Senin, Oktober 18, 2010
MATA PENDIDIKAN INTELIJEN SERTA WAJIB MILITER BAGI GENERASI MUDA INDONESIA
Tahun 1984 saat saya masih kuliah kami kedatangan beberapa mahasiswa dari Korea Selatan. Selain berinteraksi dengan mereka melalui diskusi, kami sempat beradu otot dan otak dengan mereka dalam permainan ketangkasan. Bisa ditebak, kami kalah oleh mahasiswa-mahasiswa Korea Selatan yang badannya tegap dan sikapnya tegas itu. Barulah saya sadar mereka baru saja menyelesaikan wajib militer di negaranya dan itu yang membuat tubuh mereka tegap dengan sikap yang tegas dan militan.
Kalau Anda ke Singapura, janganlah ge-er dulu kalau teman-teman Singapura Anda mengenal Indonesia sedemikian dalamnya. Mereka tahu jumlah pulau di Indonesia yang sampai 17 ribu itu, mereka tahu SBY presiden RI yang keberapa. Mereka tahu sumber-sumber daya alam dan lokasinya di Indonesia. Mereka tahu ketergantungan operasional Changi Airport terhadap ruang udara Indonesia. Mereka tahu luar dalam Indonesia, dalam beberapa obrolan ringan saya heran mereka tahu jumlah dan jenis pesawat tempur kita. Mereka sangat-sangat sadar kondisi negaranya dan mengenal negara-negara tetangganya karena mereka terikat wajib militer sampai batas usia tertentu. Pak Chappy Hakim sudah pernah menulis khusus tentang topik ini dalam postingan beliau.
Saat kampanye pilpres yang baru lalu, Prabowo Subianto mengangkat isu pentingnya pendidikan intelijen bagi generasi muda kita. Dia mengacu hal yang sama yang sudah diterapkan di Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan Vietnam. Menurut Prabowo, generasi muda harus disadarkan bahwa disadari atau tidak kita sedang terlibat pertempuran (baca: persaingan) dengan negara-negara tetangga kita paling tidak di bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara halus sebenarnya dalam bidang pertahanan dan keamanan juga. Rame-rame antara kita dengan Malaysia selama ini membuktikan fakta di atas.
Saat Orde Lama, kita mendapat indoktrinasi nasionalisme melalui ajaran-ajaran dan pidato Bung Karno, yang bahkan sampai saat ini saya masih bergidik mendengarkan isi pidatonya.
Saat saya menjadi mahasiswa di masa Orde Baru, kami mendapat indoktrinasi ideologi melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), mata kuliah agama, mata kuliah kewiraan dan mata kuliah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Terus terang, bagi saya yang tumbuh di jaman demokrasi Pancasila ala orde baru saat itu, penataran P4 hanya buang-buang waktu dan uang saja. Saat itu kami bersikap, kami diajari untuk menerapkan Pancasila sedemikian rupa, sementara pemerintah sedang menerapkan KKN (Korupsi, Kolusi Nepotisme) dalam segala bentuknya. Sebuah kemunafikan yang dipelihara, begitu pikir kami saat itu.
Antipati juga berimbas pada mata kuliah Kewiraan. Mata kuliah yang sebenarnya dirancang supaya mahasiswa sadar ideologi dan sistem hankam itu tak lebih dari pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Terus terang, kami benci mata kuliah ini karena dosennya kebanyakan diambil dari dosen Mata Kuliah Umum seperti Ilmu Budaya Dasar sehingga terlihat tidak terlalu menguasai materi. Sistem kuliah yang monoton sehingga seperti mengulangi Penataran P4 saja. Bisa ditebak, walaupun saya mendapat nilai B, saya tidak mendapat apa-apa dari mata kuliah itu.
Jaman berputar. Sebagai dampak reformasi kita meninggalkan semua yang berbau Orde Baru. P4 sudah dihapus. KKN (Kuliah kerja Nyata) bukan lagi menjadi mata kuliah wajib di beberapa kampus. Mata kuliah Kewiraan sepertinya sudah dihapus, diganti oleh mata kuliah Kewarganegaraan.
Praktis tidak ada lagi indoktrinasi ideologi bagi generasi di bawah saya, terutama generasi yang tumbuh di era reformasi ini. Indoktrinasi hanyalah melalui mata kuliah Agama. Kecuali mahasiswa dan generasi muda yang aktif di gerakan pemberdayaan masyarakat, generasi muda kita tidak lagi mengenal ideologi negara, yang mereka kenal hanyalah agama sendiri. Kualitas mahasiswa kita juga mulai dipertanyakan masyarakat. Demonstrasi yang tidak jelas maksud, tujuan dan bentuknya hanya sekedar menunjukkan diri sebagai mahasiswa, jelas tidak bisa dibandingkan kualitasnya dengan demonstrasi mahasiswa yang militan di era Orde Baru. Rasa malu juga muncul saat melihat budaya tawuran yang semakin menjadi-jadi di kalangan mahasiswa kita sekarang, jelas-jelas menunjukkan kerapuhan dan kekosongan jiwa beberapa mahasiswa kita.
Tampak jelas ketiadaan ideologi mulai muncul. Dalam kondisi seperti ini, terus terang saya jadi bertanya-tanya bisakah anak-anak muda kita menang dalam persaingan dengan anak-anak muda dari negeri tetangga.
Mungkin mata kuliah Kewiraan perlu dimunculkan lagi sebagai pendidikan intelijen bagi mahasiswa kita. Tentunya materi, metode dan instrukturnya harus berbeda sama sekali dengan jaman saya dulu. Biarkan mahasiswa meneliti sendiri lalu membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara tetangga lalu apa yang harus dilakukan untuk memenangkan pertempuran ini.
Sejak dini mahasiswa harus sadar adanya atmosfer pertempuran dan persaingan ini. Mahasiswa harus sadar bahwa walaupun bekerja di negeri sendiri, saat kelak mereka kerja di industri perbankan, di perusahaan energi, di perusahaan telekomunikasi, di perusahaan engineering boleh jadi mereka hanya akan jadi bawahan dari pihak-pihak asing yang menjadi investornya. Mereka harus disadarkan bahwa walaupun perusahaan-perusahaan itu ada di Indonesia, dia sudah tidak lagi menjadi milik Indonesia. Dan mungkin kelak mereka harus bersaing dengan teman-teman mereka dari luar negeri, hanya untuk mendapatkan pekerjaan….di negara sendiri.
Terus terang, saya tidak memunculkan isu ini untuk memanas-manasi suasana dengan negara-negara tetangga kita. Saya memprediksi bahwa masa depan adalah masa yang semakin sulit bagi adik-adik mahasiswa kita sekarang. Dan dengan pendidikan intelijen ini, diharapkan terbentuk sikap militan yang pantang menyerah. Nggak usahlah boro-boro untuk membela negara, paling tidak itu berguna untuk bisa bertahan hidup dan untuk memenangkan persaingan di masa depan.
Osa Kurniawan Ilham, Balikpapan
Langganan:
Postingan (Atom)