Minggu, Juni 19, 2011

Ustadz Abu. Pribadi yang Tegar ,Sederhana dan Lurus

15 Tahun vonis Pengadilan Negeri bagi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, media nasional kian marak membicarakan pribadi beliau. Namun ditengah pemberitaan itu, sosok Ustadz Abu digambarkan sangat menyeramkan. Situasi itu semakin parah dengan nuansa penuh pengawasan tiap kali Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mendatangi persidangan.

Sebutan teroris pun kian akrab kita dengar selama proses persidangan. Padahal ditengah itu semua, sosok Ustadz Abu adalah pribadi yang tegar, sederhana, lurus, bahkan sangat lemah lembut.

Sedari kecil Ustadz Abu sudah hidup mandiri. Keterbatasan kedua orang tuanya dalam segi ekonomi dan fisik, tidak menghalanginya untuk tetap tegar di jalan Allah dan memacu diri menuntut ilmu sebagai insan bertauhid. Ya meski harus bersepeda sejauh 26 KM.

Lahir di Desa Pekunden, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang Jawa Timur, sebuah desa di pingiran Kabupaten Jombang-Jawa Timur. Kelahirannya di Jombang disambut sayup-sayup senandung takbir yang terdengar di sudut-sudut desa yang didengungkan anak-anak melalui surau-surau tua di sekitar rumahnya.

Senandung takbir perayaan peringatan keteladanan pengorbanan Bapak Tauhid, Ibrahim ‘alaihissalam yang hendak menyembelih putranya. Ia terlahir pada tanggal 12 Dzulhijjah 1359, dua hari setelah Hari Raya Idul Adha.

Gemuruh takbir yang menggetarkan hati beriringan dengan gemuruh bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya untuk keluar dari penjajahan tentara kafir Belanda dalam suasana serba kekurangan dan keprihatinan.

Tanggal kelahirannya bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1938. Raut muka syukur dan linangan air mata syukur kedua orang tuanya mengiringi kelahiran sosok Abu Bakar Ba’asyir yang diharapkan meneladani pengorbanan Ibrahim dan semangat patriotisme seorang pejuang dalam mempertahankan prinsip kebenaran dan keislaman. Ia terlahir bersama tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan.

Orang tua Abu Bakar Ba’asyir bukanlah seorang yang kaya raya umumnya kebanyakan warga masyarakat keturunan Arab lainnya. Namun, kecintaan terhadap Islam dan ketundukan orang tuanya pada Allah-lah yang menjadikan Abu bakar kecil ini mampu bertahan. Darah keturunan Hadramaut Yaman mengalir deras dalam dirinya. Ayahnya bernama Abud bin Ahmad dari keluarga Bamu’alim Ba’asyir yang membuat Abu Bakar menyandang marga Ba’asyir di belakang nama aslinya.

Kenangan indah bersama sang ayah tak banyak ia rasakan dan ia nikmati. Saat usia 7 tahun, ayahnya harus meninggalkan tawa riang Abu Bakar kecil menuju keharibaan Ilahi. Ayahnya meninggal dunia. Ia menjadi yatim di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang masih kacau meskipun telah memperoleh kemerdekaannya.

Di tengah carut marutnya kehidupan bangsa Indonesia, ibunya yang masih buta huruf latin aksara Indonesia mengasuh sendiri Abu Bakar kecil. Ibunya bernama Halimah yang lahir di Indonesia walaupun masih juga berketurunan Yaman dari keluarga Bazargan.

Demi melanjutkan amanat agama dan suaminya, sang Bunda terus menanamkan nilai-nilai keislaman demi kebahagiaan sang putra kelak. Ibundanya yang pandai membaca al-Quran dan seorang muslimah taat beragama selalu mendampingi pendidikan agama sang anak di rumah meskipun Abu Bakar kecil juga tak pernah absen menghadiri pendidikan agama di mushalla kampung tempat tinggalnya.

Tak ingin membiarkan anaknya tertinggal dalam kebodohan, orang tuanya memasukkan Abu Bakar kecil untuk menempuh pendidikan pertamanya di sebuah Madrasah Ibtida’iyah (Sekolah Islam setingkat SD). Namun, dikarenakan situasi konflik revolusi bangsa Indonesia melawan Belanda pada saat itu, sekolahnya harus tertunda dan mengalami jeda. Baru kemudian setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia dipindahkan ke Sekolah Rakyat (Sekolah umum sederajat SD saat ini).

Selama menjadi siswa di madrasah, Abu Bakar kecil sempat ikut kegiatan gerakan Kepanduan Islam Indonesia (pada masa orde lama yang kemudian difusikan dalam Gerakan Pramuka). Untuk menutup kekurangan sang anak dalam ilmu agama, setiap malamnya, Abu Bakar kecil belajar mengaji dan ilmu agama di mushalla desa tempat tinggalnya. Selain kegiatannya di mushalla, sang bunda masih terus mendampingi langsung pendidikan Abu Bakar kecil di rumah.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR), pendidikannya berlanjut ke jenjang sekolah menengah. Ia bersekolah di sebuah SMP Negeri di kota Jombang yang berjarak 13 Km dari rumah tempat tinggalnya. Setiap hari, perjalanan sejauh minimal 26 Km ia tempuh dengan sepeda.

Semasa SMP ini, Abu Bakar aktif mengikuti kegiatan berorganisasi dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) ranting Mojoagung disamping masih menjadi anggota Gerakan Pramuka.

Menginjak masa remaja setelah merampungkan sekolah di SMP, ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA. Saat itu, ia masuk SMA Negeri Surabaya. Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan merata di seluruh lapisan masyarakat membuat pendidikannya di SMA hanya mampu bertahan selama 1 tahun. Kegiatan berorganisasinya pun juga terpaksa harus terhenti. Selanjutnya, ia memutuskan hijrah ke Solo untuk membantu kakaknya yang sedang mengembangkan sebuah perusahaan sarung tenun di Kota Solo.

Hingga pada tahun 1959 M, atas dorongan dan bantuan kedua kakaknya, Salim Ba’asyir dan Ahmad Ba’asyir, ia mendaftar sebagai santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, sebuah Pondok Pesantren yang terbilang terbaik dan termaju di Indonesia.

Atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia berhasil menjadi santri di pondok pesantren tersebut. Di sini, keaktifan berorganisasinya kembali tersalurkan dalam wadah Pelajar Islam Indonesia (PII) cabang Gontor. Impiannya melanjutkan pendidikan yang sempat terhenti membuatnya serasa melihat pelita di tengah buta kegelapan malam.

Empat tahun menjadi santri pondok pesantren Darussalam Gontor, dengan rahmat Allah, ia berhasil lulus dari kelas Mualimin pada tahun 1963 M. Semangatnya untuk menempuh pendidikan masih membara di benaknya sehingga (masih atas bantuan kakaknya), ia melanjutkan studinya di Universitas Al Irsyad jurusan Dakwah di kota Solo selama kurang lebih 3 tahun.

Selama menjadi mahasiswa, ia aktif dalam beberapa organisasi pemuda. Ia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Solo. Di HMI, dia pernah mendapatkan amanah sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) -sebuah lembaga semi otonom HMI- cabang Solo di masa Ir. Imaduddin sebagai Ketua Umumnya.

Di organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Abu Bakar Ba’syir pernah mendapatkan amanat dakwah sebagai Ketua pada tahun 1961. Selain itu, di dalam organisasi Pemuda Al Irsyad, ia menjadi sekretaris cabang Solo.

Menginjak usia dewasa, panggilan hati untuk menikah mengarahkannya untuk menyunting seorang muslimah bernama Aisyah binti Abdurrahman Baraja’. Sejak saat itu, keberadaan sang istri selalu menyertai perjuangan dakwahnya. Kesetiaan sang istri tak hanya dibuktikan dengan kata mutiara dan hiasan pujian semata. Namun, keberadaan sang istri, Aisyah Baraja’, dalam perjuangan dakwah terwujud dalam tindakan nyata dan fakta.

Dari rahim istrinya, keduanya memiliki tiga orang anak yang saat ini telah menikah dan masih hidup semuanya. Tiga anaknya terdiri atas 1 orang putri dan 2 orang putra. Mereka adalah Zulfah, Rosyid Ridho dan Abdul Rohim. Perjalanan dakwahnya kemudian berlanjut dengan mendirikan radio dakwah yang di namai radio ABC (Al-Irsyad Broadcasting Center) di gedung Al Irsyad Solo yang hingga kini masih berdiri. Ikut aktif bersama beliau adalah Ustadz Abdullah Sungkar rahimahullah, Ustadz Abdullah Thufail rahimahullah, dan Ustadz Hasan Basri rahimahullah.

Karena terjadi perselisihan faham dengan beberapa pengurus Al-Irsyad terkait acara radio tersebut, maka beliau keluar bersama beberapa pengurus radio ABC dan mendirikan Radio Dakwah Islamiah Surakarta (Radis) yang padat dengan muatan dakwah yang tegas dan menghindari lagu-lagu maksiat. Radis didirikan di komplek masjid Al Mukmin lama yang akhirnya ditutup oleh rezim Orba karena dianggap menentang pemerintah.

Tak cukup hanya dakwah lewat frekuensi udara, beliau mendirikan madrasah diniyah (semacam lembaga non formal yang mengajarkan pendidikan agama Islam yang biasanya diselenggarakan pada sore hari) di komplek masjid Al Mukmin Gading Wetan (saat ini menjadi SMU Islam 1 Surakarta, bukan SMU Al-Islam 1 Surakarta). Pada mulanya, madrasah yang hanya masuk sore hari ini memberikan pendidikan Bahasa Arab dan materi syariat Islam. Selanjutnya, melalui madrasah diniyah inilah, cikal bakal Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki kemudian berdiri hingga sekarang.

Melihat pekembangan madrasah yang pesat dan di dorong oleh amanah yang diamanatkan oleh KH. Zarkasyi (Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Gontor), Abu Bakar Ba’asyir berinisiatif mengembangkan madrasah diniyah menjadi pondok pesantren yang saat itu bertempat di Gading Kidul-Surakarta menempati area yang sempit.

Barulah setelah 2 tahun kemudian, Pondok Pesantren Al Mukmin dipindahkan ke tanah yang lebih luas di desa Ngruki yang dibeli dari salah seorang tokoh agama di solo. Desa Ngruki sendiri saat itu masih ”dikuasai” oleh kalangan komunis yang masih cukup kental.

Bersama almarhum Ustadz Abdullah Sungkar, almarhum Ustadz Hasan Basri, almarhum Abdullah Baraja’ , almarhum Ustadz Yoyok Raswadi, dan ustadz Abdul Qahar Haji Daeng Matase. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir terus membangun dan mengembangkan pendidikan di pesantern Al-mukmin. Pendukung utama berdirinya pondok pesantren tersebut adalah anggota pengajian-pengajian yang diasuh oleh tokoh-tokoh pendiri, terutama anggota pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Alhamdulillah, hingga sampai saat ini kegiatan pengajian tersebut masih berjalan.

Sejak awal, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan teman-temannya mempunyai karakter yang tak enggan menyampaikan kebenaran dimanapun dan apapun keadaan yang harus di hadapinya walaupun harus berhadapan dengan penguasa. Hal inilah yang kemudian membuat pemerintah menjadi gerah.

Karena materi yang disampaikan dianggap menentang rezim saat itu, akhirnya Ustadz Abdullah Sungkar, Ustadz Hasan Basri, dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sendiri dipenjara selama 4 tahun tanpa alasan yang jelas hingga akhirnya Ustadz Abdullah Sungkar dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kembali divonis hukuman 9 tahun penjara.

Tidak terima dengan keputusan hakim, maka beliau berdua mengajukan banding, hingga diturunkan menjadi 4 tahun sesuai dengan masa tahanan yang sudah dijalani. Tak puas dengan hasilnya, jaksa agung mengajukan kasasi ke MA.

Dua orang ustadz ini seringkali disebut oleh sebagian kalangan sebagai dwi tunggal. Jika orang nasionalis punya Soekarno-Hatta, maka orang-orang pergerakan Islam memiliki Abdullah Sungkar-Abu Bakar Ba’asyir. Setelah bebas, sembari menunggu hasil kasasi, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bersama Ustadz Abdullah Sungkar rahimahullah, tetap melanjutkan aktivitas pendidikan dan dakwah mereka sepertimana semula.

Hal ini menjadikan rezim Orba menekan MA untuk menaikkan masa hukuman menjadi 9 tahun agar menjadi alasan bagi penangkapan mereka kembali. Ketika panggilan dari pengadilan Sukoharjo untuk mendengarkan keputusan pengadilan datang, sang dwitunggal memahami benar maksud dan tujuan licik pemerintah.

Maka setelah berkonsultasi dengan beberapa ulama, mereka berdua memutuskan untuk tidak menghadiri undangan pengadilan tersebut karena hal tersebut adalah dosa. Hingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berhijrah atau tetap di rumah hingga ditangkap oleh polisi. Bagi keduanya, hal demikian adalah lebih mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada datang menyerahkan diri kepada thaghut.

Nampaknya pilihan hijrah-lah yang dipilih, karena jalan ini adalah yang paling baik dari kedua pilihan itu. Berkat pertolongan Allah melalui Pak Muhammad Natsir, mantan Ketua Umum Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, mereka berdua berhasil berhijrah ke Malaysia dan menetap di sana. Kemudian, keberadaan mereka disusul oleh keluarga yang kemudian juga turut menetap di sana selama 15 tahun. Selama masa hijrah, beliau tetap bekerja dan berdakwah seperti semula.

Tahun 1998, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak meruntuhkan kekuasaan orde baru yang zalim. Kemudian, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memutuskan kembali ke Indonesia bersama Ustadz Abdullah Sungkar pada tahun 1999. Namun tak berselang lama, tepatnya pada tahun 2000 M, Ustadz Abdullah Sungkar wafat. Kemudian, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memutuskan kembali ke ponpes Al Mukmin Ngruki meneruskan pendidikan dan dakwah untuk menegakkan cita-cita demi tegaknya syariat Islam di Indonesia.

Dalam rangka mengembangkan dakwah, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengikuti kongres umat Islam yang digagas oleh beberpa aktivis dakwah di Yogyakarta, dimana pada kongres tersebut, umat Islam sepakat membuat sebuah wadah untuk kaum muslimin bersatu demi menegakkan kalimah Allah di bumi Indonesia, hingga terbentuklah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hasil kongres memutuskan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir diangkat menjadi Amir Ahlul Halli Wal Aqdi MMI atau juga di sebut sebagai Amir MMI.

Tahun 2003, beliau ditangkap lagi oleh pemerintahan Megawati karena dituduh terlibat kegiatan terorisme yang membuatnya divonis 1,5 tahun walaupun tanpa bukti. Anehnya vonis itu di jatuhkan bukan karena keterlibatan dengan terorisme seperti yang selama ini di tuduhkan kepadanya, alias mengalami kriminalisasi.


Arah tuduhan di persidangan berbelok dari urusan terorisme kepada tuduhan makar dan pemalsuan KTP, walau saksi-saksi di persidangan dari kalangan pejabat pemerintah daerah Sukoharjo sendiri menyatakan bahwa tidak ada kejanggalan apapun pada proses pembuatan KTP Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.

Tahun 2004, setelah keluar dari pintu penjara salemba, beliau langsung dicegat oleh polisi untuk dijebloskan kembali ke penjara. Lagi-lagi karena tuduhan yang sama. Dia dianggap terlibat kasus bom hotel Marriot. Padahal, saat kejadian Bom Mariott berlangsung, beliau sendiri sedang mendekam di penjara Salemba sejak 1.5 th sebelumnya. Hingga pada saat pemerintahan SBY, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tetap harus tinggal di penjara hingga 30 bulan karena tekanan pihak asing hingga bulan Juni 2006. Baru Kemudian beliau merasakan kebebasan.


Selanjutnya, aktivitas dakwahnya masih beliau lanjutkan dengan berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mensosialisasikan penegakan Syariat Islam di Indonesia. Tak hanya kalangan ulama yang ia datangi, tak kurang dari pemukiman penduduk, perumahan, perkantoran, majelis-majelis taklim, masjid, mushola, pejabat, dan birokrat serta penjara ia datangi bersama beberapa aktivis Islam baik dari Majelis Mujahidin Indonesia maupun yang elemen Islam lainnya.

Kesibukannya berdakwah selepas dari penjara hampir tidak menyisakan waktu di rumah untuk bercengkerama dengan keluarganya, anak-anak, serta cucunya selayaknya orang-orang tua yang telah menikmati masa pensiun.

(pz/risalahjihad/triirawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog