Minggu, Juni 05, 2011

Inilah Demokrat dan Korupsi


Kompas Kmarin, Sabtu 4 Juni 2011, menurunkan berita yang mengutip pernyataan pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, soal nasib parta Demokrat pada pemilu mendatang.

Nama Partai Demokrat yang sudah dua kali memenangi perolehan suara terbanyak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 dan 2009 lalu tampaknya hanya tinggal kenangan untuk Pemilu 2014.

Usai menghadiri diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Korupsi" di Warung Daun, Jalan Woltermonginsidi, Jakarta Selatan, Ikrar mengatakan, dengan berbagai problema politik di partai itu akhir-akhir ini, kecil kemungkinan Demokrat akan kembali memperoleh kemenangan.

Dikatakannya, "Kalau menurut saya, maaf kata, dari awal saya berani mengatakan bahwa Demokrat is finish. Finish dalam arti kata, dia (Demokrat) akan sulit membangun suatu kemenangan politik pada 2014. Karena biar bagaimanapun, citra itu akan sangat sulit dibangun."

Apalagi, lanjut dia, Demokrat juga tak bisa menunjukkan moto partainya yang antikorupsi dan berjanji memberantas korupsi. Hal itu mudah terlihat dari sejumlah kasus korupsi yang disebut-sebut ternyata dimainkan oleh kader Demokrat sendiri, salah satunya adalah Muhammad Nazaruddin.

Borok partai bernuansa biru itu semakin terlihat, mengingat Nazaruddin diduga terlibat dalam kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Belum selesai kasus itu, Nazaruddin juga dilaporkan melakukan percobaan suap kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar serta kasus pelecehan seksual dan kasus penipuan yang dilakukannya pada 2005.

Kehancuran Demokrat juga semakin terlihat ketika masalah Nazaruddin bergulir dan menimbulkan konflik internal partai tersebut.

Inilah Sebab Mengapa Korupsi Marak

Masih terkait pernyataan Ikrar, dalam diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Korupsi", Antara melaporkan.

Ikrar Nusa Bhakti menilai kultur politik di Indonesia sudah tercemar korupsi, dengan ditandai banyaknya praktik korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah.

Menurutnya, "Pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak malu dan tidak takut melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mudur dari jabatannya."

Menurut Ikrar, kalau di Jepang pejabat dan politisi yang ketahuan korupsi langsung mundur dari jabatannya.

Bahkan, masih kata Ikrar, ada pejabat di Jepang yang hanya menerima 50.000 yen atau sekitar Rp5 juta saat kampanye, kemudian dituduh korupsi, ia pun langsung mundur dari jabatannya.

Lebih lanjut dijelaskannya "Di Indonesia untuk menjadi pejabat dan politisi biayanya sudah sangat mahal, sehingga mendorong pejabat dan politisi berperilaku korup."

Ikrar mensitir, pernyataan politisi dari PDI Perjuangan, Pramono Anung, yang pernah mengatakan, untuk menjadi anggota DPR RI biayanya bisa mencapai Rp5 miliar.

Sementara itu, aktivis LSM ICW, Ade Irawan, mengatakan, praktik korupsi yang dilakukan pejabat dan politisi modusnya bermacam-macam di antaranya melakukan "mark up" APBN atau APBD.

Politisi, kata Ade, juga melakukan korupsi dengan cara kompromi dalam penyusunan anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah.

"Kompromi tersebut bukan dilakukan di DPR tapi dilakukan secara personal di luar sehingga sulit dilacak," katanya.

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog