Kamis, September 27, 2012
Selat Sunda dalam Konflik Global
Sebagai chokepoints shipping in the world, tak bisa dipungkiri Malaka memang selat paling sibuk setelah Hormuz. Dan peningkatan pelayaran merupakan keniscayaan seiring gegap dinamika baik kebutuhan maupun kepentingan pribadi, kelompok dan juga bangsa-bangsa di dunia. Kepentingan akan cenderung arogansi dan sering menampakan aroma pemaksaan oleh sekelompok adidaya, sedangkan kebutuhan lebih moderat. Artinya ada take and give dalam menyatukan aneka kebutuhan. Itulah sekilas kelebihan kebutuhan daripada kepentingan yang seringkali tampil dengan sikapnya yang lalim lagi sewenang-wenang.
Selanjutnya dampak tingginya frekwensi pelayaran, diyakini akan mengendala bagi para pengguna jalur di Selat Malaka. Kini pun tengah bermunculan. Seperti traffic congestions misalnya, adalah kemacetan akibat semakin sempitnya jalur. Atau pendangkalan di beberapa bagian selat. Timbul pelambatan jelajah kapal sebab pelayaran yang super sibuk, dan berpotensi muncul masalah baru seperti kerawanan pembajakan, atau kejahatan laut lain. Selain itu terdapat pula biaya tambahan karena waktu tempuh lebih lama, sistem pengamanan ekstra bagi kapal-kapal yang melintas, dan masih ada dilema-dilema lain terkait hal-hal teknis, operasional bahkan aspek politis dalam lingkup perairan dan pelayaran internasional. Inilah sekilas the malacca dilemma yang kelak akan menemui titik puncaknya.
Tampaknya the malacca dilemma menyimpan konsekuensi tersendiri bagi Cina. Adalah Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan: "whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route." Ini rupanya! Bahkan Presiden Hu Jiantao menegaskan, "Malacca-Dilemma" merupakan persoalan kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melewati Selat Malaka, oleh karena itu keamanan jalur di "selat basah" ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao.
Sedangkan String of Pearls ialah strategi Cina dalam rangka keamanan suplai energi. Selain strategi ini mempunyai konsekuensi dibutuhkannya militer modern yang progresif, juga memerlukan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan. Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, Laut Arab dan Teluk Persia. Sehingga dalam peta, terlihat mirip untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls).
Implementasi String of Pearls ini memang tergantung fasilitas militer yang memadai di Pulau Hainan; landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel, jaraknya sekitar 300 mil dari laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air dalam di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lainnya. Dalam beberapa kasus, ia memberi subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi fasilitas dibuat sesuai standar Cina.
Jean Paul Rodrigue menyatakan, jalur transportasi minyak dan gas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka, juga melintas di Selat Sunda, Selat Lombok dan lainnya. Tak boleh dipungkiri, ketiganya merupakan selat vital bagi negara-negara Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Isyarat Rodrigue, jika terjadi hambatan pelayaran di Selat Malaka maka alternatif jalur paling singkat adalah Selat Sunda.
Bagi Cina, the dilemma malacca bukanlah sekedar persoalan teknis dan taktis semata. Isyarat Yuncheng dan Jiantao menyebutkan, bahwa yang paling mengkhawatirkan justru bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura. Tak dapat dipungkiri, semakin menegangnya hubungan politik antara Paman Sam dan Paman Mao, niscaya memiliki implikasi negatif atas hilir-mudik pelayaran Cina di Selat Malaka. Shock and awe pun telah ditebar, melalui janji mengirim kapal tempur pesisir (LCS) USS Freedom di Selat Singapura, ujar Laksamana Thomas Rowden (10/5/2012). USS Freedom ialah kapal perang jenis terbaru AS, memiliki kecepatan hingga lebih 40 knot serta handal untuk perang di lautan dekat pesisir, mampu menyapu ranjau laut dan menyerang kapal selam.
Ya, meskipun data-data ini masih sangat terbatas, setidaknya sudah bisa dijadikan mapping sementara tentang kondisi geopolitik Asia Pasifik menjelang friksi terbuka sebagaimana ramalan PNAC 2002, baik terkait implementasi String of Pearl atau dinamika kapal-kapal negara lainnya.
Perspektif catatan ini mencermati, apabila dilemma malacca mencapai titik kulminasi akibat perang terbuka, maka besar kemunginan jalur Selat Malaka akan "tersumbat". Sudah barang tentu, sesuai prakiraan Rodrigue jalur pelayaran akan beralih ke Selat Sunda karena dianggap rute alternatif tersingkat dari jalur-jalur lazimnya. Inilah keunggulan Indonesia secara geopolitik terutama bagi negara-negara yang terlibat konflik. Betapa dahsyat urgensi Selat Sunda dan alur-alur laut lain di mata dunia, karena banyak negara tergantung pada wilayah perairannya.
Sejatinya tinggal bagaimana faktor geografis dijadikan geopolitical leverage (daya ungkit) melalui pemberdayaan secara benar dan optimal berkenaan posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera. Menurut Dirgo D. Purbo (2012), geopolitik dalam wawasan nusantara merupakan jawaban untuk Kepentingan Nasional RI di abad XXI. Tak bisa tidak, Kepentingan Nasional RI harus menjadi rujukan utama dalam memberdayakan daya ungkit (geopolitik) yang melekat sebagai takdir geografis.
JSS: Berkah atau "Bencana Geopolitik"?
Ketika Indonesia memberi peluang Cina terlibat dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), tawaran itu mungkin dianggap "berkah" dari langit. Kenapa demikian, selain nilai proyeknya menakjubkan (sekitar Rp 100-an triliun) juga secara geopolitik, kelak Cina-lah yang "menguasai" Selat Sunda dengan alasan profit bisnis selaku investor. Belum masalah String of Pearl dan implementasinya. Artinya peluang itu bukan hanya mengurangi malacca dilemma atau menghindari sekalipun, tetapi bahayanya justru Cina akan menjadi pengendali baru di selat ini. Ia berani memastikan tidak akan ada kendala signifikan pada sistem pelayarannya meskipun ada "sumbatan" di Selat Malaka akibat friksi melawan AS dan sekutu.
Tawaran kepada Cina, selayaknya perlu direnungkan atau dikaji ulang oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Praduga penulis, tanpa sebuah negosiasi yang merujuk Kepentingan Nasional RI, justru berpotensi timbul "bencana geopolitik". Sudahkah para penggagas dan pengambil kebijakan JSS melek dan sadar geopolitik? Tolong jangan dilihat dari aspek sosial ekonomi saja, mutlak harus dicermati secara komprehensif atas prakiraan situasi kedepan. Beberapa opini mengkhawatirkan, bahwa JSS dapat mengikis identitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Tanpa perencanaan strategis dan pola nego canggih lagi handal, jangan-jangan rakyat di sekitar JSS cuma menjadi penonton belaka?
Telah banyak contoh di berbagai belahan dunia, ketika suatu wilayah menyimpan potensi gas, minyak dan aneka tambang lain dalam deposit relatif besar, kecenderungan warga yang hidup di atas dan sekitarnya justru berakhir Absentee of Lord, menjadi Tuan Tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Tanah Air hanya tinggal airnya, tanahnya dikapling-kapling oleh perusahaan entah dari mana. Mungkin "diciptakan" konflik komunal dengan aneka dalih, atau dibuat seolah-olah itu bencana, dan lainnya. Disini perlu wawasan dan perspektif geopolitik dalam rangka membangun JSS.
