Kamis, April 23, 2009

" TOM WAINGGAI "

G. ADITJONDRO: Mengenang Tom Wainggai
Artikel untuk Tabloid Jubi, Port Numbay, No. 16

Mengenang Perjuangan Tom Wanggai:
Dengan Bendera, atau Apa ?

--------------------------
Oleh George J. Aditjondro

MINGGU lalu, saya mendapat berita bahwa sejumlah aktivis Papua Barat
berkumpul di depan gedung DPRD Papua Barat di pusat kota Port Numbay
(Jayapura). Rupanya mereka mengenang kematian almarhum Thomas W.N.S.
Wainggai, tokoh pejuang kemerdekaan negeri ini yang meninggal dalam tahanan
rezim Orde Baru dalam usia 59 tahun.

Saya belum sempat mengenal beliau secara pribadi, seakrab sebagaimana saya
mengenal almarhum Arnold Ap, tetangga dan
kawan seperjuangan saya di Papua
Barat waktu itu. Pada saat saya meninggalkan Bumi Kasuari,
bulan Agustus 1987, untuk melanjutkan studi di AS,
kami mungkin baru berpapasan satu dua
kali di kantor gubernur. Tom, begitu panggilan akrabnya, waktu itu bekerja
di kantor BAPPEDA Propinsi,
berbekal sederetan gelar S-2 dan S-3 di bidang
hukum dan administrasi pemerintahan dari AS dan Jepang.

Makanya, saya agak terkejut ketika mendengar beliau
memproklamasikanberdirinya Republik Melanesia Barat
di Stadion Mandala, Port Numbay, pada tanggal 14 Desember 1988. Sejak saat itulah saya berusaha mengikuti dampak pernyataan
yang sekali lagi menuntut dipatuhinya hak rakyat Papua Barat
untuk menentukan nasibnya sendiri.

Setelah pulang dari studi di Universitas Cornell, AS,
dan mulai mengajar di bekas alma mater saya,
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Tom sudah
divonis 20 tahun penjara, dan sudah dipindah dari Port Numbay
ke penjaraCipinang. Lewat kawan-kawan di PGI yang aktif
dalam pelayanan rohani para narapidana,
saya berusaha terus mengikuti keadaan Tom.

Sekali-sekali, dalam perjalanan mengikuti seminar
di luar negeri, saya menyanggupi jadi 'tukang pos'
untuk mengirim surat-surat Tom ke kawan-kawannya
di mancanegara. Dengan seizin kawan-kawan Papua yang
melayani Tom, surat-surat itu
sempat saya fotokopi dulu, yang kemudian
sedikit menjadi "jendela" untuk memahami
pemikiran cendekiawan dari Serui ini.

Satu hal yang waktu itu sudah menarik perhatian saya adalah bahwa nada
surat-surat buat kawan-kawan Tom di AS,
Australia, Aotearoa (New Zealand),Negeri Belanda dan Jepang
itu sangat optimis bahwa kemerdekaan negara di
belahan barat Pulau Niugini itu akan segera tercapai.
Paling tidak, tahun 2000.

Dengan tetap menghormati perbedaan pendapat
di antara orang Papua, juga perbedaan antara pemikiran Tom
dan saya sendiri, saya terus berusaha mengikuti perkembangan Tom
di penjara. Juga ketika saya sendiri terpaksa hijrah dari
tanah tumpah darah saya, pada tanggal 1 Februari 1995,
gara-gara para pendukung Suharto
dan Habibie tidak senang saya mengecam KKN para boss mereka.

Kampanye dari Perth:
--------------------
Untunglah di tempat pelarian saya yang pertama,
Perth, ada satu kelompok pegiat HAM yang mengkhususkan diri
berkampanye untuk pembebasan Tom.
Seorang kawan akrab saya di Perth, Nonie Atkinson,
adalah anggota kelompok Amnesty International (AI)
kawasan Como, Perth Selatan. Kelompok ini telah
"mengadopsi" Tom Wainggai sebagai "prisoner of conscience"
(orang yang dipenjara karena keyakinannya),
dan ingin melakukan apa saja, tanpa kekerasan,
untuk membebaskannya dari penjara. Sejak akhir 1993, para
anggota kelompok itu sudah melayangkan surat-surat
ke alamat Menlu Ali Alatas, mendesak pembebasan Tom Wainggai
atas alasan kesehatan dan kemanusiaan.

