Minggu, Oktober 18, 2009

Mungkinkah Terulang Perang Dingin , Blok Barat VS Blok Timur ?

Relik Perang Dingin di Arus Globalisasi

PENDAPAT umum mengatakan, robohnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet menjelang 1990-an merupakan pertanda berakhirnya Perang Dingin. Itu berarti polarisasi antara Barat di bawah AS kontra Timur di bawah komando Uni Soviet selama lebih dari 50 tahun berakhir sudah.

Memang, konfigurasi dunia sejak awal 1970an pernah menjadi tripolar karena adanya konflik Soviet-Cina yang mengakibatkan peredaan ketegangan Baijing-Washington. Tapi pola Barat vs Timur sebagai penanda konflik ideologi dunia tak banyak berubah.

Sebagai penggantinya muncullah globalisasi dengan ciri dunia yang lebih terintegrasi sebagai dampak dari makin banyaknya manusia yang berpindah tempat. Itu ditambah lagi semakin cairnya pergerakan modal dan jasa serta adanya saling ketergantungan antara wilayah dan negara.

Satu pertanda utama dari globalisasi adalah ketersingkiran ideologi sebagai faktor yang selama lebih dari 50 tahun telah berfungsi sebagai motif berlangsungnya Perang Dingin. Kini hubungan antarnegara lebih didasarkan kepada kepentingan praktis, khususnya ekonomi dan kepentingan nasional lainnya.

Globalisasi tercermin dari peran G-20 yang makin besar, menggantikan G-8, ketika negara-negara industri maju mendominasi pengaturan perekonomian dunia. Di samping itu tekad Washington-Beijing membuka hubungan bilateral dan kemitraan strategis guna mengatasi krisis finansial dunia menjadi pertanda tentang makin menonjolnya proses globalisasi dan integrasi dunia.

Namun di tengah arus globalisasi yang sedang kencang itu, ada indikasi tentang masih kentalnya aura Perang Dingin. Itu ditunjukkan dengan makin eratnya Cina-Rusia, khususnya dengan terbentuknya 'kemitraan strategis' Beijing-Moskow. Ini dianggap sebagai penyeimbang dari pertalian yang sama antara Washington-Beijing.

Karena itu ada pendapat hubungan Beijing-Moskow yang kian erat dalam lima tahun terakhir ini bertujuan menumpulkan peran Barat yang dituduh masih ingin mendiktekan aturan permainan dan mempertahankan supremasi militer, diplomasi, politik dan ekonomi di alam globalisasi ini. Oleh karena itulah kemitraan strategis Cina-Rusia itu seakan membersitkan aroma Perang Dingin dan membuat lagi dunia menjadi bipolar.

Beijing-Moskow memang makin mesra. Malahan ada pengamat mengatakan, satu-satunya sukses paling besar dalam politik luar negeri Rusia pasca-Perang Dingin tak lain dari mengeratkan hubungan dengan Cina. Pada Juni 2005 kedua pihak menandatangani perjanjian tapal batas yang selama puluhan tahun menjadi obyek silang sengketa, bahkan pernah menimbulkan perang perbatasan.

Sementara itu kegiatan perdagangan di perbatasan berlangsung ramai. Di kota-kota tapal batas wilayah Cina bermunculan toko dengan nama dan iklan berbahasa Rusia yang menawarkan produk Cina. Turisme juga berkembang. Pada 2006 saja sekitar 2 juta turis Rusia bertandang ke Cina dan tak kurang dari satu juta turis Cina berwisata di Rusia. Dalam tiga tahun terakhir ini angka itu pasti meningkat.

Volume perdagangan Rusia Cina juga meningkat tajam, Statistik 2007 menunjukkan U$$48 miliar, padahal pada 1999 angka itu hanya berkisar pada US$5,7 milyar. Dalam politik, diplomasi, dan sekuriti kerjasama itu juga kelihatan menonjol. Pada 2001 Cina dan Rusia bersama empat negara berpenduduk mayoritas Islam yang dulu bernaung di bawah atap Uni Soviet (Kazakstan, Kirgistan, dan Uzbekistan) menandatangani Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO).

Tujuan utama traktat Shanghai itu adalah untuk menghadapi ancaman terorisme Islam. Maklumlah, di Asia Tengah yang berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Cina-Rusia tengah berkembang kegiatan yang dituduh terorisme, dilatarbelakangi ambisi mendirikan negara di bawah tradisi Islam fundamentalis.

Atas dasar itu ahli strategis berpendapat, Rusia-Cina tengah membangunkan kembali Perang Dingin dan bipolarisme. Dan dunia akan kembali ke pola politik, diplomasi dan konfrontasi seperti pada 1945-1990. Semangat itu, menurut pendapat ini, terutama dibangun oleh Rusia yang masih penasaran lantaran kebanggaannya tercampak akibat rontoknya Uni Soviet dan kekalahan sosialisme dalam bersaing dengan kapitalisme.

Namun, di sisi lain ada pendapat yang menganggap hubungan Cina-Soviet tak akan banyak menganggu tatanan dunia yang sudah terbentuk oleh globalisasi. Mengapa begitu? Pertama, Cina pasti tak akan mengubah situasi seperti sekarang dan kembali ke bipolarisme, karena ia telah banyak diuntungkan olehnya. Berkibarnya Cina menjadi salah satu kekuatan dunia adalah berkat kebijakan membuka diri terhadap dunia luar (baca: Barat), dalam segala bidang mulai dari ekonomi, sampai ke teknologi.

Peredaan ketegangan dengan Barat yang dirintis Mao pada 1970an dan dilanjutkan oleh Deng Xiaoping dan para penerusnya telah memberikan ruang yang aman baginya untuk fokus pada pengembangan dirinya, juga dalam segala bidang. Pendapat kedua ini juga menolak akan kemungkinan pemunculan kembali Perang Dingin karena hubungan Beijing-Moskow tak lebih dari marriage of convenience.

Kontak dagang Cina-Rusia yang demikian subur lebih banyak menunjukkan kehausan Cina akan enerji. Sebab, walaupun angka perdagangan kelihatan menguntungkan, itu lebih didominasi oleh perjanjian dan investasi Cina di bidang perminyakan dan gas bumi. Politik dan diplomasi juga tak menunjukkan gejala timbulnya lagi bipolarisme.

Karena, misalnya saja, sebegitu jauh Cina menyambut dingin ajakan Rusia untuk memperluas SCO menjadi pakta militer yang menyaingi NATO. Cina juga enggan untuk mendukung agresi terhadap Georgia atas alas an yang dibikin Moskow bahwa Geogia-lah yang menyerang duluan. Kelihatannya Cina tak ingin terlibat dalam konflik di Kaukasus.

Dalam perdaganganpun Rusia tak lebih dari mitra dengan posisi lebih rendah. Karena justru Cina yang diuntungkan. Kini dengan SCOnya, ekonomi dan perdagangan Cina mampu menerobos Asia Tengah yang di masa lalu secara tradisional didominasi Rusia. Posisi Rusia dalam berpatner strategis dengan Cina, dengan demikian hanya sebatas mitra minor. Ini sama seperti posisi Cina dalam bermitra dengan Barat, walaupun kini Cina memegang kartu yang cukup kuat.

Alhasil, pendapat bahwa dunia akan kembali ke polarisasi Perang Dingin adalah pendapat kuno. [mor]

disadur bebas : A. Dahana

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog