Sabtu, Juni 30, 2012

Reaktor Nuklir Kini Lebih Maju - The Future Of Nuclear Power

Teknologi PLTN terus berkembang. Tak seperti di Chernobyl, PLTN kini makin tangguh terkena gempa besar dan mampu mengantisipasi keteledoran manusia sebagai operatornya. Namun, kasus Fukushima menunjukkan, masih ada kelemahan pada desain sistem pengaman atau keselamatannya. PLTN di Pulau Honshu telah teruji menghadapi guncangan gempa tektonik berkekuatan 8,9 skala Richter. Semua reaktor (46 buah), yang beroperasi umumnya bertipe Boiling Water Reactor (BWR) dan Pressurized Water Reactor (PWR), mampu merespons gempa kuat dengan mematikan secara otomatis reaksi fisi nuklir di dalamnya. "Yang BWR meliputi Mark I dan Mark III, masing-masing 30 persen. Selebihnya ABWR (Advanced BWR)," kata Mohammad Dhandhang Purwadi, Kepala Bidang Pengembangan Reaktor Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Semua sistem pendingin di reaktor-reaktor itu juga mampu menjalankan unit cadangan pendingin reaktor pascagempa, kecuali tiga unit PLTN di Fukushima Daiichi.
Argumen yang muncul atas kegagalan itu, Fukushima Daiichi menggunakan BWR generasi pertama (Mark I) yang mulai beroperasi tahun 1970-an. PLTN itu sudah tergolong usang.Generasi awal PLTN umumnya memiliki umur operasi sekitar 30 tahun. Generasi yang lebih baru dirancang untuk bisa dioperasikan selama 40-60 tahun. Setelah habis masa operasinya, PLTN harus dimatikan reaktornya secara permanen.
Dalam perkembangan, muncul sekitar tujuh tipe PLTN, yaitu Reaktor Air Mendidih (BWR), Reaktor Air Bertekanan (PWR), Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurized Heavy Water Reactor/PHWR), Reaktor Grafit Berpendingin Air (Light Water Graphite Reactor/LWGR), Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor/FBR), dan Pebble Bed Reactor (PBR).Di antara 7 reaktor itu, tipe PBR terbanyak digunakan, mencapai 70 persen jumlah yang ada di dunia. BWR yang kedua terbanyak. Dua tipe reaktor itu terus mengalami pengembangan, terutama pada peningkatan sistem keamanannya. Kini, reaktor BWR telah lahir tiga sampai empat generasi baru.
BWR Mark I masih menggunakan sistem pompa pendingin yang bergantung pada pasokan listrik. Di generasi kedua, BWR Mark II dan ABWR, tak diperlukan listrik untuk memompa air pendingin karena menggunakan termosifon, yaitu sistem pertukaran panas secara pasif berdasarkan sirkulasi alamiah.BWR yang digunakan di Jepang adalah tipe Mark I, III, IV, dan ABWR. ABWR berukuran lebih besar dan memiliki sistem pembungkus bahan bakar yang dapat menahan tekanan alami lebih baik dari generasi awal.
Dibandingkan dengan PWR dan PHWR, tipe BWR tidak lebih baik dari segi desain sistem pengaman. Keunggulannya lebih pada harga yang relatif lebih murah dan ukuran lebih kecil.Pada BWR, reaksi fisi inti atom menggunakan uranium alam yang diperkaya dari 0,7 persen menjadi 3-5 persen. Adapun PWR dan PHWR menggunakan uranium alam.
PWR menggunakan dua siklus pendinginan reaktor. Siklus pertama diberi tekanan tinggi untuk menghindari pendidihan air pendingin dalam reaktor dan saluran siklus pertama. Prinsip kerja PWR sama dengan PHWR. Bedanya, PHWR tidak menggunakan air biasa (H0), tapi air berat (oksida deuterium/DO).
Pada teknologi PLTN yang baru, semua sistem sudah bekerja pasif, tidak bergantung pada pasokan listrik. Sistem ini menggunakan cerobong tinggi untuk pengaturan udara ke atas membentuk sirkulasi alami.Pada ABWR, ruang pengungkung yang besar (50 kali lebih besar) memungkinkan pendinginan lebih baik
Titik lemah
Semua sistem yang diciptakan manusia, termasuk PLTN, memang tidak sempurna, selalu ada sisi lemah, apalagi bila berhadapan dengan kekuatan alam yang tak terduga.