Memang, ketika masih berada di Perth itu,
saya sudah mendengar dari kawan-kawan saya di PGI,
bahwa kesehatan mental tokoh pencetus 'Republik Melanesia Barat' sangat terganggu. Bahkan ketika saya masih berada di Salatiga,
kawan-kawan saya yang biasa 'keluar masuk' penjara Cipinang,
sudah melaporkan hal yang sama.

Nah, faktor kesehatan narapidana politik paling top
dari Papua Barat itulah, kemudian dijadikan
isyu sentral oleh kelompok AI di Perth, untuk
memperjuangkan pembebasannya. Sesudah
dua pertemuan di bulan Juli dan
Agustus 1995, kelompok AI Perth memutuskan
untuk mengirim surat pada wakil Palang Merah Internasional di Jakarta,
untuk memberikan pelayanan kesehatan
pada Tom. Juga diputuskan untuk mengirim surat
kepada Bambang Widjajanto,SH, yang pernah membela
Tom dalam sidang pengadilan di Port Numbay, tahun 1989,
untuk meminta foto-foto, kliping-kliping koran,
dan bahan informasi
apa saja yang dapat membantu kampanye pembebasan Tom di Australia.

Kelompok AI ini tidak sendiri dalam berkampanye. Mereka didukung oleh
Komisi Ahli Hukum Sedunia, ICJ (International Commission of Jurists) Seksi
Australia Cabang Australia Barat, yang anggota-anggotanya bekerja di
beberapa universitas di Perth. Para ahli hukum ini pun secara resmi
mengirim surat kepada Sekjen Komnas HAM, Menteri Kehakiman, dan Menteri
Luarnegeri Republik Indonesia, mendesak supaya Tom Wainggai segera
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Sayangnya, surat-surat yang
dilayangkan tanggal 28 Juli 1995 itu, tidak mendapat balasan. Siapa tahu,
mungkin hilang ditelan ombak Samudra Hindia.

Di kalangan politisi Australia Barat di parlemen federal di Canberra,
dukungan untuk perjuangan pembebasan Tom Wainggai, datang dari Partai
Hijau. Dalam kesempatan tanya-jawab dengan fraksi pemerintah di parlemen,
para senator Partai Hijau berulang kali mendesak Menlu Australia waktu itu,
Gareth Evans, untuk mempertanyakan nasib Tom Wainggai pada Menlu Indonesia,
Ali Alatas.

Antara Cipinang & Kramat Jati:
------------------------------
Sayang sekali, semua kegiatan itu bagaikan menggarami lautan. Pada hari
Selasa, 12 Maret 1996, ketika saya sudah pindah dari Perth ke Newcastle,
untuk menjalani kontrak mengajar selama lima tahun, kami dikejutkan oleh
telepon dengan berita sedih dari Jakarta. Kawan kami, seorang pegiat HAM
asal Papua Barat, memberitakan bahwa Tom Wainggai telah meninggal dunia
dalam perjalanan dari penjara Cipinang ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati.

Kawan-kawan dan kaum kerabatnya di Jakarta, menunggu kedatangan isteri Tom
yang kelahiran Jepang, tiba dari negeri kelahirannya, bersama-sama ketiga
anak Tom yang juga telah menyusul ke sana, demi kelangsungan sekolah
mereka. Ketiga anak itu bernama Solomon, Angelica, dan David.

Hampir seminggu setelah Tom menghadap Sang Pencipta, jenazahnya berhasil
diterbangkan kembali ke negeri kelahirannya. Hari Senin, 18 Maret 1996,
pesawat yang mengangkut jenazah Tom mendarat di Bandara Sentani, didampingi
oleh isteri dan ketiga orang anaknya. Secara spontan, ribuan pendukung Tom
yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen, mengarak peti jenazah
dan keluarga yang berduka dari Sentani ke Port Numbay.

Kemarahan rakyat Papua karena berita kematian yang misterius itu, serta
merta dilampiaskan terhadap simbol-simbol kekuatan ekonomi dan politik yang
tidak berada dalam tangan bangsa Papua. Pasar Abepura, berbagai kompleks
pertokoan, puluhan rumah pendatang dan gedung instansi pemerintah, serta
mobil-mobil milik pendatang menjadi sasaran amukan massa.

Kematian Tom karena "sakit", setelah bertahun-tahun lamanya para pegiat HAM
di dalam dan di luar negeri gagal memperjuangkan pembebasan dini atas
alasan kesehatan dan kemanusiaan, masih tetap meninggalkan tanda tanya.
Sejauh ingatan saya, inilah kematian tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat
yang kedua di dalam -- atau sekitar -- penjara di Pulau Jawa.

Tokoh Papua yang telah mendahului Tom Wainggai adalah Gustaf Tanawani,
seorang bekas camat yang diadili dengan tuduhan subversi tahun 1984,
dipindahkan ke penjara Malang, dan meninggal secara misterius ketika
berstatus sebagai penghuni penjara Madiun, pada tanggal 8 Januari 1989.
Kebetulan, Gustaf Tanawani juga orang Serui seperti Tom.

Para kerabat dan pejuang HAM di Papua Barat, sudah sepantasnya menuntut
pemerintah pusat di Jakarta membuka kembali berkas Tom Wainggai dan Gustaf
Tanawani, untuk menghilangkan kesan seolah-olah penjara di Jawa bisa
menjadi tempat "menghilangkan" para pejuang kemerdekaan Papua Barat. Mirip
seperti peranan penjara Boven Digul di Papua Barat bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia di zaman kolonialisme Belanda.

Saya rasa, mengusut kembali kelalaian aparat hukum di Jawa, dalam
memelihara keselamatan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat yang
dibuang ke Jawa, saat ini lebih penting ketimbang mengenang Tom Wainggai
dengan mengabadikan bendera rancangannya.

Bintang Kejora versus Bintang 14:
---------------------------------
Mungkin, sobat-sobat di Papua Barat ada yang kurang senang dengan pendapat
ini. Tapi cobalah kita fikirkan dengan kepala dingin: mana yang lebih
penting, memperjuangkan dihormatinya hak kolektif bangsa Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri lewat referendum ataukah cara lain, atau 'adu
bendera' di pusat kota Port Numbay?

Kedua bendera yang kini dipertentangkan, sama-sama punya kelemahan. Sang
Bintang Kejora, konon dirancang oleh seorang Belanda, yang mencoba memadu
warna-warna dasar bendera Belanda dan AS, dengan Sampari yang merupakan
simbol kebangkitan dalam tradisi Teluk Saerera (Teluk Cenderawasih).
Khususnya, dalam mitologi Koreri yang berasal dari suku Biak-Numfoor.

Jadi, kalau mau dilihat dari sudut demokrasi, bendera itu bukan karya
sepenuhnya orang Papua sendiri, juga bukan hasil kompetisi yang terbuka
bagi seluruh rakyat Papua. Lalu, sampari (bintang kejora) terutama
merupakan bagian dari kebudayaan salah satu suku saja, di antara ke-240
suku bangsa Papua Barat.

Bendera 'Republik Melanesia Barat', yang kini populer dengan istilah
"Bintang 14", juga bukan hasil proses perancangan dan perlombaan yang
demokratis. Memang, bendera yang satu ini adalah karya salah seorang putra
terbaik bangsa Papua Barat, yang gugur di penjara rezim Jakarta, tapi
cobalah kita renungkan kembali proses pembuatan dan maknanya.

Menurut surat Tom kepada seorang kawannya di Negeri Belanda, tanggal 14 Mei
1993, bendera itu mulai dirancangnya di Jepang tahun 1969. Pada mulanya,
dia baru punya ide untuk menggunakan tiga warna -- hitam, putih, dan merah.
Kemudian, suatu hari di tahun 1983 di Tallahassee, Florida (AS), dia
mendapat ilham untuk menambahkan warna hijau, membentang dari atas ke
bawah, di bagian kiri bendera itu, mirip dengan posisi jalur merah pada
bendera Papua Barat yang lama. Di atas jalur hijau itu Tom meletakkan 14
bintang yang diatur berbentuk salib.

Selanjutnya, suatu hari di tahun 1986, di Port Numbay, Tom membuka Alkitab
dan menemukan 'pembenaran' terhadap bendera rancangannya, dalam kitab Wahyu
Bab 6, pasal 1 s/d 17. Dari situ dia memberikan makna hitam sebagai warna
maut, warna kematian, yang harus ditebus dengan salib, yakni penderitaan
yang harus dilalui oleh bangsa Papua untuk mencapai kebahagiaan di bumi,
yakni kemerdekaan.

Berbicara soal "bangsa Papua", di sini juga kita bisa lihat re-definisi
jatidiri bangsa penghuni separuh pulau cenderawasih, yang berusaha
dilakukan oleh Tom Wainggai di segala bidang. Nama "Papua", digantikannya
dengan nama "Melanesia". Singkatan "OPM" untuk para pejuang bersenjata di
hutan, digantinya dari "Organisasi Papua Merdeka" menjadi "Organisasi
Pembebasan Melanesia".

Lambang negara, yang tadinya hanya burung mambruk, dilengkapinya dengan
burung kuning dan burung mambruk, mengapit peta kawasan Papua Barat, yang
diganti namanya menjadi "Melanesia". Dan yang paling radikal tapi bersifat
eksklusif, adalah semboyan negara, yang dulunya dikenal dengan istilah "One
People, One Soul", diganti oleh Tom menjadi "Tuhan adalah Gembala Kami",
yang diambilnya dari kitab Mazmur, Bab 23, pasal 1 s/d 6.

Baik salib dalam ujud 14 bintang serta semboyan negara itu, tidak menjadi
masalah bagi Tom, yang memang membayangkan "Republik Melanesia" yang
dipimpinnya itu akan merupakan negara Kristen. Tentu saja, hal ini tak akan
diterima oleh dua kelompok besar dalam gerakan kemerdekaan Papua Barat,
yakni orang-orang Kristen yang menganut faham sekuler, khususnya pemisahan
"Gereja" dan "Negara", serta para pejuang kemerdekaan yang bukan Kristen.

Kelompok non-Kristen ini terdiri dari mereka yang Muslim, dan kebanyakan
berasal dari daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, serta para penganut
agama suku. Kedua kelompok ini tentunya juga tidak ingin negara yang akan
datang "memaksa" mereka masuk agama Kristen, atau mengatur kehidupan
bernegara menurut doktrin-doktrin atau simbol-simbol Kristen.

Saat ini, nama Papua untuk separuh pulau kasuari ini saja sudah
problematis. Soalnya, nama Papua sudah dikenal di negara tetangga, PNG,
untuk belahan selatan, di mana pernah ada gerakan Papua Besena yang
memperjuangkan pemisahan Papua dari Niugini (belahan utara). Itu sebabnya,
di kalangan pejuang kemerdekaan, istilah Papua Barat tetap merupakan
istilah yang lebih lazim dipakai untuk menyebut nama negerinya.

Dibandingkan dengan nama "Papua" yang diberikan oleh Gus Dur (berdasarkan
alasan yang keliru, seolah-olah istilah itu berasal dari bahasa Arab, dan
bermakna "telanjang"), istilah "Melanesia" tidak kalah problematisnya.
Bahkan istilah "Melanesia Barat" pun masih tetap problematis, sebab kawasan
Melanesia, yang merujuk ke warna kulit atau ras penghuninya, sesungguhnya
bukan baru mulai di pulau kasuari, tapi mulai dari Maluku dan Nusa Tenggara
Timur.

Usut Semua Kematian Misterius:
------------------------------
Kesimpulan saya, dari pada memecah-belah kekuatan dengan menyusun barisan
sendiri, dengan menggunakan istilah "Bintang 14", yang seolah-olah
merupakan saingan dari "fraksi Bintang Kejora", lebih baik semua yang ingin
memperjuangkan kemerdekaan membentuk satu presidium.

Soal bendera, para pejuang kemerdekaan sebaiknya bersikap lebih praktis dan
pragmatis, selama tujuan membentuk negara yang merdeka belum tercapai.
Pilihlah bendera yang sudah lebih dikenal oleh rakyat banyak, dan tidak
bersifat eksklusif.

Salah satu tugas mendesak bagi presidium itu adalah menggugat pemerintah
Gus Dur dan Megawati untuk membongkar kasus kematian misterius sejumlah
putra terbaik Papua Barat, seperti Arnold Ap, Edu Mofu, Gustaf Tanawani,
Tom Wainggai, Obeth Badii, Chrisian Misiren,
Aloysius Gobay, Amos Womsiwor,
Obeth Womsiwor, Pakistan Rumbekwan,
Bernardus Adadikam, Max Ongge,
Lazarus Konsu, Hermanus Wayoi, dan masih banyak lagi.

Puri Baru, Minggu, 25 Maret 2000

******************************
OTTIS SIMOPIAREF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog