Senin, April 06, 2009

Meninjau Koalisi

Kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi.
Jum'at, 20 Maret 2009, 08:14 WIB
Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto
Bima Arya Sugiarto

Meninjau Koalisi

news - Saat ini Indonesia memasuki fase yang sama seperti yang dialami oleh negara-negara demokrasi baru. Biasanya kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi (perwakilan rakyat yang dikejewantahkan melalui partai dan koalisi), tanpa terlalu mengindahkan aspek governabilitas atau cara memerintah.

Perlu diingat, kuat atau tidaknya suatu pemerintahan bukan hanya bergantung pada aspek koalisi. Namun di manapun, kebanyakan presiden yang datang dari partai minoritas memang mengalami deadlock (jalan buntu). Atau setidaknya hambatan, dalam meloloskan kebijakan pemerintahannya di parlemen – yang notabene dikuasai oleh partai mayoritas.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna membangun sistem pemerintahan yang efektif. Misalnya, bagaimana merumuskan sistem pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).

Jika pileg dan pilpres disatukan, maka akan lebih efektif karena preferensi publik didorong untuk memilih koalisi lebih awal. Partai-partai pun akan membangun koalisi lebih awal, sehingga koalisi tidak melulu pragmatis, dan mandat rakyat akan lebih kuat.

Desain wewenang antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) pun harus diberi garis demarkasi (pembatasan) yang lebih jelas. Ini penting karena meskipun pemerintahan terdiri dari koalisi besar (lebih dari 50 persen), namun hal itu akan menjadi percuma seandainya kewenangan eksekutif tidak tercantum secara tegas dalam konstitusi. Sebesar apapun koalisi, akan sia-sia saja bila wewenangnya tidak dipayungi oleh konstitusi yang merupakan hukum tertinggi di suatu negara.

Bayangkan saja bila pembagian tugas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak jelas. Bagaimana mungkin presiden yang hanya dibantu oleh puluhan orang menterinya, bisa melawan lebih dari 500 orang di parlemen? Dengan demikian, eksekutif akan efektif hanya bila didukung oleh constitutional power (kekuatan konstitusional).

Leadership style ( gaya kepemimpinan) juga menjadi faktor penting dalam membangun pemerintahan yang efektif. Bila seorang pemimpin tidak lincah, tidak canggih, lebih banyak diam, tidak bisa merumuskan agenda taktis dan strategis, maka bagaimana pemerintahan yang dipimpinnya bisa menyelesaikan berbagai persoalan bangsa?

Dengan demikian, sistem pileg dan pilpres, desain wewenang antara legislatif dan eksekutif, serta leadership style, merupakan beberapa faktor penting untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang kuat dan efektif. Tentu kuatnya ikatan dan komitmen dari koalisi juga tetap berpengaruh di sini.

Meninjau kemungkinan koalisi antara PDIP dan Golkar, koalisi besar antara dua gajah ini bisa saja berprospek. Namun bila koalisi terlalu kuat, dikhawatirkan check and balances antarlembaga eksekutif dan legislatif justru tidak bisa berjalan. Ini karena parlemen dikuasai oleh partai koalisi, sehingga oposisi yang merupakan minoritas di parlemen tidak bisa mengkritisi dan mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah secara efektif.

Bagaimanapun, koalisi sangat sulit dibangun dalam sistem multipartai seperti yang saat ini berlaku di Indonesia. Terlalu banyaknya partai membuat ikatan koalisi menjadi longgar. Selain itu, kohesifitas antarpartai pun menjadi lemah. Contohnya Jusuf Kalla (JK) menang pemilu dan kemudian didukung oleh PDIP secara organisasi. Benar bahwa PDIP secara formal mendukung JK. Namun tidak ada jaminan bahwa di internal PDIP tidak ada individu yang membandel dan menentang kebijakan partainya sendiri.