Merujuk awal catatan ini, hakiki geo (tanah, bumi, dsb) dimanapun, seharusnya tidak sekedar membawa orang, kelompok, bangsa dan negara pada gerbang kemerdekaan, tetapi yang pokok adalah membentuk warga bangsa yang hidup di atasnya menjadi terhormat, memiliki martabat dan hidup sejahtera di muka bumi. Demikian juga bagi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat di sekitar Selat Sunda pada khususnya. Ya, geopolitik memang takdir.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Tibalah di ujung catatan sederhana ini. Sesuai judul dan uraian-uraian tadi diperoleh pointers yang bisa dianggap sebagai simpulan sekaligus rekomendasi. Antara lain sebagai berikut:
Pertama: Memanasnya suhu politik antara Cina melawan AS dan sekutu, selain menggeser geopolitik global dari Heartland ke Asia, juga meniscayakan perubahan konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Apalagi jika kelak benar-banar meletus konflik terbuka di perairan;
Kedua: Inilah "perang skema" antara adidaya Barat dan Timur, dimana Paman Sam via Kekaisaran Militer ---meminjam istilah Connie--- asyik membangun pangkalan militer di berbagai belahan dunia, sedangkan Cina mengimbangi melalui String of Pearls di jalur-jalur utama serta alur alternatif perairan;
Ketiga: Kelak bila terjadi perang terbuka di perairan, bukannya akan langsung berhadapan antara Cina versus AS, tapi pagelaran cenderung menampilkan perang proxy (perpanjangan) antara Cina melawan kelompok negara common wealth di sekitarnya. Akan tetapi para negara satelit tersebut didukung sepenuhnya oleh armada laut AS;
Keempat: Dari mapping prakiraan situasi tadi, semakin terlihat urgensi Selat Sunda dari sisi geopolitik. Artinya ketika Selat Malaka telah menjadi "jalur tidak aman" bagi pelayaran internasional akibat perang, maka rute alternatif tersingkat baik dari dan ke Lautan Hindia serta Lautan Pasifik dipastikan akan melintas di Selat Sunda dan selat lainnya dalam koridor ALKI di Indonesia;
Kelima: Perlu dibidani produk-produk hukum terkait geopolitical leverage (pemanfaatan geopolitik), misalnya "penutupan sementara" selat-selat di Indonesia ketika dinamika pelayaran telah mengancam keamanan nasional dan Kepentingan Nasional RI. Hal ini mutlak segera dilangkahkan oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini sebagai respon terhadap situasi yang berkembang sekaligus penyikapan peralihan geopolitik global;
Keenam: Bila JSS memang merupakan program yang tidak boleh ditunda, maka rujukan pokok selain menekankan Kepentingan Nasioanal RI juga aspek geopolitik, baik dari sisi kedaulatan negara, kesejahteraan maupun kepentingan pendukung lain bersifat lintas fungsi dan departemen serta melibatkan berbagai tokoh dan masyarakat sekitar. Syukur-syukur ditunda hingga menunggu waktu yang tepat. Tapi paling minimal adalah tinjau ulang atas proposal JSS agar tidak semata-mata mengkedepankan aspek sosial ekonomi belaka;
Ketujuh: Salah satu prioritas pembangunan RI kedepan mutlak harus menguatkan sistem pengawasan dan pengamanan selat-selat Indonesia (ALKI) yang ditopang oleh lembaga dan departemen terkait dengan TNI-Polri sebagai ujung tombak;
Kedelapan: Kelak dengan sistem pengamanan dan pengawasan perairan yang canggih lagi handal, niscaya akan meningkatkan "daya tawar" Pemerintah Indonesia di forum global manapun, dan lebih jauh lagi adalah mengubah skema geopolitical leverage menjadi geopolitical weapon, atau senjata geopolitik bagi Republik Indonesia tercinta ini.
Penulis : M Arief Pranoto
Selasa, September 18, 2012
Analisa Potensi Ancaman Kedaulatan NKRI dari Aset Alat Tempur TNI
Dengan Aset militer Indonesia yang terbukti paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Dan semakin pudarnya dominasi Rudal buatan Uni Sovyet di Indonesia tentu ada perhitungan sendiri
ketika itu di bawah panji kestabilan ekonomi dan membina hubungan yang baik di kawasan, pada era Soeharto pengembangan rudal mulai berjalan, walau sangat lamban, bahkan secara de facto etalase rudal Indonesia sudah tertinggal dari Singapura dan Malaysia.Tapi harus diakui, tak serta merta sistem rudal Indonesia tertinggal secara keseluruhan, di lini rudal anti kapal, terlihat pemerintah sangat serius untuk memperkuat beragam rudal anti kapal, sebagai bukti adalah Yakhont, yang kini menjadi lambang supremasi alutsista Indonesia.Khusus pada era Orde Baru , Pemerintah nampak kurang mempersiapkan militer seumpama menghadapi konflik terbuka antar negara tetangga, berkat sosok Soeharto yang sangat disegani sebagai pemimpin pemerintahan paling senior di ASEAN, beragam alutsista di per-modern, tapi sayangnya dengan kuantitas yang serba minim. Tapi fakta kini berbicara lain, musim telah berganti, era baru pun harus disikapi secara tepat tanpa harus berlebihan. Dengan segala intrik dan konflik di seputar perbatasan, potensi munculnya perang antara negara bertetangga bisa saja meletus di masa mendatang.
Tanpa bermaksud mengharap datangnya peperangan, tapi diyakini, seandainya terjadi duel antara militer Indonesia dan Malaysia, ada beberapa lakon dalam pertempuran akan memunculkan nama Sidewinder, Maverick, Exocet, atau bisa jadi Yakhont. Uniknya antar negara tetangga di ASEAN, termasuk Malaysia dan Singapura, mempunyai karakter dan jenis alutsista yang serupa. Sebut saja seperti rudal Maverick, Sidewinder, RBS-70, dan Rapier dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Inilah yang menarik untuk dicermati, konflik di masa mendatang akan terkait dengan teknologi tinggi, dan bisa dipastikan rudal akan selalu kebagian peran strategis yang menentukkan. Dalam buku “Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara” untuk pertama kalinya dibahas tentang sepak terjang dan etalase rudal yang dahulu dan kini memperkuat TNI.
Aset militer Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste.
Negara Tier 4 memiliki AEW&C dengan kemampuan tempur DJP paripurna. Singapura berbasis 4 pesawat G550 AEW&C. Australia memiliki 6 Boeing 737 Wedgetail AEW&C. Thailand punya 2 berbasis SAAB 340 alias S 100B Argus. Semua memiliki rudal BVRAAM, khususnya AMRAAM.
Hanya Indonesia dan Malaysia yang belum memiliki AWACS. Namun Indonesia hanya memiliki 10 Su-27/30, sementara Malaysia dengan 36 Su-30MKM, 8 F/A-18D dan MiG-29N. F-16 odong-odong Indonesia tidak dihitung karena belum mampu melakukan tempur DJP (BVR). Apalagi F-5 tua.
Negara Tier 4 keatas, diatas kertas memiliki kemampuan menggulung TNI, mulai dari meraih superioritas udara, dengan cara menghabisi ke-16 Su-27/30 dan 24 F-16 blok 32+ menggunakan kemampuan tempur udara DJP (BVR). Setelah TNI AU di gulung, seluruh pertahanan rudal anti serangan udara (RASU) TNI dengan mudah dihancurkan menggunakan rudal jarak jauh. Batalion-batalion Artileri Pertahanan Udara TNI AD hanya akan bisa menonton kanon dan AAMG-nya di hancurkan oleh rudal, tanpa pernah melihat pesawat musuh. Tidak ada fungsi artileri pertahanan udara dalam perang moderen. SAM jauh lebih bermakna. Namun SAM dan manpad SAM TNI AD berjumlah sangat terbatas. Kalaupun TNI AD dapat mengakuisisi 2 atau 3 SAM moderen seperti S-300, dampaknya tidak terlalu besar. Keunggulan rudal udara jarak jauh dalam kondisi superioritas udara, terhadap batere SAM sudah terbukti.
Segera setelah meraih superioritas udara, fighter-fighter musuh akan berburu kapal-kapal perang Armada Timur dan Barat. Tidak ada kapal perang TNI AL yang memiliki pertahanan anti serangan udara memadai menghadapi rudal jarak jauh anti kapal.
Tanpa Alutsista yang mumpuni dari TNI AU dan TNI AL, Maka basis-basis pertahanan TNI AD akan menghadapi pengeboman tanpa memiliki kemampuan pertahanan. Tinggallah TNI menjadi inti pasukan gerilya, menunggu pendaratan musuh, jika musuh merencanakan invasi.
Kelemahan TNI ini terjadi karena TNI AU yang terlalu lemah, sedangkan perang moderen terpusat utamanya pada superioritas udara, baru kemudian superioritas laut, dan terakhir barulah kekuatan darat dapat di proyeksikan baik lintas laut atau lintas udara.
Apa yang diperlukan: Belajar dari Bung Karno dan Para Pendiri TNI
Sukarno percaya diri bahwa angkatan udara bisa dibangun, padahal di masa itu SDM sangat sulit, kepakaran tidak ada, uang tidak ada, industri tidak ada.
Saat ini kita kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin teknologi dunia. Bahwa kita bangsa yang besar dengan 230 juta kepala yang cerdas. Rakyat kita yang paling miskin berhutang ke luar negeri mencicil ponsel. Rakyat kita yang miskin berhutang ke luar negeri dengan mencicil motor. Rakyat menengah berhutang ke luar negeri dengan mencicil mobil. Rakyat yang kaya berhutang ke luar negeri mencicil mobil mewah CBU. Semua penghasilan rakyat kita disetorkan untuk menjadi kemakmuran bagi bangsa asing.
Sementara semangat kita untuk kemandirian industri dan kemandirian teknologi tinggi seperti hilang lenyap.
Kita perlu semangat untuk menegakkan supremasi udara TNI AU, dengan akuisisi alutsista mandiri. Kita harus sadar bahwa sekarang tahun 2012, bukan tahun 1952. RRC bicara bagaimana pergi ke Mars. Korea bicara bagaimana mendominasi pasar ponsel dunia. Kita masih harus belanja pesawat baling-baling ke Brazil. Sedangkan doraemon tidak perlu ke Brazil untuk baling-baling-nya.
2. Kejujuran
Sukarno jujur, bahwa Republik tidak memiliki uang yang cukup, dan AURI tidak memiliki pesawat yang memadai.
Disini kita perlu mencontoh kejujuran tersebut, bahwa anggaran TNI yang 1,5% itu tidak memadai untuk mencapai MEF sampai kapanpun. Yang ada hanyalah daftar belanjaan dari trimatra, untuk kebanggaan dan pencitraan semu. Kita perlu jujur bahwa TNI AU membutuhkan minimal 4 skadron fighter besar hanya untuk bisa memberi kesempatan bagi TNI AL dan AD bertempur secara moderen, belum untuk mencapai MEF.
Minimum untuk mencapai MEF dalam Tier 4, dengan kondisi hankam mandiri (tanpa sekutu yang kapabel), dibutuhkan 2,5% dari GDP, dan sedikitnya 8 skadron pesawat tempur besar (F-15, Su-27/30, dsb). Dan kebutuhan itu bisa meningkat seiring peningkatan anggaran militer negara-negara tetangga dan negara-negara yang memiliki kemampuan mem-proyeksikan militernya ke nusantara.
Kita harus jujur bahwa pesawat tempur kecil seperti F-16 tidak efisien untuk mencapai superioritas udara di nusantara, karena dibutuhkan dalam jumlah terlalu besar. Setidaknya 3 kali lipat daripada kebutuhan pesawat tempur besar diperlukan untuk menjamin superioritas udara nusantara, agar TNI, baik AU, AD, maupun AL dapat melakukan perang moderen. Bahwa kepemilikan terlalu banyak jenis pesawat menurunkan kemampuan kita melakukan pememeliharaan.
3. Memanfaatkan potensi rakyat
Sukarno mau datang ke Aceh, tanpa malu meminta dukungan material rakyat Aceh.
Pemerintah tidak perlu malu untuk meminta dukungan rakyat, partisipasi potensi industri nasional, potensi intelektual nasional di kampus-kampus, dan potensi pembiayaan swasta nasional. Buat RFC, RFI, RFP, minta pendapat rakyat, bangun manajemen untuk mengkoordinasikan seluruh kekuatan itu.
Kita harus memikirkan apa yang kita punya, dan mengembangkan apa yang kita punya itu. Kalau kita punya industri kayu jepara, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya industri di Bekasi, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya PT Dirgantara dengan N-219, itu potensi rakyat kita. Kita punya banyak pengusaha bermodal besar, itu juga potensi rakyat kita.
AURI dibangun bukan dengan uang, bukan dengan tenaga ahli, bukan dengan industri, tetapi dengan keberanian, dan semangat juang. Sekarang semuanya kita miliki, kecuali keberanian dan semangat juang.
Kesalahan Akuisisi Berulang
F-16 dengan metode akuisisi berupa pembelian, tidak pernah bermanfaat bagi kemampuan tempur TNI AU. Dengan jarak tempuh terbatas dan kemampuan angkut senjata terbatas, fighter kecil seperti F-16 sangat tidak ideal untuk meraih superioritas udara di Nusantara.Besarnya kemungkinan embargo menjadikan alutsista AS sangat tidak sesuai untuk di beli, kecuali dengan tingkat kemandirian yang memadai.
Walaupun dapat diperoleh dengan kemandirian, F-16 sendiri tidak sesuai untuk Indonesia, dengan alasan:
- Jika diproyeksikan sebagai platform utama fighter kecil seperti F-16 dibutuhkan dalam jumlah terlalu banyak, dengan kemampuan jangkauan terbatas dan kemampuan angkat rendah, sehingga harus ada banyak pangkalan udara, yang masing-masing membutuhkan pengawalan besar. Pada saat F-16 kembali ke lanud karena daya angkut senjata rendah, dibutuhkan F-16 lain untuk mengudara menjaga lanud dari serangan. Akibatnya untuk dampak yang sama dengan fighter besar, dibutuhkan 3 kali lipat fighter kecil.
- F-16 blok 32 tidak mampu menghadapi fighter manapun dari alutsista asing. Kalaupun dapat dibeli blok 52 yang mahal, tetap kemampuan tersebut tidak ada, mengingat blok 52+ Singapura dan Thailand di upgrade oleh Israel, pakar utama dari teknologi F-16. Untuk itu lebih baik dipilih fighter kecil yang lebih murah, yang sama-sama tidak efektif, tetapi yang mendukung untuk kemandirian alutsista dengan produksi di dalam negeri. Dengan demikian, biaya mengoperasikan skadron fighter dengan kemampuan tempur terbatas dapat tetap di justifikasi.
- AS selalu menjual alutsista berkualitas lebih rendah kepada negara non-blok (mis: Indonesia, Malaysia), dibanding dengan yang dijual kepada sekutunya (mis: Australia, Thailand, Singapura). Sebagai contoh, F-16 block 52+ hanya diberikan kepada Singapura (Indonesia semula mau beli block 52, diminta beli bekas, upgrade ke block 32+), F/A-18F hanya diberikan kepada Australia. Hanya Singapura dan Australia yang memperoleh AIM-120 C7, sedang lainnya maksimal C5 atau lebih rendah. Hanya Australia yang memperoleh ASRAAM. Sidewinder AIM-9X baru diberikan setelah ada Phyton-5 untuk keunggulan Singapura dan Thailand. Demikian pula untuk rudal-rudal lain, Indonesia hanya diizinkan membeli rudal AS yang tidak mengganggu supremasi militer sekutu AS.
Tahun 2012,
seharusnya kita membicarakan soal satelit mata-mata dan payung rudal
terintegrasi, tetapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali.
Namun jangan juga kita terlena dan melakukan pengadaan alutsista yang
diluar prioritas, tidak perlu dengan tingkat kemandirian rendah, dan
manfaat yang tidak nyata, seperti 16 EMB-314.
Atau pengadaan yang tidak sesuai dan memberi ketidak pastian seperti 50 KF-X pada 2020.
Atau pengadaan 24 fighter kecil F-16 yang tidak meningkatkan kemampuan tempur TNI AU.Padahal ada prioritas penting yang harus dikejar oleh TNI AU, yang sangat vital demi memberikan AL dan AD kesempatan untuk berperang. Hanya kemampuan tempur moderen pada TNI AU yang memungkinkan hal itu. Menghindarkan TNI dari terlikuidasi dan terpaksa melakukan perang gerilya pada abad yang sudah lanjut ini.
Prioritas TNI AU adalah memiliki kemampuan tempur moderen secepatnya, guna menjaga udara nusantara. Yang juga bermakna mengejar kemandirian akuisisi alutsista secara agresif dan progresif.
Kemampuan tersebut hanya bisa diperoleh dengan memprioritaskan:
- Pengadaan satu jenis (bisa beda varian) fighter besar minimal 4 skadron, menuju ke-8 skadron
- Pengadaan sistem AEW terpadu dengan keunggulan
- Pengadaan sistem senjata rudal canggih dan teruji
- Kesiapan menghadapi setiap skenario proyeksi militer asing ke wilayah Nusantara, dengan kemampuan melakukan perang moderen
- Kepemilikan 2 platform fighter berbeda F-16 dan Su-27/30 akan mengakibatkan masalah dalam kemampuan tempur TNI AU. Selain soal pemeliharaan, linud, dsb, kita harus memelihara 2 platform BVRAAM: AMRAAM dan R-77, juga 2 platform untuk semua tipe rudal udara lain. Dalam hal ini riset untuk kemandirian rudal, elektronik, counter measure, dsb akan terlalu mahal dan sulit dilakukan karena konsentrasi terpecah pada 2 platform berbeda.
- AEW&C pun menjadi tidak optimal, karena AEW&C harus dikonsentrasikan untuk optimalisasi salah satu platform. Sebagai contoh apakah platform AEW&C bisa mengirimkan sinyal lokasi BVR target ke AMRAAM dan R-77 sekaligus ? Salah satu harus dikorbankan: F-16 atau Su-27/30.
- Menggunakan platform asing sepenuhnya untuk AEW, tanpa alih teknologi dan optimasi, sama dengan bunuh diri. Katakanlah kita memperoleh IAI/Elta AESA Gen 4 (pastinya bukan teknologi terkini Israel) dengan dual interface platform BVR AS dan Rusia (yang hampir mustahil). Negara Tier 4 keatas akan sangat mudah memperoleh informasi kelemahan sistem tersebut. Semua negara Tier 4 melakukan upgrade persenjataan dan elektronik di Israel, dan entah kenapa, saya yakin mereka jauh lebih dekat dengan Israel daripada Indonesia. Akibatnya, dalam situasi konflik, platform AEW&C Indonesia, yang merupakan kunci perang moderen, akan dengan mudah di eliminasi. Dengan demikian kepemilikan AEW&C untuk F-16 (baca: alutsista negara barat), akan menjadi false-sense-of-security. Memberi perasaan nyaman seolah-olah udara nusantara dikuasai, padahal begitu terjadi konflik, seluruh aset udara tidak dapat melakukan perang moderen.
- F-16 blok 52+ milik negara Tier 2 semua di upgrade di Israel, yang menjadi berbeda dengan F-16 blok 52+ produk AS, sekalipun namanya sama. Apakah anda berfikir AS mau memberikan persenjataan yang dapat memberi resiko bagi keunggulan udara Australia, Singapura, dan Thailand, yang menjalin perjanjian pertahanan dengan AS ? Belum lagi penggunaan rudal Phyton yang jaul lebih unggul dibandingkan Sidewinder. Apakah kita juga mau membeli Python-4 dari Israel ? Kalau demikian sebaiknya buka dulu hubungan diplomatik.
- Pada saat kelengkapan perang moderen F-16 tersebut siap, negara-negara Tier 4 keatas sudah berganti platform superioritas udaranya, dari F-16, F-15, dan F-18 menjadi F-35. Tidak ada harapan F-16 blok apapun berhadapan dengan F-35. Dan jangan harap AEW&C Indonesia bisa tetap mengudara.
- Uang sebanyak itu lebih baik di prioritaskan untuk membangun armada fighter besar moderen dengan kemampuan BVR dan teknologi yang bisa kita kembangkan sendiri. Tulang punggung BVR, AEW dan BVRAAM bukan produk yang bisa dibeli dari negara lain, melainkan suatu teknologi yang harus dikuasai dan dikembangkan secara mandiri. Tidak berarti Pesawat AEW-nya harus kita produksi, atau propulsi BVRAAMnya yang harus di produksi sendiri, tetapi komponen-komponen vital yang menentukan kepemilikan kemampuan tempur udara untuk meraih supremasi udara nusantara.
Pilihan Platform TNI AU
Kata kunci dari akuisisi alutsista yang berdampak positif adalah kemandirian akuisisi. Kemandirian disini artinya, setidaknya:- Produk dapat dirakit, dikembangkan desainnya, dan dilakukan seluruh pemeliharaan dan upgrade rutin di dalam negeri.
- Persenjataan dapat dirakit, dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri.
- Seluruh unsur elektronika dapat dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri, termasuk hardware dan software
Pilihan Pertama:
- Fighter besar: F-15 Strike Eagle, dengan alih teknologi
- Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat lama seperti F-5)
- Rudal produk AS, Inggris, Prancis, Brazil, dan Israel, di transfer teknologi ke Indonesia
- Teknologi lebih canggih
- Pesawat dan rudal battle proven
- Harga lebih mahal
- Transfer teknologi lebih terbatas
- Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meng-counter kelebihan alutsista negara tetangga, yang lebih dekat dengan AS dan didukung oleh Israel.
Pilihan Kedua:
- Fighter besar: Kombinasi Su-27/30/34/35 atau Su PAK FA, dengan alih teknologi
- Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat kecil Rusia)
- Rudal produk Rusia, India dan China, di transfer teknologi ke Indonesia
- Harga lebih murah
- Transfer teknologi lebih
- Teknologi belum battle proven
- Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meningkatkan daya tempur alutsista
Pilihan Ketiga:
- Tetap seperti sekarang, bagaimanapun ok. Pembelian bebas untuk pencitraan. Bisa TNI AU menggunakan F-16.
- Dilakukan perjanjian kerjasama pertahanan dengan AS, dengan kewajiban AS untuk melindungi Indonesia jika mendapat serangan dari negara manapun, selama 50, 75, atau 100 tahun.
- Disusun undang-undang melarang pelanggaran HAM, sesuai dengan standar AS, agar menghindari terjadinya embargo militer di masa depan.
Langganan:
Postingan (Atom)