PLTN  Fissi Thorium Paling Aman - Thorium Reactor .
PLTN berbasis thorium adalah satu-satunya energi alternatif untuk menggantikan sumber fosil. Jumlah cadangan Thorium di bumi 10x lebih banyak dibanding uranium. Cukup banyak thorium untuk 1000 tahun dengan pemakaian energi 10x lebih banyak dibanding sekarang.
Liquid Fluoride Thorium Reactor (LFTR) adalah reaktor generasi ke-4 yang sangat aman secara intrinsik dan dapat diproduksi dengan murah dan cepat.  Reaktor Modular kecil berkapasitas 100MW dapat dipasang di mana saja, dan tidak memerlukan banyak lahan (konsep pembangkit listrik tersebar). Cukup dengan diameter 2m, tinggi 3 m, dan tahan gempa.
Praktis tidak menghasilkan limbah nuklir. Tidak menghasilkan Plutonium, tidak dapat dipakai untuk membuat senjata nuklir. Thorium tidak meledak seperti uranium. PLTN dengan bahan bakar (BB) berbasis thorium makin menarik perhatian dunia apalagi bila dikaitkan dengan kecelakaan nuklir di Fukushima akhir-akhir ini. Tanggal 25 Januari 2011, beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami yang merusak PLTN Fukushima di Jepang, China mengumumkan ambisinya untuk membangun PLTN thorium dalam jangka waktu 20 tahun. China berambisi meningkatkan sumber energinya via PLTN, dan pilihannya jatuh kepada PLTN berbasis thorium, dengan jenis reaktor yang disebut oleh China dengan istilah TMSR (Thorium Molten-Salt Reactor), Reaktor Garam Cair Thorium. Seperti diketahui, Reaktor Thorium Fluorida Cair (LFTR = the Liquid Fluoride Thorium Reactor, yang disebut 'Lifter') adalah reaktor generasi IV yang menggunakan garam cair sebagai BB sekaligus sebagai pendingin reaktor. BB berbasis thorium dalam bentuk garam cair tidak memerlukan fabrikasi BB, sehingga struktur reaktor menjadi sederhana, derajad bakar (burn-up) merata, BB cair dapat diganti dengan BB segar dan diproses-ulang secara online sekaligus racun netron Xe-135 dan Kr-83 dapat dibuang secara ajeg/kontinyu. Sementara, produk fissi lainnya, misalnya molebdinum dan iodine (setelah melalui proses ekstraksi) dapat digunakan untuk keperluan medis. Akibatnya, reaktor thorium dapat terus menerus menyala sampai tua dengan derajad bakar tak terbatas.
PLTN berbasis thorium lebih aman, karena Th-232 harus dibombardir oleh sumber netron lambat dari luar secara kontinyu (bisa via akselerator / sinar foton / inti plutonium seperti yang dikembangkan di India) untuk mengubahnya menjadi U-233 agar dapat melakukan reaksi fissi, karena tidak mempunyai reaksi rantai, dan tidak cukup netron untuk melanjutkan reaksi fissi. Bila sumber netron disingkirkan, reaktor akan mati. Bila reaktor mengalami kelebihan panas (seperti di Fukushima), sumbat kecil di bawah bejana pengungkung reaktor akan meleleh dan larutan garam thorium mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah tanah yang telah disediakan, dan hal itu tidak memerlukan komputer atau pompa listrik yang bisa saja lumpuh oleh tsunami. Reaktor berbasis thorium mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Reaktor beroperasi pada tekanan atmosferik, tidak ada gas hidrogen yang dapat meledak, lebih bersih, lebih murah dengan limbah nuklir yang dihasilkan lebih sedikit.

Thorium crystal


Aspek menarik lain dari thorium pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses pemisahan isotop (uranium memerlukan proses ini untuk memperoleh bahan fissil U-235 dari 0,7 % menjadi 3-5 % yang menelan biaya cukup besar), dan U-233 yang diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya kontaminan U-232. Oleh karena itu, PLTN berbasis thorium dengan BB jenis garam cair cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus menghapus kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis thorium sulit membuat senjata nuklir. Sebaliknya, PLTN uranium di dunia memproduksi isotop plutonium yang bila diproses-ulang, Pu-239 dapat digunakan sebagai senjata nuklir.
Di sisi lain, thorium tersedia cukup melimpah di Indonesia (di dunia, thorium 3-4 kali lebih melimpah dibanding uranium) dan murah, karena monasit (yang mengandung thorium sekitar 0,26-14,9%) sudah ada sebagai produk samping tambang timah di Babel. Indonesia tidak perlu lagi berhubungan dengan kartel uranium yang dapat memainkan harga uranium sesuka hati. Lagi pula, limbah monasit membawa pula produk samping yang berupa logam tanah jarang (di antaranya adalah Y, La, Ce, Pr, Nd) yang harganya cukup mahal.
Energi yang dilepaskan oleh thorium ketika melakukan reaksi fissi cukup mengesankan. Dr. Rubbia, pemenang nobel Fisika 1984 mengatakan bahwa satu ton logam thorium menghasilkan energi setara dengan 200 ton uranium (alam) atau 3.500.000 ton batu bara. Reaktor thorium dapat mengkonsumsi limbahnya sendiri dan menggunakan Plutonium sebagai sumber netron sekaligus mengurangi jumlah plutonium yang diproduksi oleh PLTN uranium, sehingga reaktor thorium dianggap pula berfungsi sebagai pembersih lingkungan. 
Sesungguhnya AS sudah tahu potensi thorium yang menarik itu sejak tahun 1940an, tetapi kebutuhan senjata nuklir uranium dan plutonium pada saat itu menyebabkan teknologi uranium dan plutonium diprioritaskan lebih dulu, dan teknologi thorium yang dimilikinya disimpan dulu. Dana yang dikeluarkan oleh Amerika dan Eropa untuk mengembangkan teknologi BB nuklir uranium dan plutonium begitu besar, sehingga mereka tidak ingin melepaskan begitu saja teknologi itu untuk beralih ke thorium. Purwarupa pembiak garam molten pertama pernah dibangun di Oak Ridge (7,4 MW), AS pada tahun 1950 yang beroperasi th 1965 hingga 1969. Perusahaan Amerika, Thorium Power (sekarang Ltbridge) yang melakukan riset intensif dan bekerja pada desain nuklir berbasis thorium membuktikan bahwa BB berbasis thorium dapat digunakan di reaktor LWR dan jenis reaktor lainnya tanpa perubahan desain reaktor yang berarti.
India sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis thorium. Sebuah reaktor mini 30 kW dengan BB berbasis thorium telah sukses dioperasikan di reaktor Kamini di Kalpakkam, India. Kesuksesan itu mendorong India untuk memasang BB berbasis thorium pada PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1, di kota Surat, Gujarat, adalah reaktor yang pertama kali menggunakan BB berbasis thorium di dunia, dan menggunakan akselerator plutonium dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg thorium pada Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada tahun 1995. Kakrapar-1 mencapai operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi daya penuh selama 100 hari.
PLTN berbasis thorium 300 MW Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) beroperasi tahun 2011. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239. Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan thorium pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4. 
Di sisi lain, reaktor garam cair thorium, LFTR menggunakan campuran garam ThF4-U233F4 yang disirkulasikan melalui teras reaktor dan penukar panas yang memanasi gas Helium sebagai media hingga 930C dan gas He tersebut diumpankan ke turbin gas dan balik ke penukar panas dalam siklus tertutup. Turbin akan menggerakkan generator listrik.
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan thorium di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.
India berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis thorium pada tahun 2050 nanti. Hal itu memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25% cadangan thorium dunia, yaitu 300.000-650.000 ton.
Perusahaan swasta ThEMS (Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc) bertujuan pula untuk memproduksi listrik menggunakan reaktor thorium kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke depan. ThEMS bertujuan menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh) jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris yang berkisar antara 34,5 p/kWh untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi surya. 
Bila Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis thorium, misalnya dengan BB jenis garam cair thorium seperti yang diadopsi China, sudah saatnya para staf/operator di reaktor riset/PLTN terlibat pula dalam penelitian bersama-sama (termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk menguasai teknologi BB thorium. Mereka juga sedang berlomba-lomba mencari angka-angka yang diperlukan dalam pengoperasian reaktor mini/riset dan PLTN dengan BB berbasis thorium Deposit thorium yang ditemukan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) diperkirakan mampu memasok kebutuhan bahan bakar bagi 10 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berdaya masing-masing 1.000 MW selama lebih dari 100 tahun. "Karena itu kami sedang meneliti lebih detil deposit unsur radioaktif ini," kata Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional Dr Muhamad Subekti M.Eng seusai "Dialog "PLTN: Solusi di Balik Kontroversi" di Fakultas MIPA Universitas Indonesia di Depok,


Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog