Pemerintah dan rakyat Indonesia sudah kecanduan impor. Ketergantungan Indonesia pada komoditas yang didatangkan dari negara lain itu semakin mengkhawatirkan.
Khususnya di sektor pangan, perut anak negeri ini semakin digantungkan pada hasil bumi negara lain. Hal itu tampak dari nilai impor pangan Indonesia yang selama semester I/2011 mencapai Rp45,6 triliun atau naik Rp5 triliun lebih ketimbang semester I/2010 sebesar Rp39,91 triliun.
Komoditas impor pun semakin bervariasi, mulai dari beras, jagung, singkong, bawang merah, cabai, hingga buah-buahan seperti jeruk.
Bahkan, Indonesia sebagai salah satu pemilik garis pantai terpanjang di dunia juga mengimpor garam untuk konsumsi warganya.
Tak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di dalam negeri, pemerintah juga mengimpor. Jumlahnya pun terus bertambah.
Terakhir, pemerintah menambah kuota impor daging beku sebesar 28 ribu ton.
Dengan demikian, total daging sapi beku yang didatangkan pada tahun ini menjadi 100 ribu ton.
Penambahan itu memicu protes dari peternak. Mereka khawatir peningkatan kuota impor itu bakal mendistorsi harga daging sapi lokal.
Apalagi, jumlah sapi lokal saat ini mencapai 14,8 juta ekor atau telah melebihi target swasembada sapi, yaitu 14,3 juta ekor. Seharusnya tidak ada alasan lagi untuk mengimpor.
Namun, pemerintah berkukuh menambah kuota. Dengan dalih mengamankan stok, keran masuk barang impor dibuka lebar-lebar.
Kengototan itu menegaskan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada sumber daya lokal. Sekaligus menunjukkan tiadanya keinginan untuk membangun kedaulatan pangan.
Padahal, persoalan kemandirian pangan mendesak untuk dibenahi. Sebab, hal itu menyangkut kebutuhan primer rakyat.
Terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok pada produk impor bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Apalagi dengan ancaman krisis pangan yang membayangi dunia, pasar pangan global tidak bisa lagi dipercaya sebagai sumber stok.
Indonesia harus mulai mengandalkan pasokan dalam negeri. Membangun swasembada pangan memang butuh kerja keras, tetapi bukan mustahil untuk dicapai karena negara ini punya semua. Lahan yang luas, iklim yang tropis, bangsa yang agraris, sampai pasar yang besar.
Tinggal keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian yang belum tampak. Juga, tidak adanya keberanian memberangus kartel pangan membuat negeri ini menjadi negeri pecandu impor.(mediaindonesia)