Disarikan dari Bima Arya Sugiarto, doktor dalam bidang ilmu politik dari Australian National University, dalam dialog ‘Membangun Pemerintahan yang Kuat dan Efisien’ di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2009.
Waspadai Kerawanan di Aceh Jelang Pemilu

Menjelang pemungutan suara 9 April 2009, di Aceh suhu politik dan kriminal sama-sama meningkat. Intimidasi, teror mewarnai masa kampanye di Aceh, masyarakatpun cemas. Banyak pihak meminta pemilu di Aceh diundur saja. Situasi dan kondisi di Aceh tersebut sebaiknya segera mendapat perhatian dari aparat keamanan, bila tidak segera diatasi maka kedamaian di Aceh akan terusik.

Kepala Kepolisian Resor Aceh Utara Ajun Komisaris Besar Yosi Muamartha Yosi di Lhoksukon, Kamis (2/4), terkait permintaan partai nasional dan beberapa partai lokal di Aceh Utara untuk memundurkan jadwal pemungutan suara karena masih maraknya intimidasi dan teror, mengatakan Polisi menjamin keamanan partai nasional maupun partai lokal dari intimidasi dan teror pihak mana pun menjelang hari pemungutan suara. Polisi telah merespon permintaan partai-partai nasional di Aceh Utara yang meminta pengunduran jadwal pemungutan suara. Permintaan pengunduran jadwal pemungutan suara dari partai-partai nasional ini tengah dibahas di Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Namun tak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan terkait persoalan situasi keamanan di Aceh Utara. Sampai sekarang tidak ada laporan berkaitan dengan pidana pemilu. Pantauan polisi di lapangan juga kondisi Aceh Utara masih tergolong aman.

Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Aceh Utara, Satria Insan Kamil, mengatakan karena partai nasional meragukan jaminan keamanan dari polisi maka ada permintaan agar pemungutan suara diundurkan. Sebelumnya, hampir seluruh partai nasional yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif di Aceh Utara dan beberapa partai lokal seperti Partai Bersatu Atjeh (PBA) menuntut pengunduran jadwal pemungutan suara karena masih maraknya teror dan intimidasi terhadap peserta pemilu dan warga masyarakat (Kompas, 2/4). Polisi tak bisa menjamin peserta pemilu, terutama dari partai nasional dan partai lokal di luar Partai Aceh, aman dari intimidasi dan teror. Misalnya Polres Aceh Utara belum menangkap pelaku kasus pemukulan calon legislatif PBA Ismet Nur AJ Hasan yang diduga dilakukan kader Partai Aceh.

Lebih lanjut Satria menyatakan kalau memang polisi tak bisa menjamin tidak ada lagi teror dan intimidasi, sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundurkan jadwal pemungutan suara di Aceh Utara. Bagaimana kami mau melakukan sosialisasi ke pedalaman kalau terus diintimidasi dan diteror. Hampir semua partai nasional kesulitan untuk melakukan sosialisasi ke pedalaman karena dihalangi oleh salah satu partai lokal. Dikhawatirkan, pemilih di pedalaman Aceh Utara juga tak bisa menggunakan hak pilihnya tanpa paksaan dan intimidasi. Menyikapi kondisi ini, partai nasional dan beberapa partai lokal telah menyiapkan draft kesepakatan soal pengunduran jadwal pemungutan suara ini untuk dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, KPU dan Komisi Independen Pemilihan
(KIP) Aceh Utara.

Sementara itu, salah seorang calon legislatif DPRK Aceh Utara dari Partai Persatuan Daerah Syaiful Mahdi menuturkan, mustahil perdamaian di Aceh bisa terpelihara kalau menjelang pemilu masih ada intimidasi dan teror. Pihaknya meminta kader salah satu partai lokal untuk tidak terlalu berlebihan dalam berusaha mencari dukungan pemilih. Kita semua ini orang Aceh. Jangankan partai politik, masyarakat pun berharap demikian.

Semua pihak, baik parpol nasional maupun lokal di Aceh bisa memelihara kedamaian, terutama untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Pemilu bukan untuk mencari menang sendiri dengan menghalalkan segala cara, tetapi pemilu merupakan proses demokrasi yang baik, fair dan penuh kebersamaan demi kemajuan bangsa dan jalannya roda pemerintahan yang stabil.

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog