Jumat, Agustus 21, 2009
Warga Asli Irian Barat Meradang Tuntut Berpisah Dari N.K.R.I
Timika: Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia, Kamis (20/8), mendatangi terminal bus di Mil 27. Para karyawan hendak memastikan keberangkatan ke tempat kerja mereka di distrik Tembagapura, Papua. Namun, mereka harus kecewa karena hanya mendapati pengumuman bahwa tak ada layanan bus menuju Tembagapura. Karyawan diminta kembali untuk memastikan bisa tidaknya bekerja pada Sabtu mendatang.
Juru bicara PT FI, Mindo Pangaribuan, menyatakan segala kebijakan mengenai transportasi karyawan menuju Tembagapura atau sebaliknya, dengan mempertimbangkan keselamatan karyawan PT FI dan keluarganya.
Hingga berita ini diturunkan, sebanyak lima korban luka masih dirawat di rumah sakit. Mereka terluka setelah bus karyawan yang baru pulang dari Tembagapura menuju Timika, ditembaki orang tak dikenal [baca: Penembakan Bus Freeport Lukai Enam Orang].
Sebelumnya, teror penembakan juga terjadi 12 Agustus silam di antara Mil 41 dan 42. Mobil patroli Freeport hancur akibat teror ini [baca:Kelompok Bersenjata Tembaki Mobil Freeport]. Akibat rangkaian teror, jalan menuju Tembagapura akhirnya ditutup sementara waktu sejak 17 Agustus lalu, sehingga karyawan Freeport tidak bisa berangkat kerja maka Karyawan Freeport Dihentikan Sementara]
Organisasi Papua Merdeka Menistakan dan berhasil Memalukan N.K.R.I Dimata Dunia Internasional pada hari kemerdekaan Indonesia ke 64
Juru bicara OPM seorang warga negara Belanda " Oridek Ap mengatakan 85% Rakyat Papua tidak mengakui bahwa Papua adalah bagian dari Negara Indonesia. Menurut dia, kawasan itu dijajah oleh Indonesia karena waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, Papua tidak termasuk dan tidak ada dalam butir perjanjian Konferensi Meja Bundar ; Penyerahan Kedaulatan dari Belanda pada Indonesia , menurut Oridek Ap Dunia Internasional harus jujur untuk tidak mengakui bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Menurut dia, kawasan itu dijajah oleh Indonesia karena waktu Proklamasi 17 Agustus 1945, Papua tidak termasuk. Masuknya kawasan itu ke NKRI, tambah aktivis Papua Barat ini, adalah hasil manipulasi negara-negara luar, seperti Amerika dan Belanda.Senada dengan Oridek Ap, Chris van de Klauw juga mendukung kemerdekaan rakyat Papua. Pria Belanda yang juga ikut berdemonstrasi itu menyesalkan Pemerintah Belanda tidak concern Lagi perhatikan perjuangan kemerdekaan Papua.Pemerintah Belanda bungkam, katanya, dengan dalih tidak mau mengganggu hubungan baik dengan RI. Menurut Van der Klauw, Pemerintah Belanda tidak konsisten.
"Saya dengar pemerintah Belanda teriak tentang apa yang terjadi di dunia. Tapi dalam kasus ini mereka hampir tidak bicara. Saya menyayangkan itu. Dengan cara ini, setidaknya kami ingin memperlihatkan bahwa Bintang Kejora masih ada dan masih ada negara yang berteriak minta perhatian dan minta merdeka," ujar Chris van de Klauw.
Pada Tanggal 17 Agustus 2009 Di di beberapa titik di kabupaten Mimika Papua telah dikibarkan bendera Bintang Kejora juga DiBelanda terjadi demonstrasi yang disponsori organisasi free west Papua dan Pengibaran Bendera Bintang Kejora didepan Sekolah Indonesia Netherland / SIN ' Masuknya kawasan Papua Barat ke NKRI, tambah aktivis Papua Barat ini, adalah hasil manipulasi kolektif negara negara , seperti Amerika Ingris dan Belanda Senada dengan Oridek Ap, Chris van de Klauw juga mendukung kemerdekaan rakyat Papua. Pria Belanda yang juga ikut berdemonstrasi itu menyesalkan Pemerintah Belanda tidak Lagi perhatikan perjuangan kemerdekaan Papua.
Pemerintah Belanda bungkam, katanya, dengan dalih tidak mau mengganggu hubungan baik dengan RI. Menurut Van der Klauw, Belanda tidak konsisten.
"Saya dengar pemerintah Belanda teriak tentang apa yang terjadi di dunia. Tapi dalam kasus ini mereka hampir tidak bicara. Saya menyayangkan itu. Dengan cara ini, setidaknya kami ingin memperlihatkan bahwa Bintang Kejora masih ada dan masih ada negara yang berteriak minta perhatian dan minta merdeka," ujar Chris van de Klauw.
Kasus Abepura
Di saat yang sama, insiden pengibaran bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM) Bintang Kejora juga terjadi di Distrik Abepura, Papua. Peristiwa terjadi tanggal 17 Agustus 2009, tepat pukul 06.00 WIT, menjelang perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Pengibaran Bintang Kejora dilakukan oleh orang tidak dikenal di sebuah perbukitan di Kelurahan Asano, Distrik Abepura, Papua. Bintang Kejora ditancapkan di atas tiang bendera setinggi tiga meter.
Sementara itu, kurang sehari acara perayaan Kemerdekaan, suasana mencekam melanda kawasan PT Freeport, Papua. Saat itu, bus milik Freeport ditembak kelompok bersenjata.
Insiden penembakan bus Freeport itu terjadi Ahad (16/8) pukul 15.00 WIT di kawasan mile 42, tepatnya pada ruas jalan yang menghubungkan antara Timika dengan Tembagapura.
Sebelum ini, kasus penembakan di areal PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, mengakibatkan tiga orang meninggal dunia & tujuh orang luka-luka.
Kepala Suku Kampung Babrongko Jayapura, Papua, Ramses Wally SH di Jayapura, mengatakan, kasus penembakan di areal PT. Freeport sudah sering terjadi.
Hanya saja, meski kegiatan seperti ini juga merupakan tindakan “teror” dan juga masuk kegiatan merongrong NKRI, tak satu pun aparat, pengamat atau media menyebutnya sebagai “teroris”.
Timika Papua: Dulu Sumber Penghidupan,Namun Kini Sumber Persoalan : sumber ketidak adilan
Hujan deras yang mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, pada Senin (20/7) malam itu tidak menyejukkan hati Atina Uwamang. Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicokok polisi.
