>
Intervensi sejumlah lembaga asing terutama Amerika Serikat atas berbagai kebijakan Indonesia ternyata bukan isapan jempol belaka.
Baru-baru ini, anggota DPR dari FPDI-P, Eva Kusuma Sundari membongkar keterlibatan tiga lembaga yang berbasis di Amerika Serikat dalam mengintervensi kebijakan pemerintah Republik Indonesia.
Lembaga AS disinyalir oleh Badan Intelijen Nasional (BIN) tercatat paling banyak menjadi konsultan pemerintah Indonesia dalam merancang 72 undang-undang (UU) Rancangan Undang undang telah telah jelas jelas disusupi kepentingan asing. Ketiga lembaga tersebut adalah World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID).
Eva mengatakan, “Ketiganya terlibat sebagai konsultan, karena memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Makanya, mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang tersebut,”
Menurut dia, Bank Dunia antara lain terlibat sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat.
Keterlibatan Bank Dunia tersebut, membuat pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional (No 20 Tahun 2003), UU Kesehatan (No 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan No 20 Tahun 2002, dan UU Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004).
Konsultasi Bank Dunia yang menyusup ke UU Pendidikan melahirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang dibiayai utang luar negeri, begitu juga dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
“Tapi pemerintah punya utang cukup besar ke Bank Dunia melalui anak usahanya IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) dan IDA (International Development Association) untuk membiayai program BOS dan PNPM Mandiri,” ujar Eva.
Dari data yang dihimpun Suara Pembaharuan, pinjaman IBRD untuk Indonesia berjangka waktu 20 tahun dengan masa tenggang 5 tahun. Pada 2007, Bank Dunia menginvestasikan US$ 1,16 miliar di Indonesia untuk 28 proyek di bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan pembangunan berbasis masyarakat lainnya, di mana US$ 771 juta dolar merupakan pinjaman IBRD dan US$ 389 juta dolar pinjaman IDA. Untuk 2008-2010, pinjaman dari IBRA untuk membiayai program BOS sekitar US$ 600 juta.
Sementara itu, di UU Sumber Daya Air, bentuk penyusupan kepentingan asing dalam bentuk pemberian izin kepada pihak asing untuk menjadi operator atau pengelola, sehingga mematikan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di UU Kelistrikan, Bank Dunia mengarahkan pengelolaan listrik oleh pihak swasta atau dikelola oleh masing-masing daerah.
Eva mengungkapkan, IMF menyusupkan kepentingan melalui UU BUMN (No 19 Tahun 2003) dan UU Penanaman Modal Asing (No 25 Tahun 2007). “Dengan menerima bantuan IMF, pemerintah harus mengikuti ketentuan seperti privatisasi BUMN dan membuka kesempatan penanaman modal asing di usaha strategis yang seharusnya dikuasai negara,” kata Eva.
Sedangkan, keterlibatan USAID antara lain, pada UU Migas (No 22 Tahun 2001), UU Pemilu (No 10 Tahun 2008), dan UU Perbankan yang kini tengah digodok pemerintah untuk direvisi. Selama masa reformasi, USAID antara lain menjadi konsultan dan membantu pemerintah dalam bidang pendidikan pemilih serta penyelenggaraan dan pengawasan pemilihan umum. Di sektor keuangan, membantu usaha restrukturisasi perbankan, pengembangan perangkat ekonomi makro yang baru, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan ekonomi.
Eva menilai, dengan keterlibatan USAID dengan membantu pelaksanaan pemilu dan pengembangan demokrasi, telah menyusupkan paham liberalisme dalam mekanisme pemilihan secara langsung, yang terkesan demokratis tapi ternyata rawan politik uang.
Dia menegaskan, menyusupnya kepentingan asing pada sejumlah UU telah merusak tatanan politik, ekonomi dan sosial-budaya. Meski berbeda lembaga, tapi syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF, dan USAID secara substansi sama. Eva menuturkan, “Syaratnya, membuka pasar bebas, tidak boleh ada proteksi, pemain lokal dirugikan, free competitions dan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil.” (suara pembaharuan/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????