Jumat, Juli 30, 2010
Konstelasi Penguasaan Pasar Rudal Dunia
Rudal merupakan salah satu sistem senjata utama Pertanyaannya kini, siapa saja penguasa pangsa pasar rudal dunia saat ini? Sebanyak 70 persen pasar rudal dunia dikuasai oleh Amerika Serikat , Inggris bersama { Uni Eropa} Mereka Trio Produsen Utama Rudal Dunia :1. MBDA, 2. Raytheon dan 3. Lockheed Martin. Sisanya sebesar 30 persen dibagi-bagi oleh negara-negara lain, termasuk negara-negara yang tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dan militer dunia. Misalnya Rusia, Cina, India, Israel Korea Utara ,Jepang dan lain sebagainya.
Konstelasi itu mempunyai implikasi terhadap pembangunan kekuatan Rudal Indonesia, khususnya pengadaan rudal permukaan ke permukaan dan permukaan ke udara. Indonesia tidak mempunyai pilihan banyak dalam belanja rudal di Pasar internasional. Negeri ini juga tidak akan punya pangsa pasar yang besar apabila memaksakan diri membuat rudal sendiri berdasarkan semangat kemandirian tanpa berhitung pada faktor ekonomi yaitu skala keekonomian. Sebab tidak mungkin semua rudal yang dibuat di dalam negeri mampu diserap oleh militer negeri ini, kecuali kebijakan pemerintah Indonesia meniru Uncle Sam yaitu menggelar petualangan militer kemana-mana.
Dari tiga besar penguasa pangsa pasar rudal dunia tersebut, Indonesia dalam hal ini TNI merupakan pengguna setia rudal buatan MBDA. Di luar tiga besar itu, kekuatan Rudal Indonesia juga mengadopsi rudal buatan Rusia dan Cina. Dari ketiga pemasok suplai rudal bagi Indonesia, perlu senantiasa diwaspadai rudal buatan MBDA karena dapat kelancaran dukungan suku cadangnya tergantung sikap politik Uni Eropa. MBDA adalah produsen rudal milik negara-negara Uni Eropa yang menyatukan beberapa industri rudal yang telah eksis sebelumnya seperti Aerospatiale.
Walaupun sistem senjata rudal TNI tidak tergantung pada rudal buatan Amerika Serikat, akan tetapi hendaknya tetap diwaspadai soal adanya komponen buatan Amerika Serikat pada rudal buatan MBDA. Secara politik, Amerika Serikat masih mempunyai kemampuan menekan Uni Eropa, meskipun dalam satu dekade ini secara perlahan organisasi supranasional negara-negara itu terus berupaya membangun kemandirian politik yang berjarak dengan Washington.
Ibukota Republik Indonesia Pindah DiLuar Pulau Jawa
Wacana pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lainnya sudah dibahas sejak beberapa waktu lalu. Hari ini, Kompas menyoroti masalah tersebut yang menarik untuk diikuti dalam rubrik opini dengan judul Pindahkan Ibu Kota. Tulisan memberikan tiga usulan untuk mengatasi berbagai masalah khususnya kemacetan yang menimbulkan kerugian materi dan non materi yang sangat besar saat ini. Kami ajak Anda mengikuti opini yang ditulis oleh A SONNY KERAF Mantan Menteri Lingkingan Hidup & Sekarang Pemerhati Lingkungan Hidup, Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta ini.
Pindahkan Ibukota Republik Indonesia Keluar Pulau Jawa
Kemacetan Jakarta dan sekitarnya, yang menjadi sorotan utama Kompas dalam beberapa hari terakhir, kiranya tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomis (Kompas, 26/0710). Kerugian yang dialami juga menyangkut kerugian sosial dan psikis. Karena Secara psikis, Jakarta sangat tidak sehat, bukan saja karena terjadi polusi yang parah, melainkan juga karena kemacetan di jalan raya menimbulkan berbagai tekanan psikologis atau stres.Demikian pula, secara sosial, kemacetan di jalan membuat relasi sosial menjadi penuh konflik, tidak saja di antara para pengendara di jalan, tetapi juga berdampak sampai ke kantor dan rumah tangga. Hubungan sosial penuh ketegangan akibat beban psikis yang dialami di jalan.
Oleh karena itu, sesungguhnya Jakarta bukan hanya sebuah kota yang sangat tidak ramah lingkungan, melainkan juga sangat tidak ramah secara sosial dan psikis. Dengan kondisi seperti itu, kiranya pembenahan transportasi umum, termasuk perluasan, penambahan, dan keterpaduan atau sinergi transportasi umum tidak akan banyak membawa hasil memadai. Itu hanya solusi jangka pendek sementara.
Yang dibutuhkan untuk jangka panjang adalah terobosan lebih radikal dan revolusioner. Kami mengusulkan tiga solusi. Sembari membenahi transportasi umum dan solusi lain yang bersifat tambal sulam, kendati sangat perlu, ketiga solusi harus segera diputuskan pemerintah pusat.
Pindahkan ibu kota
Usul pertama, pindahkan ibu kota. Ini usul dan langkah paling radikal. Banyak negara melakukan itu dan berhasil mengatasi kemacetan di ibu kota negaranya. Bung Karno, presiden pertama, telah berpikiran visioner menyiapkan Palangkaraya,Kalimantan Tengah, sebagai calon ibu kota RI sejak 1960-an.Melanjutkan visi Bung Karno, sebaiknya ibu kota baru berada di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian timur.Ada banyak keuntungan positif untuk itu.
Pertama, pemindahan ibu kota jangan dilihat sebagai beban ekonomi karena besarnya dana yang dialokasikan. Ini harus dilihat sebagai peluang ekonomi yang sangat menggiurkan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang yang akan mengerjakan persiapan, pembangunan, dan relokasi ibu kota tersebut. Akan dibutuhkan waktu 5-10 tahun untuk realisasi, dan itu peluang ekonomi yang sangat baik.
Kedua, dari segi politik, pemindahan ibu kota ke luar Jawa dan Indonesia bagian timur (IBT) akan serta-merta menggeser episentrum pembangunan nasional dari Jawa dan Indonesia bagian barat (IBB). Ini akan menjadi sebuah langkah dan peluang pemerataan pembangunan ke IBT untuk memberi kesempatan lebih besar bagi berkembangnya wilayah luar Jawa, khususnya IBT.Ketiga, selain untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya, ini sekaligus menjadi peluang untuk membangun sebuah ibu kota baru dengan tata ruang, jaringan, dan pola transportasi yang jauh lebih ramah lingkungan, ramah secara sosial dan psikis, atau jauh lebih manusiawi.
Kita bangun ibu kota baru dengan sistem transportasi multimoda yang ramah lingkungan, nyaman, aman, dan mudah dijangkau. Kita bangun sebuah ibu kota baru dengan hutan kota yang asri, tempat-tempat rekreasi umum yang ramah secara sosial, dengan berbagai fungsi sosial yang futuristik untuk kehidupan modern, tetapi dengan warna etnik yang khas.
Pilihan di Kalimantan lebih diutamakan mengingat Kalimantan bebas dari pusat gempa.
Penyebaran kementerian
Usul kedua yang jauh lebih moderat, semua kementerian disebar ke beberapa wilayah RI sesuai dengan kondisi provinsi kita. Ambil saja sebagai contoh, Kementerian Kehutanan di Kalimantan atau Papua. Kementerian Kelautan dan Perikanan di Ambon. Kementerian Perindustrian di Surabaya. Kementerian Pendidikan di Yogyakarta.
Kemudian Kementerian Pariwisata di Bali. Kementerian Perdagangan di Jakarta atau Batam. Kementerian ESDM di Kalimantan atau Sumatera. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di IBT agar benar-benar fokus pekerjaannya lebih diarahkan untuk pembangunan daerah tertinggal di IBT, dan seterusnya.
Cara ini akan menarik banyak pihak untuk mendesentralisasikan usaha atau minimal kantor pusatnya mengikuti kantor kementerian untuk memudahkan kegiatan usahanya. Maka, tak lagi semua perusahaan berkantor pusat di Jakarta.
Dari segi tata kelola pemerintahan, tidak ada banyak kendala karena berbagai rapat kabinet bisa dilakukan secara jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi modern.
Pembatasan
Kalau usulan kedua masih dianggap merepotkan karena berbagai kendala teknis menyangkut koordinasi lintas kementerian, usul ketiga yang sangat soft adalah pembatasan pembangunan di beberapa bidang. Namun, ini merupakan sebuah keharusan paling minim yang tidak boleh tidak segera dilaksanakan.
Tepatnya, usul ini berupa larangan bagi pembangunan baru untuk minimal tiga bidang. Pertama, tidak boleh ada lagi penambahan pembangunan mal atau pusat perbelanjaan baru di Jakarta. Apabila perlu, tidak boleh ada lagi penambahan mal baru di Jabodetabek. Dengan larangan ini, tidak akan ada lagi penambahan urbanisasi tenaga kerja baru ke Jakarta untuk bekerja di pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan tersebut.
Kedua, tidak boleh ada lagi hotel baru dibangun di Jakarta. Dengan otonomi daerah, seharusnya berbagai kegiatan pemerintahan telah dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu, seharusnya daerahlah yang didorong membangun hotel baru sejalan dengan bergeraknya uang ke daerah.
Ketiga, sudah saatnya pembangunan universitas baru dilarang di Jakarta dan sekitarnya. Dengan jalan itu, pemerintah berketetapan untuk mengembangkan universitas baru, negeri dan swasta, yang berkualitas dan murah di daerah. Tenaga-tenaga dosen muda di daerah diberi kesempatan memperoleh pendidikan lanjutan di luar negeri untuk kembali mengajar di daerah.
Sementara dosen-dosen berkualitas di Jawa diberi kesempatan mengajar di daerah dan tidak perlu berpusat di Jakarta atau Jawa. Dengan jalan ini, putra-putra daerah, para calon mahasiswa, bisa mendapat peluang memperoleh pendidikan tinggi di daerahnya sekaligus mengabdi di daerahnya setelah lulus kelak.
Ketiga usulan mengandaikan persoalan kemacetan Jakarta harus diputuskan pada level pemerintah pusat, presiden dan kabinet, dengan melibatkan DPR. Ini harus menjadi sebuah keputusan politik nasional yang akan sangat menentukan nasib Jakarta dan nasib bangsa seluruhnya ke depan.
*A SONNY KERAF Pemerhati Lingkungan Hidup, Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta (Kompas/AHF)
Langganan:
Postingan (Atom)