Victor Beanal, kepala suku Amungme dari Kampung Tsinga, yang Senin siang itu bertandang ke rumah Jonas untuk merembuk rencana pernikahan kerabat mereka juga ditangkap.
”Lima polisi memasuki rumah kami, menendang pintu rumah, membongkar lemari, mengambil sejumlah barang kami. Polisi tidak beri tahu mengapa mereka ditangkap,” tutur Atina lirih.
Jonas dan Victor adalah dua dari puluhan orang yang ditangkap terkait upaya polisi mengungkap rangkaian aksi pembakaran bus dan serangkaian penembakan areal PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terjadi sejak 8 Juli lalu. Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.
Polisi masih menahan delapan tersangka yang membantu pelaku penembakan. Namun, hingga Rabu pekan lalu, pelaku utama penembakan belum ditemukan. Justru tiga penembakan terjadi lagi di areal PTFI Selasa pekan lalu.
”Di areal Freeport, kepentingan terlalu banyak. Kami tidak pernah memiliki kepentingan di situ. Kami hanya memiliki gunung itu (Ertsberg dan Grasberg). Namun, isinya kami tidak pernah tahu. Sekian tahun kami sudah miskin, satu hari pun tidak pernah makan tiga kali. (Penembakan) Itu orang lain punya persoalan. Kami rakyat mau hidup tenang. Saya minta, kembalikan warga yang ditangkap,” kata Thomas Wamang, salah satu tokoh suku Amungme, dalam dialog di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, 24 Juli lalu.
Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisisme publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka. ”Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer, dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.
Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus juga tempat spiritual suku Amungme.
Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. ”Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Tembagapura,” tutur Thomas Wamang.
PTFI mengupas kulit Gunung Ertsberg dan Grasberg untuk mendapatkan bijih batuan induk emas dan tembaga. Kupasan batuan kulit itu harus dibuang dan Cekungan Wanagon menjadi tempat penimbunan itu. Padahal, Cekungan Wanagon, yang juga tempat sakral bagi orang Amungme, khususnya penduduk Kampung Waa, Arowanop, dan Tsinga, tidak boleh diganggu. Setidaknya ada dua kecelakaan bendungan danau pecah yang mengakibatkan korban manusia maupun hewan (Laporan Tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Februari 2001).
Jutaan hingga miliaran metrik ton batuan induk tubuh bijih emas dan tembaga telah dan akan terus dikeruk dari Grasberg, untuk digerus agar kandungan emas dan tembaganya bisa dipisahkan. Sisa gerusan itu menjadi lumpur lembut (tailing) yang dialirkan ke areal seluas 230 kilometer persegi daerah pengendapan yang dimodifikasi di Sungai Ajkwa. Proses pembuangan tailing itu telah disetujui pemerintah, melalui persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K pada 1997 (Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, PTFI).
Sungai Ajkwa dan beberapa anak sungainya dari generasi ke generasi menjadi sumber penghidupan suku Kamoro. Di daerah aliran sungai itulah masyarakat peramu Kamoro hidup dengan budaya sungai, sagu, dan sampan mereka. Namun, justru di tempat peramu Kamoro menokok sagu, berburu binatang liar, menombak buaya, menangkap kepiting, ataupun mencari ikan itulah lumpur tailing harus diendapkan.
Tokoh suku Kamoro di Kampung Ayuka, Pius Nimaipouw, mengeluhkan hutan sagu ulayatnya yang kebanjiran limpahan air dan lumpur tailing. Akibatnya, rasa sagu mereka tidak enak. Mereka pun kemudian memilih membeli sagu di pasar.
Harus diakui, keberadaan PTFI adalah perintis pengakuan hak ulayat masyarakat pribumi di Indonesia. Tahun 1974 PTFI menyepakati Perjanjian Januari dengan para suku Amungme yang hak ulayatnya digunakan PTFI. Sejak 1996 hingga kini, sudah ada 300 juta dollar AS dana kemitraan (dana 1 persen) yang disalurkan PTFI kepada tujuh suku yang berbatasan dengan areal kontrak karya PTFI dan tinggal di Mimika.
Sejak 2001, PTFI juga memberikan kompensasi rekognisi hak ulayat atas kerugian delapan kampung suku Amungme dan Kamoro yang secara langsung terkena dampak aktivitas pertambangan PTFI. Menurut Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, total nilai dana perwalian itu sudah mencapai 26 juta dollar AS. Dan setiap tahun akan dikucurkan dana perwalian 1 juta dollar AS untuk Kampung Waa-Banti, Arwanob, Tsinga (ketiganya kampung suku Amungme), Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Ayuka, dan Tipuka (kelimanya kampung suku Kamoro).
Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. ”Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabuk bir, lalu ke lokalisasi).”
PTFI memang memberi manfaat besar bagi banyak pihak. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah pada 2007 mencapai 1,8 miliar dollar AS. PTFI menyerap tenaga kerja hingga 9.800 orang dan 98 persen di antaranya warga negara Indonesia. Total upah dan gaji karyawan sejak 1992 telah mencapai 1,4 miliar dollar AS. Sejumlah 45 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Mimika bersumber dari PTFI. Dan 25 persen pendapatan rumah tangga di Papua disediakan oleh PTFI.
Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.
Pertikaian antarkelompok, perang tradisional antarsuku, dan pendulangan emas dari tailing yang mengandung merkuri hanya sebagian contoh. Ditambah serangkaian penembakan misterius di areal PTFI, lengkap sudah tumpukan masalah di Mimika.
Relevan untuk menutup Freeport di Papua sebagai kunci memperbaiki akar bencana ekonomi dan kedaulatan Bangsa Indonesia. Upaya meunutup Freeport adalah bukti dukungan bagi rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan sistem hukum dalam kebijakan tambang di negeri ini. Sebab Udang-undang penanaman Modal Asing yang sekarang kenyataannya sudah 80 persen tambang yang ada di indonesia milik negara luar dan inilah fakta penjajahan asing. PT. Freepeort Indonesia / FMC adalah perusahaan asal Amerika Serikat yang pertama kali membidani Lahirnya undang-undang investasi agar Praktek Neo kapitalis/Neo liberalisme aman dan dapat dijadikan landasan hukum Amerika Serikat meng eksploitasi Pertambangan emas Terbesar Didunia
Selain itu juga, Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM di Indonesia mencapai 2 bilyun dollar. Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.
Dari segi ekologi, Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing perhari, yang jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
Kemana Freeport membuang limbah batuan? Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tailing secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim Walhi tailing Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Tailing masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing baik di sungai maupun muara sungai.
Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total penghasilan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1 % Anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah dengan demikian Freeport menjadi demikian berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah 'membeli' negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?
Menurut catatan departemen Energi dan Sumber Daya mineral, sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US $. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$.
Mantan Gubernur Provinsi Papua Alm. JP Salossa pernah berjanji akan menanyakan besaran royalti yang dibayarkan PT Freeport Indonesia kepada pemerintah pusat selama ini. Menurut Alm Jp. Solosa, Pemda Papua belum pernah mengetahui total royalti yang dibayarkan Freeport tiap tahunnya kepada pemerintah. "Saya akan menanyakannya kepada Menteri Keuangan," ujar Salossa seusai dipanggil Presiden di Kantor Kepresidenan, Selasa, 08 Pebruari 2005 12 WIB. Di tahun yang sama setelah statemen terhadap Freeport, Alm. Solosa meninggal dunia.
Selama periode KK I tahun 1973-1991, perusahaan pertambangan yang berinduk pada Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. ini telah mendapat laba 1,1 milyar dolar AS. Sementara untuk kas Indonesia, Freeport hanya menyetor 138 juta dolar AS dalam bentuk deviden, royalti dan pajak atau sekitar 12,54 persen. Dengan bekal KK II, selama 30 tahun ke depan, areal penambangan Freeport terus melebar hingga ke Deep Area, DOM dan Big Gossan yang sudah siap dieksploitasi. Sedangkan daerah Kucing Liar serta Intermediate Ore Zone (IOZ) masih dieksplorasi. Freeport tampaknya masih akan lama bercokol di Tanah Papua dengan adanya kontrak untuk kegiatan tambang Garsberg yang berlaku sampai 2021 dengan opsi memperpanjang perjanjian hingga 20 tahun kemudian.
Sumber:
http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2005/02/08/brk,20050208-42,id.html
ANNUAL REPORT PURSUANT TO SECTION 13 OR 15(d) OF THE SECURITIES EXCHANGE ACT OF 1934 For the fiscal year ended December 31, 2002, Freeport McMoRan Copper and Gold
ANNUAL REPORT PURSUANT TO SECTION 13 OR 15(d) OF THE SECURITIES EXCHANGE ACT OF 1934 For the fiscal year ended December 31, 2003, Freeport McMoRan Copper and Gold
ANNUAL REPORT PURSUANT TO SECTION 13 OR 15(d) OF THE SECURITIES EXCHANGE ACT OF 1934 For the fiscal year ended December 31, 2004, Freeport McMoRan Copper and Gold
Info Sheet, Operasi Pertambangan PT. Freeport Indonesia Company. Walhi 2002
Butterman. W.C, Aimee III. Mineral Commodity Profiles-Gold, USGS 2003
http://www.antara.co.id/arc/2009/5/26/freeport-belum-dapat-dongkrak-kesejahteraan-masyarak
Senin, Agustus 17, 2009
Peringatan HUT RI Ke 64 Di Istana Negara Aman
BIN Pastikan Sampai Detik Ini Istana Aman
Jaringan teroris Noordin M Top sempat membidik Istana Negara sebagai salah satu sasarannya
Kelompok teroris Noordin M Top membidik Istana Negara sebagai salah satu sasaran bom mereka. Namun Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Syamsir Siregar memastikan Istana sejauh ini aman.
"Semua berjalan baik, sampai detik ini tidak ada apapun," kata Syamsir usai peringatan detik-detik proklamasi di Istana Negara, Jakarta, Senin 17 Agustus 2009.
Dia juga memastikan wilayah lain di Indonesia aman dari ancaman teroris. "Tidak ada (ancaman)," kata dia.
Istana sendiri semakin memperketat pengamanan. Terkait peringatan kemerdekaan RI, pengamanan mencapai tiga lapis. Namun Mensesneg Hatta Rajasa membantah ada peningkatan sistem keamanan. "Nggak, seperti biasanya saja," kata dia.
Seminggu lalu, 8 Agustus 2009, Densus 88 penggerebek sarang teroris di Jati Asih, Bekasi dan Temanggung, Jawa Tengah. Dari penggerebekan di Jati Asih, polisi menemukan bom rakitan dan bahan bom mobil.
Salah satu kelompok teroris yang ditangkap Amir Abdillah menginformasikan bom-bom tersebut akan diledakkan di kediaman pribadi Presiden SBY di Cikeas dan Istana Negara.
Dalam penggerebekan teroris di dua tempat itu, polisi menembak mati tiga kawanan tersebut, yakni Air Setiawan, Eko Joko Sarjono, dan Ibrohim, si pengatur bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Ledakan bom di dua hotel ini pada 17 Agustus 2009 lalu menewaskan sembilan orang dan melukai 55 orang lainnya.
Rabu, Agustus 12, 2009
Sekilas tentang Skenario Barat terhadap Dunia Islam
Skenario global terhadap dunia Islam
Membahas otak sesungguhnya dari terorisme yang mengatasnamakan agama Islam tentunya akan sulit untuk lepas dari teori konspirasi yang sesungguhnya memiliki kelemahan yang mendasar. Kelemahan bersandar pada teori konspirasi adalah kurang validnya data, terlalu banyak faktor kebetulan, serta terlalu kuatnya asumsi dan prasangka tertentu.
Apabila kita waspada, akan terlihat bahwa mempercayai teori konspirasi berarti mengakui supremasi Barat (AS)yang seolah-olah telah mengenggam dunia dengan segala kehebatannya. Kelemahan intelektual dan pengakuan atas supremasi Barat itulah yang justru dihembuskan dari para penganjur teori konspirasi yang mayoritas juga justru dari kalangan Barat yang tidak memiliki kredibilitas yang kuat, misalnya kelompok - kelompok Kiri radikal yang sudah invalid ditelan waktu
Terlalu banyak desepsi informasi yang menggambarkan seolah-olah CIA, MI6, dan kawan-kawan begitu hebatnya dalam operasi intelijen global serta telah menguasai banyak hal di dunia. Hal itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Saya dapat bertaruh 50-50, artinya setiap cerita kehebatan itu harus dikorting 50% nilai kebenarannya, sehingga sudah sangat tidak meyakinkan karena telah masuk dalam kategori meragukan.
Dalam berbagai kasus politik internasional, tampak jelas bahwa kemampuan intelijen AS dan negara-negara Barat tidaklah kuat. Dalam berbagai kasus serius di Timur Tengah, Afrika, China, Myanmar, Eropa Timur jelas sekali jalannya sejarah tidak ditentukan oleh peranan intelijen, tetapi justru intelijen berupaya mengklaim prestasi atau suatu hal yang tidak pantas diklaim.
Frustasi intelijen Barat selama perang dingin terobati dengan blunder politik keterbukaan di bekas Uni Soviet, karena kelemahan terbesar dari intelijen Barat adalah kurangnya penetrasi human intelligence ke dalam sasaran. Namun dari sudut pandang teori konspirasi, sah-sah saja bila intelijen Barat mengklaim telah berjasa dalam mendorong keterbukaan di bekas Uni Soviet yang akhirnya menghancurkan sendi-sendi persatuan nasional dan pecahlah negara Uni Soviet. Hal ini disadari betul oleh Vladimir Putin yang telah mengembalikan kekuatan Uni Soviet dalam skala Russia yang secara meyakinkan bangkit kembali tanpa menunjukkan suatu keadaan yang tunduk pada negara-negara Barat.
Permainan dengan pejuang Mujahidin di Afghanistan adalah juga dalam kerangka perang dingin, dan pada waktu itu Islam sama sekali bukan suatu isu ancaman bagi AS dan sekutunya. Bahkan secara serius terjadi pembinaan yang intensif dalam rangka menghadapi musuh bersama Russia. Perebutan pengaruh global di kawasan tidak dapat tidak akan melibatkan kekuatan-kekuatan lokal, sehingga mujahidin dan berbagai kelompok perlawanan mendapatkan angin dukungan dari AS. Tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada sahabat sejati, demikian politik internasional berbicara. Masa romantis AS dan pejuang Mujahidin berakhir hanya karena Mujahidin tidak dapat dikendalikan secara ideologi untuk tunduk dan patuh kepada konsep-konsep yang ingin dipaksakan oleh AS seperti diberlakukan kepada bangsa Jepang paska Perang Dunia ke-II. Sebelum sungguh-sungguh pecah kongsi, telah terjadi upaya untuk meyakinkan pejuang Mujahidin tentang "itikad baik" membantu Afghanistan, tetapi siapa yang dapat percaya? Mengapa tidak percaya, karena perilaku AS dan Barat adalah suatu pola penjajahan modern yang memaksakan bukan hanya kekuasaan tetapi juga mencakup nilai-nilai yang tidak dapat diterima oleh kaum Mujahidin.
Mari kita tengok sejenak kasus di Indonesia.
CIA dan MI6 yang konon malang melintang di Indonesia pada saat Partai Komunis Indonesia berjaya, sesungguhnya dalah macan ompong yang tidak mengerti sama sekali Indonesia. Mereka hanya penonton yang manis yang rajin mencatat dan menganalisa, namun soal operasi nol besar. Apa yang kemudian terjadi adalah bahwa Indonesia sedang rapuh dalam persatuan dan kesatuan sehingga lahir kelompok kolaborator yang secara sukarela menerima tawaran AS dan sekutunya. Artinya bukan diciptakan oleh operasi intelijen, saya pastikan ini murni pertarungan politik domestik dalam sejarah Indonesia. Apa yang disebut sebagai dokumen Gilchrist, peranan CIA dan lain-lain adalah klaim yang terlalu dibesar-besarkan.
Bahwa ada operasi CIA itu benar, namun operasi itu tidak berarti karena sejarah perjalanan bangsa Indonesia digoreskan oleh para pelaku sejarah Indonesia sendiri dan bukan dikendalikan oleh operasi intelijen CIA. Apabila rekan-rekan Blog I-I ingin melihat bagaimana orang CIA bekerja, tentunya kita akan terheran-heran karena begitu payahnya dan jauh dari bayangan hebat seperti di film hollywood.
Misalnya analis CIA. Meskipun mereka menggunakan kode-kode nomor sandi, namun sangat kentara ketika mempersiapkan diri, misalnya dengan kuliah ke Australia meneliti Indonesia, kemudian belajar bahasa di Yogyakarta atau Solo, kadang-kadang lupa karena masih bersikap seperti intel. Yang agak lebih cerdas misalnya dengan telah menetap lama di Indonesia sebelum akhirnya ditempatkan di Indonesia. Konyolnya lagi, kadang kala mereka mempersiapkan diri di Bangkok, Thailand karena dipikirnya tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia.
Untuk operasional, inteljen Barat lebih memaksimalkan peranan kolaborator lokal yang mana hal ini terjadi karena kolaborator lokal tergiur dollar, melesatnya karir politik dan fantasi bekerja untuk lembaga bergengsi serta kesempatan mendapatkan pengalaman. Dari sejumlah rekan yang pernah bekerja untuk kepentingan asing tersebut sering terungkap rasa bersalah yang sangat tinggi serta kekecewaan karena pada akhirnya mereka hanyalah pion-pion yang tidak berarti.
Sekarang kita perhatikan kasus terorisme di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang terjadi?
Dari penelusuran saya bersama team I-I terhadap mantan Mujahid yang pernah berangkat ke Afghanistan dan Pakistan serta mereka yang pernah ke Filipina Selatan, setidaknya ada beberapa hal yang wajib serta sangat perlu untuk diperhatikan, yakni:
1. Sekelompok kecil adalah Mujahid sejati ikhlas berjuang demi agama Islam.
2. Sekelompok besar Mujahid lebih dikendalikan fanatisme & fatwa jihad
3. Hampir 100% tidak terlalu paham dengan konstelasi politik global.
4. Keyakinan benarnya cara perjuangan para Mujahid sangat kuat.
5. Melalui pola-pola indoktrinasi pembenaran aksiteror terjadi cuci otak.
6. Hasilnya adalah pelaku teror bunuh diri yang merasa benar tindakannya.
7. terbukti tanpa sadar konsep Jihad mujahid disusupi tafsir2 yg sesat
Apa maknanya. Para pelaku teroris adalah kolaborator terbaik bagi suatu agenda yang dapat menarik perhatian global sebagai suatu ancaman terhadap umat manusia. Apakah mereka dikendalikan oleh operator-operator Barat? Saya melihatnya tidak bersifat langsung demikian, namun secara tidak sadar langkah-langkah yang ditempuh teroris tersebut menjadi pilar utama dari agenda global Negara2 Adi Kuasa untuk dapat mencampuri dan mendikte negara - negara Islam / Dunia Islam
Sekian
Membahas otak sesungguhnya dari terorisme yang mengatasnamakan agama Islam tentunya akan sulit untuk lepas dari teori konspirasi yang sesungguhnya memiliki kelemahan yang mendasar. Kelemahan bersandar pada teori konspirasi adalah kurang validnya data, terlalu banyak faktor kebetulan, serta terlalu kuatnya asumsi dan prasangka tertentu.
