Rabu, Mei 22, 2013

Hari Kebangkitan Nasional yang ke-105 .Anti klimak Rakyat Indonesia Cerdas , Rakyat Muak Pada Calon Pemimpin Boneka hasil Rekayasa Negara Asing dengan hasil Pencitraan lembaga Asing


20 Mei 1908 - 20 Mei 2013. Kemarin kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-105. Satu abad lebih sudah kesadaran berbangsa kita terbentuk dan menjadi embrio kuat bagi terbentuknya negara yang kemudian diproklamasikan 17 Agustus 1945. Dasar tujuan berbangsa dan bernegara dinyatakan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Awal Reformasi 21 Mei 1998 juga patut disandingkan dalam memaknai Kebangkitan Nasional kali ini. Kebangkitan Nasional dan ruh Reformasi bukan hal yang terpisah. Ia melengkapi satu sama lain. Kebangkitan Nasional adalah semangat yang mendasari keberadaan bangsa dan negara Indonesia, sementara Reformasi adalah momentum atau jeda yang meluruskan perjalanan bangsa yang dianggap keluar jalur. Yang keluar dari prinsip-prinsip UUD 1945.
Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 adalah pintu gerbang. Tugas negara selanjutnya adalah membawa Indonesia yang merdeka dan berdaulat menuju bangsa berkeadilan dan makmur. Penjabarannya tertera dalam pasal-pasal UUD 1945.
Indonesia merdeka, sudah jelas dan diakui dunia. Tak ada satu makhluk pun di dunia ini yang masih meragukan bahwa Indonesia adalah negara merdeka. Namun tentang Indonesia berdaulat, hal ini yang masih menjadi persoalan. Berdaulat berarti mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu pemerintahan. Negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada kekuasaan lain yang dapat mendikte dan mengontrol negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 menjadi dasar dan tujuan negara. Keluar dari acuan UUD 1945 berarti kehidupan bernegara kita patut direformasi. Dikembalikan ke bentuk awal (reform).  
Berdaulat dalam konteks menuju bangsa berkeadilan dan makmur, kini masih menjadi pertanyaan. Dalam perjalanan 68 tahun sebagai bangsa merdeka masih banyak persoalan yang belum menunjukkan kedaulatan dan kemandirian kita. Hic et nun, sekarang dan di sini, perjalanan kemandirian bangsa masih berlangsung. Bentuk kemandirian dan kedaulatan yang kasat mata adalah potret industri kita. Apakah industri kita sudah mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, seperti amanat UUD 1945.?
 Potensi sumber alam dan manusia yang berlimpah belum juga membuat Indonesia berdaulat dan mandiri. Pemimpin dan teladan, dua hal yang makin langka di negeri ini. Pemimpin berdiri di atas semua golongan, mengutamakan kepentingan semua lapis warganya. Tak lagi memikirkan kepentingan partai, jabatan, kelompok apalagi keluarganya. Tindakan seorang pemimpin semestinya menunjukkan prinsip-prinsip tersebut. Pemimpin dibebankan sejarah untuk memberi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya rakyat yang dipimpinnya. Kemaslahatan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Bukan kemaslahatan partainya, bukan pula keluarganya. Oleh karenanya, tindakan seorang pemimpin –yang genuine leader— otomatis akan menjadi teladan di masyarakat. Pemimpin lahir dan hadir dari kebutuhan bangsanya bukan Boneka Pemimpin Negara yang menjaga agar kepentingan ekonomi Asing terpilihya  Presiden Boneka hasil pencitraan  konspirasi Negara negara  Asing yang Mengeksploitasi Sumber Alam Indonesia selama 4 dekade 
 Ekonom Thee Kian Wie yang meneliti sejarah ekonomi Indonesia sejak 1950 hingga 1990-an mengungkap: sejak merdeka, ekonomi Indonesia selalu dipenuhi langkah kebijakan yang merupakan coba-coba dibanding ketimbang langkah yang didasarkan pada analisis dan rancangan yang cermat. Yang lebih memprihatinkan lagi, langkah coba-coba di masa lalu itu amat sering dilupakan. Padahal, seperti kata peribahasa: barang siapa gagal belajar dari sejarah, ia akan dikutuk mengulangi sejarah. Katakanlah, Reformasi 1998 lalu kita dikutuk untuk mengulangi sejarah. Persoalannya, apakah kita sudah benar-benar belajar? Banyak yang menyangsikan hal itu. Malah dikatakan, reformasi kita dibajak kaum bermodal (kapitalis). Penguasaan sumber daya alam contohnya. Masih banyak sumber daya alam kita yang dikelola asing. Negara, dengan berbagai alasan, malah menyerahkan kepada asing. Industri kita belum beranjak menjadi kekuatan yang memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mandiri dan berdaulat secara ekonomi masih jauh dari kenyataan. Kita makin tergantung impor.