Selasa, November 13, 2012

Jelang krisis ekonomi & sosial di Negeri Paman Sam




 Oleh: Airlangga Pribadi*
Beberapa hari lalu Amerika Serikat baru saja menyelesaikan drama politik yang ditunggu-tunggu warga negeri Paman Sam dan seluruh warga sejagad, yaitu prosesi Pemilihan Presiden yang kembali memenangkan kandidat petahana yaitu Barrack Obama. Kemenangan Barrack Obama atas Mitt Romney bagi sebagian besar warga dunia disambut dengan gembira. Kebijakan-kebijakan luar negeri Obama yang mendukung musim semi kebebasan dalam "Arab Spring", komunikasi diplomatik yang hangat terhadap dunia Islam dan pendekatan yang mengedepankan perdamaian dalam menghadapi konflik-konflik global menjadi landasan kelegaan sebagian besar warga dunia atas hasil Pemilu AS 2012 ini. 
Namun demikian kemenangan Obama sebenarnya masih menyisakan krisis Besar  yang menghantui internal fondasi ekonomi-politik negara adikuasa ini yaitu krisis ketidakadilan sosial yang tersimbolkan pada gerakan perlawanan sosial Occupy Wall Street dalam tagline "We are 99%".
Manifesto "We are 99%" sebenarnya menunjukkan betapa aktualisasi sistem ekonomi-politik kapitalisme di Amerika Serikat masih memberikan keuntungan yang begitu besar terhadap 1% rakyat terkaya disana dan meninggalkan mayoritas 99% masyarakat lainnya. Gugatan ini bukanlah gugatan segelintir demonstran kiri yang biasanya mewakili penolakan terhadap sistem kapitalisme. Bahkan Professor peraih Nobel Ekonomi yaitu Joseph E Stiglitz (2012) dan konsultan ekonomi mantan Presiden Amerika Bill Clinton memberikan porsi yang begitu besar terhadap persoalan ketimpangan sosial akibat pembangunan yang melayani hanya 1% rakyat terkaya di Amerika Serikat dalam karya terbarunya The Price of Inequality : How Today's Divided Society Endangers our Future.
Menurut Stiglitz perlawanan gerakan akar rumput yang terkumandang dalam seruan "kita adalah 99%" merupakan seruan serius bagi elite ekonomi-politik Amerika Serikat. Protes ini sebagai pengingat agar  perjalanan sistem kapitalisme ala Amerika tidak hanya membuat mereka yang kaya menjadi lebih kaya dan mereka yang miskin tidak menjadi lebih baik hajat hidupnya. Namun protes itu merupakan seruan agar perjalanan sistem ekonomi-politik kembali kenilai-nilai moral utama yang membangun kemajuan mereka sebagai bangsa Amerika yaitu kemerdekaan, solidaritas dan keadilan sosial (freedom, solidarity and justice). Seruan Stiglitz ini beralasan kuat, data-data statistik mendemonstrasikan ketidakadilan sosial sebagai persoalan akut warga Amerika Serikat. Sampai dengan tahun 2011 jumlah keluarga di Amerika Serikat yang berada pada taraf hidup kemiskinan ekstrem dengan standar hidup US% 2 perhari naik dua kali lipat semenjak tahun 1996 sampai sebesar 1,5 juta jiwa. Selama tiga dekade terakhir pertumbuhan upah warga Amerika Serikat yang paling miskin hanya mentok sampai 15%, 1% orang terkaya disana menikmati 150% kenaikan pendapatan mereka, sementara 0,1 persen dari elite terkaya menikmati porsi 300% kenaikan pendapatan mereka. Sementara krisis Subprime Mortgage yang menjadikan jutaan warga AS menjadi tunawisma karena kredit angsuran rumah yang menjulang tinggi belum terselesaikan.  

Krisis ketimpangan sosialdan Ekonmi di Amerika Serikat ini memang terjadi akibat kegagalan pasar, namun demikian dijantung kegagalan pasar didalamnya terletak sumbangan negara yang membuat regulasi, memainkan peran redistribusi sosial dan menjadi institusi yang semestinya memiliki otonomi dihadapan aktor-aktor bisnis besar. Ekonomi pasar bukanlah semata-mata fenomena alamiah, namun perjalanannya dibentuk oleh interaksi sosial-politik negara dan warga untuk melindungi mereka yang paling miskin dan rentan, membatasi kekuasaan mereka yang menguasai modal dan menegakkan hukum yang setara. Diprediksi awal bulan Maret tahun 2013 Amerika serikat dilanda krisis Ekonomi yang terbesar sepanjang sejarah Negara Paman Sam we are 99 occupy wall street

Pada konteks interaksi antara negara, aktor bisnis dan masyarakat sipil inilah pemerintahan Obama Jilid I masih belum dapat memenangkan daulat rakyat (democracy) dihadapan pengaruh kekuatan korporasi dalam pemerintahan (Corporatocracy) yang bergerak melalui dukungan finansial kampanye sampai lobby politik. Besarnya pengaruh korporasi inilah yang mengikis kekuatan demokrasi di Amerika Serikat untuk memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya, sehingga prinsip "satu orang satu suara" bermutasi menjadi "satu dollar satu suara". Sehingga meskipun pemerintahan Obama berjuang keras dengan agenda-agenda progresif seperti reformasi asuransi kesehatan, namun tekanan aktor bisnis untuk mengakumulasi keuntungan seperti pada kebijakan pemotongan pajak korporasi telah membatasi efek kebijakan progresif pemerintah untuk mendanai sector-sektor penting seperti pendidikan.  

Pelajaran bagi Indonesia
Setelah membahas sekilas tantangan ketimpangan sosial yang dihadapi pemerintahan Obama, pertanyaan selanjutnya adalah apa relevansi membahas problem domestik Amerika Serikat bagi negeri kita. Bukankah selama ini hubungan antara Amerika Serikat dan Indonesia semakin membaik sejak masa pemerintahan Presiden Obama. Jawabannya adalah kita dapat belajar dari krisis ekonomi-politik yang dihadapi oleh Amerika Serikat. Ditengah tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 6%, Indonesia menghadapi hantu persoalan yang sama yaitu ketidaksetaraan sosial, tingkat pengangguran yang tinggi dan fenomena korupsi serta rent seeking antara bisnis dan politik.Krisis politik di Indonesia diperparah oleh praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh elite politik kita. Bekerjanya pemerintahan dalam mendorong laju pemasukan pendapatan negara dan penguatan daya saing industri,  kita terganjal praktik predatoris politik oleh para elite politik. Fenomena praktik koruptif para elite politik muncul ketika Menteri BUMN Dahlan Iskan membuka kasus maraknya pemerasan pendapatan BUMN oleh elite-elite partai politik. Partai politik yang seharusnya bekerja unttukmemperjuangkan dan memajukan kesejahteraan warga nyatanya menjadi mesin yang menghisap asset-asset republik melalui jalan-jalan yang tak mengindahkan moral hidup bersama. 
Apa yang dihadapi Indonesia Identik walau tidak sama persis dengan yang dihadapi oleh Amerika Serikat yang sudah diingatkan oleh Joseph E Stiglitz diawal tulisan ini , bahwa krisis sosial dan ekonomi di  Amerika Serikat dan Indonesia pada ujungnya terletak dijantung krisis moralitas. Nilai-nilai etis yang selama ini ditorehkan oleh para pendiri Republik yaitu keadaban publik, melayani rakyat dan menjunjung keadilan sosial dalam proses-proses politik berdemokrasi tengah dicerai-beraikan oleh kerakusan dan kepentingan kekuatan ekonomi maupun politik untuk mengambil keuntungan terlalu berlebih dari mayoritas Rakyat , mereka yang masih termiskinkan.

Sumber (jawapos/PH)

*) Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Kandidat Doktoral Asia Research Center Murdoch University


Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog