Semua sistem pendingin di reaktor-reaktor itu juga mampu menjalankan unit cadangan pendingin reaktor pascagempa, kecuali tiga unit PLTN di Fukushima Daiichi.
Argumen
yang muncul atas kegagalan itu, Fukushima Daiichi menggunakan BWR generasi
pertama (Mark I) yang mulai beroperasi tahun 1970-an. PLTN itu sudah tergolong
usang.Generasi awal PLTN umumnya memiliki umur operasi sekitar 30 tahun.
Generasi yang lebih baru dirancang untuk bisa dioperasikan selama 40-60 tahun.
Setelah habis masa operasinya, PLTN harus dimatikan reaktornya secara permanen.
Dalam
perkembangan, muncul sekitar tujuh tipe PLTN, yaitu Reaktor Air Mendidih (BWR),
Reaktor Air Bertekanan (PWR), Reaktor Air Berat Bertekanan (Pressurized Heavy
Water Reactor/PHWR), Reaktor Grafit Berpendingin Air (Light Water Graphite
Reactor/LWGR), Reaktor Pembiak Cepat (Fast Breeder Reactor/FBR), dan Pebble Bed
Reactor (PBR).Di antara 7 reaktor itu, tipe PBR terbanyak digunakan, mencapai
70 persen jumlah yang ada di dunia. BWR yang kedua terbanyak. Dua tipe reaktor
itu terus mengalami pengembangan, terutama pada peningkatan sistem keamanannya.
Kini, reaktor BWR telah lahir tiga sampai empat generasi baru.
BWR
Mark I masih menggunakan sistem pompa pendingin yang bergantung pada pasokan
listrik. Di generasi kedua, BWR Mark II dan ABWR, tak diperlukan listrik untuk
memompa air pendingin karena menggunakan termosifon, yaitu sistem pertukaran
panas secara pasif berdasarkan sirkulasi alamiah.BWR yang digunakan di Jepang adalah
tipe Mark I, III, IV, dan ABWR. ABWR berukuran lebih besar dan memiliki sistem
pembungkus bahan bakar yang dapat menahan tekanan alami lebih baik dari
generasi awal.
Dibandingkan
dengan PWR dan PHWR, tipe BWR tidak lebih baik dari segi desain sistem
pengaman. Keunggulannya lebih pada harga yang relatif lebih murah dan ukuran
lebih kecil.Pada BWR, reaksi fisi inti atom menggunakan uranium alam yang
diperkaya dari 0,7 persen menjadi 3-5 persen. Adapun PWR dan PHWR menggunakan
uranium alam.
PWR
menggunakan dua siklus pendinginan reaktor. Siklus pertama diberi tekanan
tinggi untuk menghindari pendidihan air pendingin dalam reaktor dan saluran
siklus pertama. Prinsip kerja PWR sama dengan PHWR. Bedanya, PHWR tidak
menggunakan air biasa (H0), tapi air berat (oksida deuterium/DO).
Pada
teknologi PLTN yang baru, semua sistem sudah bekerja pasif, tidak bergantung
pada pasokan listrik. Sistem ini menggunakan cerobong tinggi untuk pengaturan
udara ke atas membentuk sirkulasi alami.Pada ABWR, ruang pengungkung yang besar
(50 kali lebih besar) memungkinkan pendinginan lebih baik
Titik lemah
Semua sistem yang diciptakan manusia, termasuk PLTN, memang tidak sempurna, selalu ada sisi lemah, apalagi bila berhadapan dengan kekuatan alam yang tak terduga.
Semua sistem yang diciptakan manusia, termasuk PLTN, memang tidak sempurna, selalu ada sisi lemah, apalagi bila berhadapan dengan kekuatan alam yang tak terduga.
PLTN Fissi
Thorium Paling Aman - Thorium
Reactor .
