“Bagi saya belajar tidak ada habis-habisnya; Namun kita harus menyesuaikan diri. Jangan, lalu, merasa lebih hebat dari orang lain,” tutur Ahmad Bakrie pada tabloid Mutiara (1979).
Kalimat yang sederhana dengan makna yang dalam bahwa apabila kita ingin maju, jangan pernah berhenti menggali ilmu pengetahuan sampai kapan pun. Ungkapan tersebut tidak hanya sebagai retorika semata,
namun benar-benar dipraktekkan oleh Ahmad Bakrie bahkan ketika penglihatannya mulai mengalami keterbatasan “Saya paling kesal, kalau tidak bisa membaca.”
Keberadaan bisnis Group Bakrie bukan semata faktor kebetulan dan keberuntungan, walau ketika Ahmad Bakrie kecil sekitar tahun 1921 iseng melihat orang India (Keling) yang menjual obat tradisional keliling di emper kios pasar memintanya mendekat. Dan si Bakrie kecil pun menurut saat penjual obat itu menyuruhnya membuka telapak tangan lebar-lebar dan berkata “Bakrie. Kau akan jadi saudagar” Meski diramal menjadi saudagar oleh orang India tersebut, perjuangan melahirkan dan mendirikan bisnis Group Bakrie tidak terlepas dari naluri, pengetahuan dan pengalaman serta strategi bisnis Ahmad Bakrie.
Ahmad Bakrie mungkin tersenyum “di sana” tatkala kerajaan bisnis yang dibangunnya dapat bertahan dan berjaya setelah 70 tahun berlalu.Tidak banyak perusahaan swasta nasional yang mampu bertahan dan terus berkembang hingga usia 70 tahun, lebih tua dari usia Republik Indonesia. Tonggak awal kelompok usaha ini dimulai pada 10 Februari 1942, saat Achmad Bakrie dan kakak kandungnya, Abuyamin, mendirikan Firma Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan umum dan keagenan hasil bumi, seperti kopi, lada, cengkeh, dan tapioka.
Namun sementara ini Group Bakrie harus tetap berjuang dalam persaingan bisnis yang semakin ketat di era globalisasi. Tuturan kata Ahmad Bakrie sebagai pendiri masih patut dipertahankan dan diharapkan menjadi slogan dan semangat yang kuat bagi seluruh armada Group Bakrie “Belajar tidak ada habis-habisnya. Namun kita harus menyesuaikan diri. Jangan merasa lebih hebat dari orang lain” seluruh keluarga besar Bakrie, termasuk 4 anak dan 11 cucu Achmad Bakrie. Keempat anak Achmad Bakrie adalah Aburizal Bakrie, Roosmania B Kusmuljono, Nirwan D Bakrie, dan Indra U Bakrie. Kini, nama Group Bakrie sudah dikenal masyarakat luas sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan, telekomunikasi, property, agribisnis, metal, dan infrastruktur, dengan total kekayaan aset perusahaan menurut securities.com sekitar 34,171 trilyun di tahun 2011. Selain itu pengalaman selama 70 tahun mengelola bisnis merupakan aset yang sangat kuat dan bagus.Seiring pertumbuhan penduduk kian melesat dan persaingan hidup juga semakin ketat, dengan menciptakan usaha baru oleh Group Bakrie secara tidak langsung memberi kontribusi kepada pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran yang semakin tinggi. Sebagai perusahaan pribumi yang besar seyogyanya kearifan lokal Group Bakrie dapat dijadikan modal kuat kepedulian nasib bangsa Indonesia.
Dibalik Aksi Penjualan Asset Bakrie Group
Viva bak gadis molek nan rupawan. Sudah begitu, ia juga pintar menghasilkan duit. Tak aneh kalau seorang Chairul Tanjung kesengsem dan berniat menyuntingnya. Pada kuartal pertama tahun ini, pendapatan Viva tumbuh 40% dibandingkan dengan tahun lalu..Laba bersih usaha pada tahun lalu juga tumbuh hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Kami adalah salah satu penawar utama," kata Chairul Tanjung, pemilik CT Corp.Viva adalah induk usaha media milik keluarga Bakrie. Viva memayungi TV One, Antv, dan Vivanews. Keinginan CT mengakuisisi Viva itu adalah lanjutan dari kabar yang berembus sebelumnya bahwa Bakrie mau melepas jaringan medianya itu.
Antv didirikan Bakrie pada 1993. Adapun TV One adalah merek baru Lativi. Bakrie mengambil alih stasiun televisi itu dari Abdul Latief. Bakrie akan melepas 51% saham Viva miliknya, sedangkan sisanya adalah saham publik.Masuknya CT ke Viva bakal menambah panjang gurita bisnisnya di bidang media. CT adalah konglomerat media yang memiliki Trans TV, Trans7 (patungan dengan Jacob Oetama, pemilik Kompas), dan detik.com. CT menyatakan bahwa ia akan membeli Viva seorang diri, tak menggandeng partner lain. Di luar media, CT juga bergerak di bisnis perbankan, retail, dan sumber daya alam.
Keluarga Bakrie sendiri masih belum berterus terang tentang pelepasan Viva itu. Kepada wartawan, Anindya Bakrie, Komisaris Utama Viva, hanya menyatakan, "Kalau namanya perusahaan terbuka, setiap hari kan orang jual-beli, itu hal biasa. Setiap hari ada," katanya.
Ketertarikan orang atau perusahaan untuk membeli saham menunjukkan kinerja perseroan berjalan dengan benar. Juru bicara Bakrie Group, Christopher Fong, juga enggan menanggapi. "Sorry cannot confirm any details related to VIVA Group," tulisnya dalam pesan singkat kepada GATRA.
Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada menilai, Viva termasuk salah satu perusahaan Bakrie dengan kinerja oke. Indikasinya, antara lain, bisa dilihat dari pertumbuhan laba, harga saham, dan kapitalisasi pasar.
Laba bersih Viva pada tahun lalu yang Rp 79,92 milyar tumbuh 178% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang Rp 26,26 milyar. "Jika dilihat dari harga dan market cap anak-anak usaha Bakrie, hanya Viva yang tercatat mengalami pertumbuhan positif," katanya kepada GATRA.
Ada 11 perusahaan keluarga Bakrie yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Di antara perusahaan itu, Viva mengalami kenaikan harga 7,69% dari 520 pada 2011 menjadi 560 tahun 2012. Adapun harga saham lainnya, seperti Bakrie & Brothers, Bumi Resources, Bakrie Telecom, Energi Mega Persada, Darma Henwa, Bakrieland Development, Bakrie Sumatera Plantations Berau Coal Energy, dan Bumi Resources Minerals (BRMS), mengalami pertumbuhan negatif. Jika melihat dari sudut pandang investor, kata Reza Priyambada, penurunan harga pada emiten mencerminkan fundamental perusahaan. "Tidak mungkin fundamental bagus, tapi harganya mengalami penurunan. Emiten mengalami penurunan masih wajar selama itu karena faktor sentimen pasar," tuturnya.Untuk mengujinya, bisa dibandingkan dengan perusahaan pada industri yang sama. Salah satu contoh, penurunan harga saham yang dialami Bakrie Telecom di tengah industri telekomunikasi yang justru sedang mengalami kenaikan. "Hal ini mengindikasikan fundamental perusahaan yang tidak bagus," katanya.Apalagi, selama ini, kata Reza, Bakrie memiliki rekam jejak buruk terkait penjualan saham anak usahanya untuk memenuhi pendanaan mereka. Misalnya tukar guling Bumi Resources dengan Bumi Plc dan tukar guling Bakrie Telecom dengan perusahaan telekomunikasi milik Grup Sampoerna.
Investor, menurut Reza, sudah tahu cara Bakrie bermain, misalnya seringkali melakukan right issue atau penerbitan saham baru. Kalau keseringan melakukan penerbitan saham baru, harganya akan turun karena supply di pasar ditambah terus. "Itu yang akhirnya menyebabkan banyak investor kecewa pada mereka," ungkap Reza juga menambahkan, masuknya Aburizal Bakrie, putra sulung keluarga Bakrie, ke dunia politik juga membuat persepsi negatif di kalangan investor. Aburizal Bakrie adalah Ketua Umum Partai Golkar. "Oh, nanti uangnya ini akan digunakan untuk kampanye dan sebagainya. Dan itu, Bakrie harus menerima stigma negatif itu dari masyarakat," katanya. Terkait dengan penjualan Viva, berapa harga jualnya? Harga yang tertera di bursa saat ini berada di kisaran Rp 620 per lembar. Jumlah saham Viva adalah 7,89 milyar lembar. Harga jual yang wajar, kata Reza Priyambada, adalah harga rata-rata 90 hari perdagangan atau Rp 620 itu. Dengan harga ini, maka harga wajarnya adalah Rp 4,89 trilyun untuk 100% saham
Adapun kalau dilego dengan harga Rp 1.000 per lembar, maka harganya Rp 7,89 trilyun atau sekitar US$ 800 juta. Belakangan, rumor yang berkembang menunjukkan, Viva bisa dilego hingga US$ 1,2 milyar. "Namun harga ini tak mencerminkan fundamental Viva dan sengaja diembuskan di pasar," ujar Reza Priyambada. Analis MNC Securities, Reza Nugraha, menilai keluarga Bakrie sejauh ini terlihat masih ingin mempertahankan Viva. "Tapi tidak menutup kemungkinan kalau memang ada tawaran harga yang tinggi, mereka akan melakukan pelepasan," katanya kepada GATRA.
Harry Tanoesudibjo, pemilik MNC Group, juga dikabarkan tertarik meminang Viva. Selanjutnya? "Saya belum berani bilang. Nanti kita lihat saja hasil akhirnya," Reza menambahkan.Sejauh ini, Harry Tanoe telah mengambil beberapa aset keluarga Bakrie. Aset tersebut adalah Bakrie Toll Road dan Lido Lakes Resort.
Bakrie Toll Road adalah anak usaha Bakrieland Development. Bakrie Toll memiliki dan mengelola ruas tol Kanci-Pejagan. Ia juga memiliki konsesi ruas tol Pejagan-Pemalang (Jawa Tengah), Pasuruan-Probolinggo (Jawa Timur), Cimanggis-Cibitung (Jawa Barat), dan Ciawi-Sukabumi (Jawa Barat).Adapun Lido Lakes Resort di Sukabumi, Jawa Barat, adalah cucu usaha Bakrieland Development. Ia berada di bawah payung Lido Nirwana Parahyangan.
Melalui Bakrie Swastika Utama, keluarga Bakrie juga menjual tanah seluas 3 hektare di Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta, senilai Rp 878 milyar kepada Bumi Serpong Damai. Bakrie Swastika Utama adalah anak usaha Bakrieland Development. Adapun Bumi Serpong Damai milik Eka Tjipta Widjaja (Sinarmas Group).
Reza Nugraha menjelaskan bahwa penjualan aset-aset Bakrie itu dilakukan untuk mengurangi beban utang perusahaan. Ia memaparkan, pada akhir 2012, Bakrie Group memiliki utang US$ 666 juta. Utang yang besar itu sama dengan 14,5 kali equity ratio Bakrie Group. "Mungkin salah satu yang tertinggi di bursa Indonesia," katanya.Beban utang Bakrie Group, kata Reza, makin besar karena kurs dolar terhadap rupiah naik menjadi Rp 9.700 per dolar Amerika. "Asumsi mereka ada di kisaran Rp 9.000 sampai Rp 9.100. Otomatis selisih kurs tersebut memberikan tekanan tersendiri, selain beban bunga yang tinggi," ujarnya.
Penjualan aset Bakrie, kata Reza Nugraha, juga ditujukan untuk mendanai pembelian kembali (buyback) saham Bumi Resources. Sebab saat ini Bumi Resources tetap menjadi prioritas Bakrie Group. Bumi Resources adalah induk Kaltim Prima Coal dan Arutmin, perusahaan tambang batu bara di Kalimantan.
Keluarga Bakrie akan mengambil saham Bumi Resources dengan saham Bumi Plc miliknya dan dana tunai. Bumi Plc menguasai 29,2% saham Bumi Resources. Adapun melalui Bakrie & Brothers, keluarga Bakrie memiliki 23,8% saham Bumi Plc. Bakrie & Brothers akan menukar kepemilikannya dengan 10,3% saham Bumi Resources. Sisanya, 18,9%, akan ditebus dengan dana tunai senilai US$ 278 juta .
Bakrie Group, menurut Reza Nugraha, membutuhkan dana segar karena duit yang ada di kas mereka hanya US$ 45 juta. "Buyback akan dilakukan pada Mei 2013. Ini jadi tekanan tersendiri karena kalau kita lihat, cash mereka itu sangat kecil," katanya. Penjualan aset Bakrie, kata Reza, tak akan berhenti sampai di situ. Ke depan, penjualan aset lain masih akan terus dilakukan. "Kita lihat kondisi saat ini, selama mereka masih mempertahankan persepsi mereka akan Bumi Resources, maka ini akan terus-terusan, karena biaya yang diberikan untuk buyback Bumi cukup besar," ungkapnya.Ironisnya, menurut Reza, meskipun Bakrie terus-menerus melakukan penjualan aset untuk mengurangi beban utang masing-masing anak usahanya, itu tidak akan cukup. Sebab beban utangnya besar."Kalau saya melihat, agak susah, ya. Ya, itu tadi, kita melihat dari utang mereka yang sangat besar 14,5 kali equity ratio. Ini sangat tinggi. Padahal, debt to equity ratio dua sampai tiga kali dari ekuitas saja sudah warning," katanya.Reza memprediksi, Bakrie juga akan melego lahan sawit milik Bakrie Sumatera Plantations (UNSP). "Mungkin ke depannya mereka akan melepas UNSP yang tidak terlalu menarik bagi mereka, karena dari segi utang sendiri UNSP cukup besar," tuturnya. Namun penjualan itu tak akan dilakukan dalam waktu dekat. "Sebab harga sawit melemah sehingga tak menarik bagi investor," ia menambahkan. Sebelumnya, Bakrie pun telah menjual kepemilikan sahamnya di Bumi Resources Mineral sebesar 29,16%. Saham Bakrie di anak usaha Bumi Resources itu menyusut menjadi 45,13% atau setara dengan 1,54 milyar lembar. Bumi Resources Mineral adalah pemegang 24% saham Newmont Nusa Tenggara, tambang tembaga dan emas di Batu Hijau, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Selain itu,Bakrie Group menjual 18,58% saham Energi Mega Persada kepada Mackenzie Financial Corporation. Energi Mega Persada adalah perusahaan minyak dan gas yang memiliki konsesi migas di berbagai lokasi. Misalnya di Selat Malaka, Kangean, Bentu Korinci, dan Sangatta. Energi Mega Persada sebelumnya adalah pemilik Blok Brantas.
Di Blok Brantas itulah peristiwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, terjadi dan hingga sekarang masih berlangsung. Energi Mega Persada saat ini sudah tak memiliki saham di Lapindo Brantas setelah keluarga Bakrie mengeluarkannya dari Energi Mega Persada.
Blok Brantas saat ini dimiliki keluarga Bakrie melalui Lapindo Brantas Inc dan Minarak Labuan.Penjualan 18,58% saham Energi Mega Persada kepada Mackenzie dilakukan dalam dua tahap. Pada 28 Desember 2012, Mackenzie membeli 3,75 milyar lembar saham atau setara dengan 9,23% dan pada 2 Januari mengambil alih 3,79 milyar lembar saham senilai 9,35%.Kenapa Bakrie menjual aset-aset tersebut? Direktur Utama Bakrie & Brothers, Bobby Gafur Umar, menyatakan bahwa penjualan aset Bakrie itu dilakukan dengan beberapa tujuan. "Sebagian untuk menurunkan utang, sebagian modal investasi," katanya kepada GATRA. Investasi, kata Bobby, lebih banyak dilakukan untuk sektor infrastruktur. (Gatra / SL)