Sabtu, Juni 26, 2010
Australia Dipimpin Perdana Menteri Perempuan
SEBUAH kejutan politik terjadi di Australia. Perdana Menteri Kevin Rudd secara tiba-tiba memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Sebagai penggantinya tampil Wakil PM Julia Gillard yang sekaligus menjadi pemimpin Partai Buruh dan akan maju sebagai calon PM dalam pemilihan umum bulan Oktober mendatang.
Dalam sistem parlementer, pemilu bisa dilakukan setiap saat oleh mereka yang memegang tampuk kekuasaan. Pemilu bisa dipercepat dari jadwal yang seharusnya apabila dinilai dukungan politik sedang berpihak kepada mereka yang sedang berkuasa.
Pergantian PM Australia itu sendiri dilakukan setelah Kevin Rudd menetapkan bahwa pemilu akan dilakukan bulan Oktober. Namun ternyata popularitas Rudd menurun drastis menyusul kebijakan perpajakan dan pengelolaan lingkungan yang dinilai tidak sejalan dengan apa yang diharapkan rakyat Australia.
Untuk menyelamatkan nasib Partai Buruh, maka pilihan pahit itu terpaksa diambil. Pimpinan Partai Buruh sepakat untuk menunjuk Gillard sebagai ketua partai yang baru dan otomatis menggeser Rudd dari kursi perdana menteri.
<
Tantangan yang segera dihadapi Gillard adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang lebih prorakyat. Gillard harus mengembalikan hati rakyat Australia yang sempat menurun menyusul berbagai kebijakan yang diambil Rudd. Hal ini penting untuk menjaga dominasi Partai Buruh pada pemilu bulan Oktober mendatang.
Begitulah cara bekerjanya politik. Memang orientasinya adalah kekuasaan. Tetapi kekuasaan itu harus dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat. Apabila kekuasaan itu tidak dipakai untuk kepentingan rakyat, maka partai yang berkuasa akan ditinggal oleh rakyat.
Pada kasus Australia terlihat kuatnya kesadaran berpolitik dari masyarakat. Mereka tahu betul bahwa ketika mereka memberikan suaranya, maka harapannya adalah pemerintah yang berkuasa akan memerhatikan kepentingan mereka. Ketika janji itu tidak direalisasikan, maka mereka segera menarik dukungannya.
Partai politik sangat takut untuk kehilangan kepercayaan dari rakyat. Karena kehilangan kepercayaan itu otomatis berarti kehilangan kekuasaan. Ketika mereka tidak berkuasa maka terbataslah kesempatan untuk menyejahterakan masyarakat.
Seberapa jauh Gillard akan mampu menyelamatkan Partai Buruh, penentuan akan diketahui pada pemilu mendatang. Empat bulan ini merupakan waktu bagi dirinya untuk menunjukkan kemampuannya untuk memimpin negeri tersebut.
Kebijakan yang ditunggu pertama-tama tentunya diperuntukkan untuk kepentingan dalam negeri. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan Australia dengan Perang Irak maupun hubungan dengan negara tetangga.
Itu merupakan isu yang tidak kalah sensitif karena masyarakat Australia merasa menjadi korban dari kebijakan Amerika Serikat di Irak. Banyak warga yang harus kehilangan sanak keluarganya karena tewas di sana. Itulah salah satu yang menyebabkan Partai Konservatif kehilangan kekuasaannya dan simpati mengalir ke Kevin Rudd pada Pemilu tahun 2007.
Semua warga Australia tentunya berharap Gillard bisa membawa kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mereka berharap bahwa ada perempuan PM yang mampu memimpin Australia dan memajukan negeri itu.
Seperti halnya Menlu AS Hillary Clinton, PM Gillard dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan anggota parlemen yang kritis. Latar belakang pendidikan hukum serta profesinya sebagai pengacara membentuk dirinya sebagai tokoh muda yang cemerlang.
Di usianya yang belum 50 tahun, Gillard pantas menjadi harapan baru Australia. Kesempatan itu sudah ada di tangan dan tinggal dibuktikan saja. Gillard sudah menyiapkan semua itu. Ia sudah meminta rakyat Australia melupakan segala perbedaan dan kini bersama-sama memajukan negara. Kita tunggu saja hasil kerjanya.
Langganan:
Postingan (Atom)