PLTN berbasis thorium adalah satu-satunya energi alternatif untuk menggantikan sumber fosil. Jumlah cadangan Thorium di bumi 10x lebih banyak dibanding uranium. Cukup banyak thorium untuk 1000 tahun dengan pemakaian energi 10x lebih banyak dibanding sekarang.
PLTN berbasis thorium adalah satu-satunya energi alternatif untuk menggantikan sumber fosil. Jumlah cadangan Thorium di bumi 10x lebih banyak dibanding uranium. Cukup banyak thorium untuk 1000 tahun dengan pemakaian energi 10x lebih banyak dibanding sekarang.
Liquid Fluoride Thorium Reactor (LFTR) adalah
reaktor generasi ke-4 yang sangat aman secara intrinsik dan dapat diproduksi
dengan murah dan cepat. Reaktor Modular kecil berkapasitas 100MW dapat
dipasang di mana saja, dan tidak memerlukan banyak lahan (konsep pembangkit
listrik tersebar). Cukup dengan diameter 2m, tinggi 3 m, dan tahan gempa.
Praktis tidak
menghasilkan limbah nuklir. Tidak menghasilkan Plutonium, tidak dapat dipakai
untuk membuat senjata nuklir. Thorium tidak meledak seperti uranium. PLTN
dengan bahan bakar (BB) berbasis thorium
makin menarik perhatian dunia apalagi bila dikaitkan dengan kecelakaan nuklir
di Fukushima akhir-akhir ini. Tanggal 25
Januari 2011, beberapa minggu sebelum gempa dan tsunami yang merusak PLTN
Fukushima di Jepang, China
mengumumkan
ambisinya untuk membangun PLTN thorium dalam jangka waktu 20 tahun. China
berambisi meningkatkan sumber energinya via PLTN, dan pilihannya jatuh kepada
PLTN berbasis thorium, dengan jenis reaktor yang disebut oleh China dengan
istilah TMSR (Thorium
Molten-Salt Reactor), Reaktor Garam Cair Thorium. Seperti diketahui,
Reaktor Thorium Fluorida Cair (LFTR = the
Liquid Fluoride Thorium Reactor, yang disebut 'Lifter') adalah
reaktor generasi IV yang menggunakan garam
cair sebagai BB sekaligus sebagai pendingin reaktor.
BB berbasis thorium dalam bentuk garam
cair tidak memerlukan fabrikasi BB, sehingga struktur reaktor menjadi sederhana, derajad
bakar (burn-up) merata, BB cair dapat diganti dengan BB
segar dan diproses-ulang secara online
sekaligus racun netron Xe-135 dan Kr-83 dapat dibuang secara ajeg/kontinyu.
Sementara, produk fissi lainnya, misalnya molebdinum dan iodine (setelah
melalui proses ekstraksi) dapat digunakan untuk keperluan medis. Akibatnya,
reaktor thorium dapat terus menerus menyala sampai tua dengan derajad bakar tak
terbatas.
PLTN
berbasis thorium lebih aman, karena Th-232 harus
dibombardir oleh sumber netron lambat dari luar secara
kontinyu (bisa via akselerator / sinar foton / inti plutonium seperti yang
dikembangkan di India) untuk mengubahnya menjadi U-233 agar dapat melakukan
reaksi fissi, karena tidak mempunyai reaksi rantai, dan tidak cukup netron
untuk melanjutkan reaksi fissi. Bila sumber netron disingkirkan, reaktor akan
mati. Bila reaktor mengalami kelebihan
panas (seperti di Fukushima), sumbat kecil di bawah bejana pengungkung
reaktor akan meleleh
dan larutan garam thorium mengucur ke bawah akibat gaya berat ke tangki bawah
tanah yang telah disediakan, dan hal itu tidak memerlukan komputer atau pompa
listrik yang bisa saja lumpuh oleh tsunami. Reaktor berbasis thorium mampu
menyelamatkan dirinya sendiri. Reaktor beroperasi
pada tekanan atmosferik, tidak ada gas hidrogen yang dapat meledak, lebih
bersih, lebih murah dengan limbah nuklir yang dihasilkan lebih sedikit.
Thorium crystal |
Aspek
menarik lain dari thorium pemancar alpha ini adalah tidak memerlukan proses
pemisahan isotop (uranium memerlukan proses ini untuk memperoleh bahan fissil
U-235 dari 0,7 % menjadi 3-5 % yang menelan biaya cukup besar), dan U-233 yang
diperoleh tidak dengan mudah dapat dibuat senjata nuklir karena adanya
kontaminan U-232. Oleh karena itu, PLTN berbasis thorium dengan BB jenis garam
cair cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia, sekaligus menghapus
kecurigaan negara maju, karena pengguna PLTN berbasis thorium sulit membuat
senjata nuklir. Sebaliknya, PLTN uranium di dunia memproduksi isotop plutonium
yang bila diproses-ulang, Pu-239 dapat digunakan sebagai senjata nuklir.
Di
sisi lain, thorium tersedia cukup melimpah di Indonesia (di dunia, thorium 3-4 kali lebih melimpah
dibanding uranium) dan murah, karena monasit
(yang mengandung thorium sekitar 0,26-14,9%) sudah ada sebagai produk samping
tambang timah di Babel. Indonesia tidak perlu lagi berhubungan dengan kartel
uranium yang dapat memainkan harga uranium sesuka hati. Lagi pula, limbah
monasit membawa pula produk samping yang berupa logam tanah jarang (di
antaranya adalah Y, La, Ce, Pr, Nd) yang harganya cukup mahal.
Energi
yang dilepaskan oleh thorium ketika melakukan reaksi fissi cukup mengesankan.
Dr. Rubbia,
pemenang nobel Fisika
1984 mengatakan bahwa satu ton logam thorium menghasilkan energi setara dengan
200 ton uranium (alam) atau 3.500.000 ton batu bara. Reaktor thorium dapat
mengkonsumsi limbahnya sendiri dan menggunakan Plutonium sebagai sumber netron
sekaligus mengurangi jumlah plutonium yang diproduksi oleh PLTN uranium,
sehingga reaktor thorium dianggap pula berfungsi sebagai pembersih
lingkungan.
Sesungguhnya
AS sudah tahu potensi thorium yang menarik itu sejak tahun 1940an, tetapi
kebutuhan senjata nuklir uranium dan plutonium pada saat itu menyebabkan
teknologi uranium dan plutonium diprioritaskan lebih dulu, dan teknologi
thorium yang dimilikinya disimpan dulu. Dana yang dikeluarkan oleh Amerika dan
Eropa untuk mengembangkan teknologi BB nuklir uranium dan plutonium begitu
besar, sehingga mereka tidak ingin melepaskan begitu saja teknologi itu untuk
beralih ke thorium. Purwarupa pembiak garam molten pertama pernah dibangun di
Oak Ridge (7,4
MW), AS pada tahun 1950 yang beroperasi th 1965 hingga 1969. Perusahaan
Amerika, Thorium
Power (sekarang Ltbridge)
yang melakukan riset intensif dan bekerja pada desain nuklir berbasis thorium
membuktikan bahwa BB berbasis thorium dapat digunakan di reaktor LWR dan jenis
reaktor lainnya tanpa perubahan desain reaktor yang berarti.
India
sekarang memimpin dunia dalam perancangan reaktor nuklir berbasis thorium.
Sebuah reaktor mini 30
kW dengan BB berbasis thorium telah sukses dioperasikan di reaktor Kamini di Kalpakkam,
India. Kesuksesan itu mendorong India untuk memasang BB berbasis thorium pada
PLTN-nya. PLTN Kakrapar-1,
di kota Surat, Gujarat, adalah reaktor yang pertama kali menggunakan BB
berbasis thorium di dunia, dan menggunakan akselerator
plutonium dalam teras reaktor. Percobaan menggunakan 500 kg thorium pada
Kakrapar-1 dan Kakrapar-2 dilakukan pada tahun 1995. Kakrapar-1 mencapai
operasi daya penuh selama 300 hari, dan Kakrapar-2 mencapai operasi daya penuh
selama 100 hari.
PLTN berbasis thorium 300 MW Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) beroperasi tahun 2011. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239. Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan thorium pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4.
PLTN berbasis thorium 300 MW Kakrapar-1 menggunakan reaktor maju air berat bertekanan (AHWR) beroperasi tahun 2011. Dalam desain itu, bahan bakar di bagian tengah teras berupa 30 batang oksida Th-233/U-233 yang dikelilingi oleh 24 batang oksida Th-233/Pu-239. Konfigurasi itu cukup menyediakan U-233 yang mandiri dengan menghasilkan keluaran tenaga nuklir sebesar 60%, yang diharapkan beroperasi selama 100 tahun. India menggunakan thorium pula pada 5 reaktor lainnya, yaitu di Kakrapar-2, Kaiga-1, Kaiga-2, Rajasthan-3 (Rawatbhata-3), dan Rajasthan-4.
Di
sisi lain, reaktor garam cair thorium, LFTR menggunakan campuran garam ThF4-U233F4
yang disirkulasikan melalui teras reaktor dan penukar panas yang memanasi
gas Helium sebagai media hingga 930C dan gas He tersebut diumpankan ke turbin
gas dan balik ke penukar panas dalam siklus
tertutup. Turbin akan menggerakkan generator listrik.
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan thorium di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.
Hasil-hasil penelitian India mendorong Amerika, Rusia (Institut Kurchatov Moskow), dan baru-baru ini Norwegia dan Polandia untuk melakukan penelitian lebih dalam. Penelitian yang melibatkan thorium di Julich (Jerman), Winfrith (UK), dan Peach Bottom (AS) dihidupkan kembali yang sebelumnya sudah pernah mereka lakukan.
India
berencana 30% kebutuhan listriknya berasal dari PLTN berbasis thorium pada
tahun 2050 nanti. Hal itu memungkinkan, karena India memiliki sekitar 25%
cadangan thorium dunia, yaitu 300.000-650.000
ton.
Perusahaan
swasta ThEMS
(Thorium Energy & Molten-Salt Technology Inc) bertujuan pula untuk
memproduksi listrik menggunakan reaktor thorium kecil (10 kW) dalam 5 tahun ke
depan. ThEMS bertujuan menjual listriknya sekitar 11 UScent per kWh (6,8 p/kWh)
jauh lebih murah ketimbang feed-in tariff Inggris yang berkisar antara
34,5 p/kWh untuk turbin angin kecil hingga 41,3 p/kWh untuk instalasi
surya.
Bila
Indonesia memilih untuk memiliki PLTN berbasis thorium, misalnya dengan BB
jenis garam cair thorium seperti yang diadopsi China, sudah saatnya para
staf/operator di reaktor riset/PLTN terlibat pula dalam penelitian bersama-sama
(termasuk diklat) dengan bangsa lain untuk menguasai teknologi BB thorium.
Mereka juga sedang berlomba-lomba mencari angka-angka yang diperlukan dalam
pengoperasian reaktor mini/riset dan PLTN dengan BB berbasis thorium Deposit
thorium yang ditemukan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) diperkirakan mampu
memasok kebutuhan bahan bakar bagi 10 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)
berdaya masing-masing 1.000 MW selama lebih dari 100 tahun. "Karena itu
kami sedang meneliti lebih detil deposit unsur radioaktif ini," kata
Peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional Dr Muhamad Subekti M.Eng seusai
"Dialog "PLTN: Solusi di Balik Kontroversi" di Fakultas MIPA
Universitas Indonesia di Depok,