memperkuat jiwa nasionalimse guna
meyingkirkan cengkeraman pengaruh asing, khusus bidang ekonomi dan
budaya individualistik yang mengancam martabat kehidupan rakyat dan
bangsa Indonesia.
Menurutnya, hal itu harus dilakukan
kaum muda karena saat ini pengaruh dan kiprah pihak asing dalam
perekonomian Indonesia sudah menjadi kaidah umum dan biasa, sehingga
meletakkan bangunan ekonomi nasional ke dalam dinamika
kapitalistime-neoliberalistik, yang sekaligus dapat mengubur cita-cita
berikut asas perekonomian rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-undang
Dasar (UUD) 1945.
"Dengan merajalelanya dampak
cengkeraman dan peruntungan asing ini, maka mandat kesejahteraan rakyat
akan tetap tergerus, alias selamanya dalam potensi pemiskinan yang juga
diakibatkan ketidakberdayaan negara dan pemerintah dalam melawan agenda
asing," beber Syahganda.
Ia menyebutkan, bentuk-bentuk
usaha asing menguasai perekonomian atau kekayaan tanah air, semata-mata
demi memperkaya jaringan pihak luar, seperti pengerukan tambang emas,
ladang perkebunan, dan sebagainya. Ironisnya, pihak asing ini malah
dipelihara oleh pemegang kekuasaan meski menelantarkan dan menghina
kedaulatan ekonomi rakyat. "Di luar itu, kita juga selalu takluk pada
pasar produk asing dan kesulitan memasarkan produk sendiri karena tidak
tegaknya nasionalisme kita," tandasnya.
Anggota dewan
pengarah Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA ITB) Pusat itu
mengungkapkan, fenomena arus gaya hidup masyarakat luas juga menciptakan
rasa keprihatinan berbangsa, akibat dominannya penyerapan budaya asing
serba hedonis-materialistik yang sengaja difasilitasi melalui berbagai
corak, baik langsung ataupun tidak yang bertujuan menggulung nilai-nilai
asli keindonesiaan untuk digantikan budaya asing yang penuh kekebasan
individu.
"Kita menyaksikan, bahwa budaya kesederhaan,
malu terhadap kehidupan rakyat yang masih miskin, dan peran solidaritas
sosial, kini menjadi terdesak secara hebat oleh budaya impor yang
mengutamakan egoisme maupun kepuasan diri sendiri," tandas Syahganda.
Atas dasar itu, imbuhnya, komponen kepemudaan Indonesia harus peka
mencermati arus perjalanan bangsa yang mulai goyah sendi-sendinya, baik
ekonomi ataupun moralitas budayanya. Kaum muda harus segera bangun dan
mengubah kekeliuran yang tengah mendera bangsa secara tidak terhormat
itu. "Pemuda Indonesia tidak boleh diam, mengingat keberadaan pemuda
pada masa lalu acapkali berjuang untuk menegakkan kehormatan bangsa,
oleh karena perjuangan menegaskan kedaulatan nasional, akan selalu hadir
untuk disongsong oleh kaum muda," ungkapnya.
Ia
berharap jatidiri pemuda Indonesia tak boleh redup untuk tampil
mengukuhkan terciptanya bangunan keindonesiaan yang dipercaya rakyat,
yakni dengan mengubah haluan dari kepentingan asing kepada nasionalisme
bangsa yang menghormati basis kedaulatan ekonomi dan warisan budayanya
sendiri.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, sikap kebhinekaan dan saling
menghormati perbedaan kian luntur dari rakyat Indonesia pada peringatan
sumpah pemuda yang ke-84 yang merupakan salah satu pemersatu bangsa
tanpa memandang Suku Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). "Sangat
prihatin, bahwa pada dekade belakangan ini, sikap saling menghormati dan
merayakan perbedaan dalam masyarakat meluntur dan hampir punah.
Padahal, cikal bakal negara bangsa Indonesia, dimulai salah satunya
melalui Sumpah Pemuda," nilai Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti
Chuzaifah di Jakarta, Minggu, (28/10).
Padahal, imbuh
Yuniyanti, 84 tahun silam, pada pernyataan Sumpah Pemuda, para pemuda
termasuk pemudi dari berbagai latar belakang etnis, agama, geografis,
dan ragam bahasa, meneguhkan sebuah janji menjadi satu kesatuan untuk
mengedepankan kepentingan bangsa Indonesia dengan menghormati
keberagaman yang ada di nusantara Indonesia saat itu.
"Sumpah Pemuda adalah sebuah tekad membangun visi dan fondasi berbangsa
untuk melupakan ego mayoritas-minoritas dan menepiskan kepentingan
lokal, organisasional, etnis, agama dan lain-lain, bersiteguh bersama
menentang ketidakadilan, diskriminasi, dehumanisasi, eksploitasi yang
saat itu mewujud dalam bentuk kolonialisme," paparnya.
Dipaparkan, Spirit Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu, juga beriring dan
disusul 2 bulan kemudian dengan terjadinya Kongres Wanita Indonesia
Pertama, 22 Desember 1928, dengan spirit yang sama, bahwa keberagaman
bisa menjadi kekuatan untuk menjadikan nusantara merdeka dari penindasan
dalam bentuk apapun dan menggeliat bukan hanya penindasan terhadap
bangsa Indonesia, tetapi melangkah satu tahap lagi untuk menentang
penindasan terhadap perempuan yang kerap tenggelam dalam agenda
nasionalisme yang lebih besar.
Berbahasa
satu, Berbangsa satu, dan Bertanah air satu, Jelas bukan dimaksudkan untuk
penyeragaman, tetapi justru bersatu dalam keberagaman. Dari janji ini,
lahirlah Indonesia yang hari ini dihuni oleh lebih 207 juta penduduk
dari lebih 300 kelompok etnis dengan lebih dari 800 bahasa lokal dan
dialek.
"Janji ini kembali dikuatkan lewat amandemen
konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan diperteguh dengan jaminan bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia,"
pungkasnya. (Gustaf /Gatra.}