Rabu, Juli 28, 2010
Dengan mendekatnya operasi militer besar-besaran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) terhadap kelompok militan Taliban di Provinsi Kandahar, perbedaan pendapat antarpejabat militer dan politik AS terus mengemuka. Friksi itu semakin jelas menyusul pengunduran diri Panglima Militer di Afghanistan, Jenderal Stanley McChrystal yang disetujui oleh Presiden AS, Barack Obama.
Pernyataan McChrystal dalam wawancaranya dengan Majalah Rolling Stone mencerminkan adanya persilangan pendapat serius antarpejabat militer dan politik AS. Hasil wawancara itu juga membuat McChrystal harus mengundurkan diri dari jabatannya. Obama yang juga kebakaran jenggot karena pernyataan McChrystal itu, spontan menyetujui pengunduran diri Panglima Militer di Afghanistan itu. Masalah Afghanistan adalah di antara masalah yang diperselisihkan antarpejabat militer dan politik di AS.
Dalam wawancaranya dengan Rolling Stone, McChrystal ketika menjawab pertanyaan terkait kesangsian Wakil Presiden AS, Joe Biden, akan strategi perang Afghanistan, mengatakan, "Siapakah Biden itu? Apakah dia adalah wakil presiden AS?
Panglima Perang di Afghanistan juga menyinggung penentangan Duta Besar AS di Afghanistan, Karl W. Eikenberry, terhadap kebijakan penambahan pasukan dan logistik di negara ini, dan menuding diplomat Gedung Putih ini sebagai pengkhianat.
McChrystal dalam menjelaskan pengkhianatan Duta Besar AS di Afghanistan, mengatakan, pada tahun 2009, diplomat Gedung Putih ini mempertanyakan kebijakan penambahan pasukan di negara ini. Menurutnya, langkah Eikenberry sengaja ditempuh untuk menjaga namanya dalam sejarah. Dengan cara itu, Eikenberry ingin menjelaskan bahwa dirinya jauh hari, sudah mengingatkan akan kekalahan AS di Afghanistan. Ini adalah upaya lepas tangan dari segala kekeliruan kebijakan AS di Afghanistan.
Obama Bersandiwara
Pemublikasian hasil wawancara dengan McChrystal membuat para pejabat Washington, termasuk Obama, kebakaran jenggot. Karena pernyataan McChrystal yang dinilai menghina sejumlah pejabat Washington itu, Panglima Militer di Afghanistan ini dipanggil di Gedung Putih. Hari Rabu lalu. Dalam pemanggilan itu, McChrystal di Gedung Putih tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan terkait pernyataannya, kepada Barack Obama.
Bersamaan dengan pengunduran diri McChrystal, muncul sebuah analisa bahwa Panglima Militer di Afghanistan tidak akan mampu mempertahankan jabatannya meski sudah menjelaskan dengan argumentasi yang baik. Sebab, para pejabat militer AS mendesak McChrystal supaya dicopot dari jabatannya. Untuk itu, Obama sengaja menampilkan pemanggilan sandiwara kepada McChrystal sehingga pengunduran Panglima Militer di Afghanistan ini terkesan tidak sepihak dari Gedung Putih.
Beberapa menit setelah pemanggilan McChrystal di Gedung Putih, Obama dalam penjelasannya di hadapan para wartawan menunjukkan adanya perbedaan pendapat antarpejabat militer dan politik di Washington tanpa memperhatikan hasil perang Afghanistan, bahkan hal ini menjadi alat untuk menentukan strategi perang dan memetik kemenangan di negara ini.
Lebih lanjut Obama menjelaskan bahwa langkah McChrystal dapat membahayakan Amerika dan melemahkan kontrol non-militer di negara yang bersistem demokrasi. Sejumlah pengamat menilai pengunduran diri McChrystal sebagai pesan bagi para pejabat militer dan politik. Pesan itu ingin menyampaikan bahwa hanya para pejabat politik yang dapat menentukan strategi perang di Afghanistan, sedangkan para pejabat militer hanya menjadi pelaksana kebijakan Washington.
Evaluasi Washington Tidak Valid
Dalam kondisi seperti ini, laporan inspektur khusus untuk urusan konstruksi di Afghanistan, Arnold Fields, menjelaskan kekeliruan metode evaluasi Gedung Putih dalam mengukur kemampuan pasukan lokal Afghanistan. Ini juga menunjukkan bahwa janji Washington untuk meningkatkan kemampuan militer dan polisi Afghanistan tidak terealisasi.
Berdasarkan laporan Fields, metode evaluasi yang dijadikan tolok ukur utama Gedung Putih dalam lima tahun terakhir ini adalah cacat, dan bahkan tidak valid. Berdasarkan laporan tersebut, para pejabat AS mengkhawatirkan penempatan pasukan lokal Afghanistan di front terdepan untuk menghadapi kelompok militan Afghanistan.
Dari sisi lain, para pejabat AS tidak hanya terlilit oleh perselisihan pendapat soal perang di Afghanistan, termasuk masalah mendahulukan strategi serangan udara atau darat, tapi juga terjebak pada perselisihan pendapat dengan pemerintah Afghanistan dalam memerangi kelompok radikal di negara ini. Perselisihan ini menyebabkan perang terhadap kelompok radikal tidak efektif.
Para pejabat Afghanistan bersandarkan pada hasil operasi bersama di Helmand yang digelar beberapa bulan lalu, juga mengkhawatirkan dampak yang sama dalam operasi bersama di Kandahar. Mengingat bahwa pasukan asing tidak dapat menundukkan kelompok militan dalam operasi militer di kota kecil seperti Marjah dan Nade Ali di Provinsi Helmand, maka pemerintah Afghanistan menyimpulkan bahwa operasi berskala luas di Provinsi Kandahar akan berdampak lebih buruk dibandingkan dengan operasi militer di dua kota yang sekupnya lebih kecil.
Menurut prediksi para pejabat pemerintah Afghanistan, operasi militer dalam skala luas di Kandahar, selain hanya menghasilkan upaya minimal dalam menangkap kelompok militan Taliban, juga akan menelantarkan ratusan keluarga Afghanistan dan menelan banyak korban bagi warga negara ini. Inilah dampak-dampak negatif jika pasukan AS tetap melancarkan serangan terhadap kawasan Kandahar setelah gagal di Helmand.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????