Apabila kita waspada, akan terlihat bahwa mempercayai teori konspirasi berarti mengakui supremasi Barat (AS)yang seolah-olah telah mengenggam dunia dengan segala kehebatannya. Kelemahan intelektual dan pengakuan atas supremasi Barat itulah yang justru dihembuskan dari para penganjur teori konspirasi yang mayoritas juga justru dari kalangan Barat yang tidak memiliki kredibilitas yang kuat, misalnya kelompok - kelompok Kiri radikal yang sudah invalid ditelan waktu
Terlalu banyak desepsi informasi yang menggambarkan seolah-olah CIA, MI6, dan kawan-kawan begitu hebatnya dalam operasi intelijen global serta telah menguasai banyak hal di dunia. Hal itu sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Saya dapat bertaruh 50-50, artinya setiap cerita kehebatan itu harus dikorting 50% nilai kebenarannya, sehingga sudah sangat tidak meyakinkan karena telah masuk dalam kategori meragukan.
Dalam berbagai kasus politik internasional, tampak jelas bahwa kemampuan intelijen AS dan negara-negara Barat tidaklah kuat. Dalam berbagai kasus serius di Timur Tengah, Afrika, China, Myanmar, Eropa Timur jelas sekali jalannya sejarah tidak ditentukan oleh peranan intelijen, tetapi justru intelijen berupaya mengklaim prestasi atau suatu hal yang tidak pantas diklaim.
Frustasi intelijen Barat selama perang dingin terobati dengan blunder politik keterbukaan di bekas Uni Soviet, karena kelemahan terbesar dari intelijen Barat adalah kurangnya penetrasi human intelligence ke dalam sasaran. Namun dari sudut pandang teori konspirasi, sah-sah saja bila intelijen Barat mengklaim telah berjasa dalam mendorong keterbukaan di bekas Uni Soviet yang akhirnya menghancurkan sendi-sendi persatuan nasional dan pecahlah negara Uni Soviet. Hal ini disadari betul oleh Vladimir Putin yang telah mengembalikan kekuatan Uni Soviet dalam skala Russia yang secara meyakinkan bangkit kembali tanpa menunjukkan suatu keadaan yang tunduk pada negara-negara Barat.
Permainan dengan pejuang Mujahidin di Afghanistan adalah juga dalam kerangka perang dingin, dan pada waktu itu Islam sama sekali bukan suatu isu ancaman bagi AS dan sekutunya. Bahkan secara serius terjadi pembinaan yang intensif dalam rangka menghadapi musuh bersama Russia. Perebutan pengaruh global di kawasan tidak dapat tidak akan melibatkan kekuatan-kekuatan lokal, sehingga mujahidin dan berbagai kelompok perlawanan mendapatkan angin dukungan dari AS. Tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada sahabat sejati, demikian politik internasional berbicara. Masa romantis AS dan pejuang Mujahidin berakhir hanya karena Mujahidin tidak dapat dikendalikan secara ideologi untuk tunduk dan patuh kepada konsep-konsep yang ingin dipaksakan oleh AS seperti diberlakukan kepada bangsa Jepang paska Perang Dunia ke-II. Sebelum sungguh-sungguh pecah kongsi, telah terjadi upaya untuk meyakinkan pejuang Mujahidin tentang "itikad baik" membantu Afghanistan, tetapi siapa yang dapat percaya? Mengapa tidak percaya, karena perilaku AS dan Barat adalah suatu pola penjajahan modern yang memaksakan bukan hanya kekuasaan tetapi juga mencakup nilai-nilai yang tidak dapat diterima oleh kaum Mujahidin.
Mari kita tengok sejenak kasus di Indonesia.
CIA dan MI6 yang konon malang melintang di Indonesia pada saat Partai Komunis Indonesia berjaya, sesungguhnya dalah macan ompong yang tidak mengerti sama sekali Indonesia. Mereka hanya penonton yang manis yang rajin mencatat dan menganalisa, namun soal operasi nol besar. Apa yang kemudian terjadi adalah bahwa Indonesia sedang rapuh dalam persatuan dan kesatuan sehingga lahir kelompok kolaborator yang secara sukarela menerima tawaran AS dan sekutunya. Artinya bukan diciptakan oleh operasi intelijen, saya pastikan ini murni pertarungan politik domestik dalam sejarah Indonesia. Apa yang disebut sebagai dokumen Gilchrist, peranan CIA dan lain-lain adalah klaim yang terlalu dibesar-besarkan.
Bahwa ada operasi CIA itu benar, namun operasi itu tidak berarti karena sejarah perjalanan bangsa Indonesia digoreskan oleh para pelaku sejarah Indonesia sendiri dan bukan dikendalikan oleh operasi intelijen CIA. Apabila rekan-rekan Blog I-I ingin melihat bagaimana orang CIA bekerja, tentunya kita akan terheran-heran karena begitu payahnya dan jauh dari bayangan hebat seperti di film hollywood.
Misalnya analis CIA. Meskipun mereka menggunakan kode-kode nomor sandi, namun sangat kentara ketika mempersiapkan diri, misalnya dengan kuliah ke Australia meneliti Indonesia, kemudian belajar bahasa di Yogyakarta atau Solo, kadang-kadang lupa karena masih bersikap seperti intel. Yang agak lebih cerdas misalnya dengan telah menetap lama di Indonesia sebelum akhirnya ditempatkan di Indonesia. Konyolnya lagi, kadang kala mereka mempersiapkan diri di Bangkok, Thailand karena dipikirnya tidak akan jauh berbeda dengan Indonesia.
Untuk operasional, inteljen Barat lebih memaksimalkan peranan kolaborator lokal yang mana hal ini terjadi karena kolaborator lokal tergiur dollar, melesatnya karir politik dan fantasi bekerja untuk lembaga bergengsi serta kesempatan mendapatkan pengalaman. Dari sejumlah rekan yang pernah bekerja untuk kepentingan asing tersebut sering terungkap rasa bersalah yang sangat tinggi serta kekecewaan karena pada akhirnya mereka hanyalah pion-pion yang tidak berarti.
Sekarang kita perhatikan kasus terorisme di Indonesia.
Apa sesungguhnya yang terjadi?
Dari penelusuran saya bersama team I-I terhadap mantan Mujahid yang pernah berangkat ke Afghanistan dan Pakistan serta mereka yang pernah ke Filipina Selatan, setidaknya ada beberapa hal yang wajib serta sangat perlu untuk diperhatikan, yakni:
1. Sekelompok kecil adalah Mujahid sejati ikhlas berjuang demi agama Islam.
2. Sekelompok besar Mujahid lebih dikendalikan fanatisme & fatwa jihad
3. Hampir 100% tidak terlalu paham dengan konstelasi politik global.
4. Keyakinan benarnya cara perjuangan para Mujahid sangat kuat.
5. Melalui pola-pola indoktrinasi pembenaran aksiteror terjadi cuci otak.
6. Hasilnya adalah pelaku teror bunuh diri yang merasa benar tindakannya.
7. terbukti tanpa sadar konsep Jihad mujahid disusupi tafsir2 yg sesat
Apa maknanya. Para pelaku teroris adalah kolaborator terbaik bagi suatu agenda yang dapat menarik perhatian global sebagai suatu ancaman terhadap umat manusia. Apakah mereka dikendalikan oleh operator-operator Barat? Saya melihatnya tidak bersifat langsung demikian, namun secara tidak sadar langkah-langkah yang ditempuh teroris tersebut menjadi pilar utama dari agenda global Negara2 Adi Kuasa untuk dapat mencampuri dan mendikte negara - negara Islam / Dunia Islam
Sekian
Jumat, Agustus 07, 2009
Kenapa Harus Mengkambinghitamkan Intelijen ?
Haruskah Mengkambinghitamkan Intelijen ?
Oleh: Mayor (Inf) Agus Bhakti,
Beberapa waktu lalu kita begitu dikejutkan dengan terjadinya kembali ledakan bom pada tanggal 17 Juli 2009 secara hampir bersamaan di Hotel Marriott dan Ritz Carlton. Kejadian ini begitu mengejutkan karena selain telah menewaskan 9 orang dan melukai 52 orang lainnya, tercatat bahwa terjadinya teror bom terakhir adalah + 4 tahun yang lalu pada tanggal 31 Desember 2005 di Palu yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang. Kurun waktu yang cukup lama mengingat 4 tahun dalam kondisi yang relatif aman dibandingkan kurun waktu tahun 2000 s/d 2005 yang marak dengan teror bom. Reaksipun bermunculan, dari mulai yang bersimpati kepada korban, kebencian yang mendalam terhadap teroris, solidaritas nasional untuk memerangi terorisme sampai dengan "pengkambinghitaman" individu maupun institusi.
"Diplomacy is the first line of the defense but intelligence...is the first and the last line of the defense". Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan fungsi intelijen. Dikaitkan dengan potensi ancaman yang semakin multidimensional, sangatlah riskan bagi suatu negara apabila terjadi kegagalan fungsi intelijen. James Douglas Clayton, ahli komputer yang menciptakan software nirkabel Spartacus yang diperankan oleh Collin Farrel dalam film “Recruit” tahun 2004 menyampaikan asumsinya tentang CIA ketika ditemui oleh ahli perekrutan CIA Walter Burke (Al Pacino) : “CIA adalah hanya sekelompok pria kulit putih gemuk yang tertidur saat kita memerlukan mereka.” Yang dijawab oleh Walter Burke : “Apa yang sama sekali kamu tahu, sebenarnya kamu tidak mengetahuinya. Apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang sesuai dengan kenyataannya.” Dialog yang cukup representatif untuk memberikan gambaran mengenai tugas-tugas aparat intelijen. Sangat sering kita dengar tentang opini yang negatif terhadap kinerja aparat intelijen seperti ungkapan intelijen lemah, intelijen tumpul, intelijen kecolongan bahkan intelijen dianggap biang jika terjadi tindak terorisme1. Hal yang lumrah dan sesuai dengan motto intelijen “berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari dan matipun tidak diakui”, walaupun motto ini tidak berlaku untuk pembenaran atas gagalnya fungsi intelijen.
Intelijen adalah informasi yang dihargai atas ketepatan waktu dan relevansinya, bukan detil dan keakuratannya, berbeda dengan "data", yang berupa informasi yang akurat, atau "fakta" yang merupakan informasi yang telah diverifikasi2. Kegagalan fungsi intelijen juga pernah terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat yang terkejut-kejut ketika secara tiba-tiba AU Jepang menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Israel yang sedang merayakan hari raya Yom Kippur juga diserang tiba-tiba oleh pasukan koalisi pimpinan Suriah dan Mesir pada 6 Oktober 1973 atau yang paling aktual adalah serangan teroris terhadap WTC oleh Osama bin Laden pada 11 September 2001. Sebenarnya sangat banyak faktor yang bisa mempengaruhi suatu kegagalan intelijen. Ibarat pepatah mengatakan, orang yang pesimis akan memandang sebuah gelas terisi air setengahnya dengan mengatakan “setengah kosong”, sebaliknya orang yang optimis memandangnya dengan mengatakan “setengah penuh”.
* Dari sudut pandang kegagalan / keberhasilan intelijen, intelijen selalu dicaci jika mengalami kegagalan dan tidak pernah dipuji jika berhasil. Mengapa? Cara pandang orang terhadap kegagalan dan keberhasilan intelijen itu berbeda-beda. User intelijen pun belum tentu memiliki tolok ukur yang jelas, kapan intelijen dikatakan berhasil atau gagal. Sebagai ilustrasi, apabila negara selalu dalam keadaan aman, damai dan sentosa, apakah pernah itu dikatakan sebagai suatu keberhasilan intelijen? Tidak pernah. Tapi apakah intelijen tidak berperan dalam menciptakan kondisi aman tersebut?
* Dari sudut pandang roda perputaran intelijen, aparat intelijen bertugas untuk merencanakan pengumpulan informasi, melaksanakan pengumpulan informasi dan mengolahnya sehingga bisa disajikan sebagai informasi yang valid dan aktual bagi sang pengguna/user. Persoalan muncul ketika, user tidak bisa mengimplementasikan dengan baik semua temuan intelijen itu menjadi kebijakan yang cukup mengakomodir upaya dalam mengatasi permasalahan terkait temuan intelijen tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti miskomunikasi, intervensi kepentingan, pilihan prioritas kebijakan, dll. Semuanya tumpah ruah menjadi kompleksitas permasalahan. Dan apabila meledak dengan munculnya satu kasus yang besar, kembali intel akan dijadikan sebagai kambing hitam.
* Dari sudut pandang aparat intel itu sendiri, dikenal istilah intelijen dasar, intelijen aktual dan intelijen ramalan. Informasi dalam lingkup besar merupakan sempalan dari informasi-informasi yang berlingkup kecil. Informasi tersebut didapat pada waktu yang telah lalu maupun pada saat sekarang. Semuanya harus bisa dirangkum menjadi suatu analisa untuk memprediksikan kejadian di masa mendatang. “Estimating is what you do when you do not know but it is inherent in many situations that after reading the estimate we still not know...and we always have to do that”3. Hal ini bisa disebabkan karena kekurangan akses data/informasi, kalaupun akses data dari informan ada tapi selalu berpacu dengan waktu untuk mendapatkan informasi yang aktual. Terlambat sedikit maka basilah informasi tersebut. Ini menjadi tantangan besar bagi aparat intelijen di lapangan dalam mengolah analisa informasi yang diinginkan user. Tetapi pada dasarnya intelijen ramalan bukanlah laporan yang mengada-ada saja.
* Dari sudut pandang pendanaan, memang cukup berpengaruh, akan tetapi intelijen itu ibarat kepemimpinan, “an art and science”, bahkan mungkin lebih banyak seninya. Tanpa bermaksud mengenyampingkan masalah pendanaan, banyak masalah yang sebenarnya bisa diatasi dengan kreasi dan inovasi di lapangan. Tidak semua agen/informan di lapangan bermotifkan materi dan tidak selalu keberhasilan operasi intelijen diukur dengan besarnya pendanaan.
Di Indonesia kita mengenal adanya beberapa badan intelijen. Seperti BIN sebagai badan intelijen nasional yang berkedudukan secara langsung di bawah presiden dan memiliki wewenang untuk mengkoordinasikan kegiatan komunitas intelijen. Baintelkam Polri yang bertugas menyelenggarkan fungsi intelijen bidang keamanan dan berkompeten secara langsung dalam penumpasan terorisme. BAIS TNI yang merupakan badan intelijen militer di bawah Mabes TNI yang bertugas menyediakan analisis-analisis strategis aktual di bidang pertahanan. Depdagripun memiliki unsur-unsur intelijen yang bernaung di bawah Rakominda yang bertugas mengumpulkan informasi tentang seluk-beluk permasalahan di masyarakat maupun organisasi lainnya di bawah Dirjen Kesbangpol. Selain itu, terdapat juga instansi yang tidak menggunakan label sebagai badan intelijen tetapi juga berperan dalam fungsi intelijen seperti imigrasi, bea cukai dan kejaksaan. Keragaman instansi tersebut tentunya sudah disertai spesifikasi fungsi sesuai dengan kompetensinya4. Menimbang bahwa terorisme merupakan suatu kejahatan yang bersifat transnasional dan multidimensional, diferensiasi badan intelijen seharusnya dapat menjadi faktor pendukung dalam penanganan masalah terorisme. Namun pada kenyatannya lebih sering muncul ego sektoral masing-masing daripada koordinasi yang baik antar institusi.
Pasca bom Marriott dan Ritz Carlton, banyak opini yang mewacanakan peningkatan dana dan kewenangan instansi dan institusi intelijen. Tapi di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya akan berdampak negatif terhadap kebebasan demokrasi dan perlindungan HAM. Kembali kita dihadapkan kepada suatu pilihan, dan sebenarnya semuanya tidak akan bermasalah jika masing-masing pihak dapat mengaturnya dengan baik. Karena pada hakekatnya menghadapi terorisme tidak bisa dilakukan sendirian, jadi marilah kita melakukannya bersama-sama.
---
Referensi:
1 JO Sembiring: "Terorisme, Sebuah Pemahaman bagi Masyarakat".
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Intelijen.
3 Sherman Kent: "Estimate and Influence", 1969.
4 Kusnanto Anggoro: "Operasi dan Koordinasi Instansi Intelijen”, 2008.
Oleh: Mayor (Inf) Agus Bhakti,
Beberapa waktu lalu kita begitu dikejutkan dengan terjadinya kembali ledakan bom pada tanggal 17 Juli 2009 secara hampir bersamaan di Hotel Marriott dan Ritz Carlton. Kejadian ini begitu mengejutkan karena selain telah menewaskan 9 orang dan melukai 52 orang lainnya, tercatat bahwa terjadinya teror bom terakhir adalah + 4 tahun yang lalu pada tanggal 31 Desember 2005 di Palu yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang. Kurun waktu yang cukup lama mengingat 4 tahun dalam kondisi yang relatif aman dibandingkan kurun waktu tahun 2000 s/d 2005 yang marak dengan teror bom. Reaksipun bermunculan, dari mulai yang bersimpati kepada korban, kebencian yang mendalam terhadap teroris, solidaritas nasional untuk memerangi terorisme sampai dengan "pengkambinghitaman" individu maupun institusi.
"Diplomacy is the first line of the defense but intelligence...is the first and the last line of the defense". Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan fungsi intelijen. Dikaitkan dengan potensi ancaman yang semakin multidimensional, sangatlah riskan bagi suatu negara apabila terjadi kegagalan fungsi intelijen. James Douglas Clayton, ahli komputer yang menciptakan software nirkabel Spartacus yang diperankan oleh Collin Farrel dalam film “Recruit” tahun 2004 menyampaikan asumsinya tentang CIA ketika ditemui oleh ahli perekrutan CIA Walter Burke (Al Pacino) : “CIA adalah hanya sekelompok pria kulit putih gemuk yang tertidur saat kita memerlukan mereka.” Yang dijawab oleh Walter Burke : “Apa yang sama sekali kamu tahu, sebenarnya kamu tidak mengetahuinya. Apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang sesuai dengan kenyataannya.” Dialog yang cukup representatif untuk memberikan gambaran mengenai tugas-tugas aparat intelijen. Sangat sering kita dengar tentang opini yang negatif terhadap kinerja aparat intelijen seperti ungkapan intelijen lemah, intelijen tumpul, intelijen kecolongan bahkan intelijen dianggap biang jika terjadi tindak terorisme1. Hal yang lumrah dan sesuai dengan motto intelijen “berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari dan matipun tidak diakui”, walaupun motto ini tidak berlaku untuk pembenaran atas gagalnya fungsi intelijen.
Intelijen adalah informasi yang dihargai atas ketepatan waktu dan relevansinya, bukan detil dan keakuratannya, berbeda dengan "data", yang berupa informasi yang akurat, atau "fakta" yang merupakan informasi yang telah diverifikasi2. Kegagalan fungsi intelijen juga pernah terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat yang terkejut-kejut ketika secara tiba-tiba AU Jepang menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Israel yang sedang merayakan hari raya Yom Kippur juga diserang tiba-tiba oleh pasukan koalisi pimpinan Suriah dan Mesir pada 6 Oktober 1973 atau yang paling aktual adalah serangan teroris terhadap WTC oleh Osama bin Laden pada 11 September 2001. Sebenarnya sangat banyak faktor yang bisa mempengaruhi suatu kegagalan intelijen. Ibarat pepatah mengatakan, orang yang pesimis akan memandang sebuah gelas terisi air setengahnya dengan mengatakan “setengah kosong”, sebaliknya orang yang optimis memandangnya dengan mengatakan “setengah penuh”.
* Dari sudut pandang kegagalan / keberhasilan intelijen, intelijen selalu dicaci jika mengalami kegagalan dan tidak pernah dipuji jika berhasil. Mengapa? Cara pandang orang terhadap kegagalan dan keberhasilan intelijen itu berbeda-beda. User intelijen pun belum tentu memiliki tolok ukur yang jelas, kapan intelijen dikatakan berhasil atau gagal. Sebagai ilustrasi, apabila negara selalu dalam keadaan aman, damai dan sentosa, apakah pernah itu dikatakan sebagai suatu keberhasilan intelijen? Tidak pernah. Tapi apakah intelijen tidak berperan dalam menciptakan kondisi aman tersebut?
* Dari sudut pandang roda perputaran intelijen, aparat intelijen bertugas untuk merencanakan pengumpulan informasi, melaksanakan pengumpulan informasi dan mengolahnya sehingga bisa disajikan sebagai informasi yang valid dan aktual bagi sang pengguna/user. Persoalan muncul ketika, user tidak bisa mengimplementasikan dengan baik semua temuan intelijen itu menjadi kebijakan yang cukup mengakomodir upaya dalam mengatasi permasalahan terkait temuan intelijen tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti miskomunikasi, intervensi kepentingan, pilihan prioritas kebijakan, dll. Semuanya tumpah ruah menjadi kompleksitas permasalahan. Dan apabila meledak dengan munculnya satu kasus yang besar, kembali intel akan dijadikan sebagai kambing hitam.
* Dari sudut pandang aparat intel itu sendiri, dikenal istilah intelijen dasar, intelijen aktual dan intelijen ramalan. Informasi dalam lingkup besar merupakan sempalan dari informasi-informasi yang berlingkup kecil. Informasi tersebut didapat pada waktu yang telah lalu maupun pada saat sekarang. Semuanya harus bisa dirangkum menjadi suatu analisa untuk memprediksikan kejadian di masa mendatang. “Estimating is what you do when you do not know but it is inherent in many situations that after reading the estimate we still not know...and we always have to do that”3. Hal ini bisa disebabkan karena kekurangan akses data/informasi, kalaupun akses data dari informan ada tapi selalu berpacu dengan waktu untuk mendapatkan informasi yang aktual. Terlambat sedikit maka basilah informasi tersebut. Ini menjadi tantangan besar bagi aparat intelijen di lapangan dalam mengolah analisa informasi yang diinginkan user. Tetapi pada dasarnya intelijen ramalan bukanlah laporan yang mengada-ada saja.
* Dari sudut pandang pendanaan, memang cukup berpengaruh, akan tetapi intelijen itu ibarat kepemimpinan, “an art and science”, bahkan mungkin lebih banyak seninya. Tanpa bermaksud mengenyampingkan masalah pendanaan, banyak masalah yang sebenarnya bisa diatasi dengan kreasi dan inovasi di lapangan. Tidak semua agen/informan di lapangan bermotifkan materi dan tidak selalu keberhasilan operasi intelijen diukur dengan besarnya pendanaan.
Di Indonesia kita mengenal adanya beberapa badan intelijen. Seperti BIN sebagai badan intelijen nasional yang berkedudukan secara langsung di bawah presiden dan memiliki wewenang untuk mengkoordinasikan kegiatan komunitas intelijen. Baintelkam Polri yang bertugas menyelenggarkan fungsi intelijen bidang keamanan dan berkompeten secara langsung dalam penumpasan terorisme. BAIS TNI yang merupakan badan intelijen militer di bawah Mabes TNI yang bertugas menyediakan analisis-analisis strategis aktual di bidang pertahanan. Depdagripun memiliki unsur-unsur intelijen yang bernaung di bawah Rakominda yang bertugas mengumpulkan informasi tentang seluk-beluk permasalahan di masyarakat maupun organisasi lainnya di bawah Dirjen Kesbangpol. Selain itu, terdapat juga instansi yang tidak menggunakan label sebagai badan intelijen tetapi juga berperan dalam fungsi intelijen seperti imigrasi, bea cukai dan kejaksaan. Keragaman instansi tersebut tentunya sudah disertai spesifikasi fungsi sesuai dengan kompetensinya4. Menimbang bahwa terorisme merupakan suatu kejahatan yang bersifat transnasional dan multidimensional, diferensiasi badan intelijen seharusnya dapat menjadi faktor pendukung dalam penanganan masalah terorisme. Namun pada kenyatannya lebih sering muncul ego sektoral masing-masing daripada koordinasi yang baik antar institusi.
Pasca bom Marriott dan Ritz Carlton, banyak opini yang mewacanakan peningkatan dana dan kewenangan instansi dan institusi intelijen. Tapi di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya akan berdampak negatif terhadap kebebasan demokrasi dan perlindungan HAM. Kembali kita dihadapkan kepada suatu pilihan, dan sebenarnya semuanya tidak akan bermasalah jika masing-masing pihak dapat mengaturnya dengan baik. Karena pada hakekatnya menghadapi terorisme tidak bisa dilakukan sendirian, jadi marilah kita melakukannya bersama-sama.
---
Referensi:
1 JO Sembiring: "Terorisme, Sebuah Pemahaman bagi Masyarakat".
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Intelijen.
3 Sherman Kent: "Estimate and Influence", 1969.
4 Kusnanto Anggoro: "Operasi dan Koordinasi Instansi Intelijen”, 2008.
Langganan:
Postingan (Atom)