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan Korea Selatan. Indonesia dan Korea Selatan merdeka hampir bersamaan waktunya. Korea Selatan merdeka 15 Agustus 1945. Kini negara itu menjadi kekuatan ekonomi dunia. Kebijakan industri Korea Selatan berkesinambungan, tahun demi tahun, walau kekuasaan politik berganti, berjalan sesuai target tetap, bukan coba-coba. Sadar dengan kekayaan alam yang sangat terbatas, pemimpin Korea Selatan merancang industri yang mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya dan bersaing dengan produk asing. Kini di umur yang sama dengan Republik Indonesia, industri Korea Selatan mampu ‘menguasai’ dunia.
Pada 1950, Korea Selatan adalah salah satu negara termiskin di dunia. Sama miskinnya dengan negara-negara termiskin di Afrika dan Asia. Ekonominya hanya bersandar pada pertanian, belum lagi sempat hancur gara-gara pendudukan Jepang dan Perang Korea. Selama empat dekade,  Korea Selatan berubah cepat dari negara termiskin, menjadi salahsatu Negara paling kaya dan tercanggih di dunia dengan nilai ekonomi trilyunan dollar. Pada 1963, GDP perkapitanya cuma USD100. Tahun 1995 sudah USD10.000. Dan pada 2007, USD25.000. Goldman Sachs meramalkan 2050 Korea Selatan akan jadi negara terkaya nomor dua dunia, mengalahkan semua bangsa lainnya kecuali Amerika dengan pendapatan per kapita USD81.000. Korea juga tercatat sebagai bangsa dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi tercepat sepanjang sejarah.
Apa yang mengubah Korea Selatan? Pemerintahnya berpikir soal industri baja itu sendiri secara masak. Mereka merancang strategi jangka panjang dan konsisten melaksanakan itu. Walau kekuasaan politik berganti, kebijakan strategis tetap dijalankan. Ini berbeda dengan dengan Indonesia. Tiap rezim menjalankan agenda coba-cobanya sendiri.
Hampir semua negara di dunia ini mendambakan memiliki industri baja yang kuat dan tangguh. Karena industri baja adalah mother industry (ibu segala industri). Kemajuan industri baja pasti memicu penguatan sektor industri lainnya di suatu negara. Kenapa demikian? Karena semua industri, apalagi industri berat, bertumpu pada baja. Bagaimana suatu negara bisa membangun industri alat rumah tangga, mesin jahit, elektronik, mobil, pesawat, kapal laut, senjata, perakitan mesin, konstruksi dan lainnya, jika tidak dipasok dengan baja berkualitas.
Jerman bisa menjadi raksasa menakutkan dalam Perang Dunia I dan II karena memiliki industri baja yang tangguh untuk memproduksi tank, pesawat, kapal laut dan lain sebagainya. Jepang juga demikian. Meski industri bajanya tangguh, namun kedua negara tersebut miskin bahan baku sehingga perlu mencaplok negeri lain.
Logikanya Indonesia bisa jadi superpower baja karena deposit bijih besi yang kita miliki 320,43 juta ton! Industri baja pun sudah kita rintis sejak 1970 dengan Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Sayangnya kita belum mampu mengeksplorasi maksimal ratusan ton bijih besi itu. Banding dengan industri baja Korea Selatan, Posco yang sama-sama berdiri pada 1970. Posco rata-rata mampu memproduksi baja 28 juta ton per tahun, sementara KS hanya 2,5 juta per tahun. Setelah 30 tahun industri baja Korea Selatan tumbuh, merek-merek seperti Hyundai, KIA, Samsung dan sebagainya membanjiri dunia. Sementara Indonesia kini malah kewalahan menghadapi berbagai produk asing termasuk produk baja, khususnya dari China.
Pelajaran dari Korea Selatan adalah bukti political will pemerintahnya yang tinggi dan konsisten terhadap pembangunan bangsanya. Bukti strategi kebijakan industri yang terus menerus berkesinambungan. Mentalitas rakyat akan terbentuk dengan bangga dan cinta menggunakan produk lokal. Indonesia adalah pasar produktif dan prospektif.
Kini industri baja kita malah dijual pemerintah. Apakah kita tidak malu melihat bangsa-bangsa lain mampu membuat dan memiliki merek sendiri atas mobil, pesawat, kapal laut, mesin jahit, elektronik dan sebagainya. Sementara negeri yang kaya raya ini hanya jadi objek pemasaran produk asing.Bangkit, mandiri dan sejahteralah bangsaku.


Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog