Selasa, September 18, 2012

Analisa Potensi Ancaman Kedaulatan NKRI dari Aset Alat Tempur TNI


Dengan Aset militer Indonesia yang terbukti paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste. Dan semakin pudarnya dominasi Rudal buatan Uni Sovyet di Indonesia  tentu ada perhitungan sendiri
ketika itu di bawah panji kestabilan ekonomi dan membina hubungan yang baik di kawasan, pada era Soeharto pengembangan rudal mulai berjalan, walau sangat lamban, bahkan secara de facto etalase rudal Indonesia sudah tertinggal dari Singapura dan Malaysia.Tapi harus diakui, tak serta merta sistem rudal Indonesia tertinggal secara keseluruhan, di lini rudal anti kapal, terlihat pemerintah sangat serius untuk memperkuat beragam rudal anti kapal, sebagai bukti adalah Yakhont, yang kini menjadi lambang supremasi alutsista Indonesia.Khusus pada era Orde Baru , Pemerintah nampak kurang mempersiapkan militer seumpama menghadapi konflik terbuka antar negara tetangga, berkat sosok Soeharto yang sangat disegani sebagai pemimpin pemerintahan paling senior di ASEAN, beragam alutsista di per-modern, tapi sayangnya dengan kuantitas yang serba minim. Tapi fakta kini berbicara lain, musim telah berganti, era baru pun harus disikapi secara tepat tanpa harus berlebihan. Dengan segala intrik dan konflik di seputar perbatasan, potensi munculnya perang antara negara bertetangga bisa saja meletus di masa mendatang.

Tanpa bermaksud mengharap datangnya peperangan, tapi diyakini, seandainya terjadi duel antara militer Indonesia dan Malaysia,  ada beberapa lakon dalam pertempuran akan memunculkan nama Sidewinder, Maverick, Exocet, atau bisa jadi Yakhont. Uniknya antar negara tetangga di ASEAN, termasuk Malaysia dan Singapura, mempunyai karakter dan jenis alutsista yang serupa. Sebut saja seperti rudal Maverick, Sidewinder, RBS-70, dan Rapier dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Inilah yang menarik untuk dicermati, konflik di masa mendatang akan terkait dengan teknologi tinggi, dan bisa dipastikan rudal akan selalu kebagian peran strategis yang menentukkan. Dalam buku “Indonesian Missile, Perisai Angkasa Nusantara” untuk pertama kalinya dibahas tentang sepak terjang dan etalase rudal yang dahulu dan kini memperkuat TNI.

Aset militer Indonesia adalah yang paling rendah dibandingkan Australia, Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia hanya lebih kuat dibandingkan Philipina, Papua New Guinea, dan Timor Leste.
Negara Tier 4 memiliki AEW&C dengan kemampuan tempur DJP paripurna. Singapura berbasis 4 pesawat G550 AEW&C. Australia memiliki 6 Boeing 737 Wedgetail AEW&C. Thailand punya 2 berbasis SAAB 340 alias S 100B Argus. Semua memiliki rudal BVRAAM, khususnya AMRAAM.

Hanya Indonesia dan Malaysia yang belum memiliki AWACS. Namun Indonesia hanya memiliki 10 Su-27/30, sementara Malaysia dengan 36 Su-30MKM, 8 F/A-18D dan MiG-29N. F-16 odong-odong Indonesia tidak dihitung karena belum mampu melakukan tempur DJP (BVR). Apalagi F-5 tua.
Negara Tier 4 keatas, diatas kertas memiliki kemampuan menggulung TNI, mulai dari meraih superioritas udara, dengan cara menghabisi ke-16 Su-27/30 dan 24 F-16 blok 32+ menggunakan kemampuan tempur udara DJP (BVR). Setelah TNI AU di gulung, seluruh pertahanan rudal anti serangan udara (RASU) TNI dengan mudah dihancurkan menggunakan rudal jarak jauh. Batalion-batalion Artileri Pertahanan Udara TNI AD  hanya akan bisa menonton kanon dan AAMG-nya di hancurkan oleh rudal, tanpa pernah melihat pesawat musuh. Tidak ada fungsi artileri pertahanan udara dalam perang moderen. SAM jauh lebih bermakna. Namun SAM dan manpad SAM TNI AD berjumlah sangat terbatas. Kalaupun TNI AD dapat mengakuisisi 2 atau 3 SAM moderen seperti S-300, dampaknya tidak terlalu besar. Keunggulan rudal udara jarak jauh dalam kondisi superioritas udara, terhadap batere SAM sudah terbukti.
Segera setelah meraih superioritas udara, fighter-fighter musuh akan berburu kapal-kapal perang Armada Timur dan Barat. Tidak ada kapal perang TNI AL yang memiliki pertahanan anti serangan udara memadai menghadapi rudal jarak jauh anti kapal.
Tanpa Alutsista yang mumpuni dari TNI AU dan TNI AL, Maka basis-basis pertahanan TNI AD akan menghadapi pengeboman tanpa memiliki kemampuan pertahanan. Tinggallah TNI menjadi inti pasukan gerilya, menunggu pendaratan musuh, jika musuh merencanakan invasi.
Kelemahan TNI ini terjadi karena TNI AU yang terlalu lemah, sedangkan perang moderen terpusat utamanya pada superioritas udara, baru kemudian superioritas laut, dan terakhir barulah kekuatan darat dapat di proyeksikan baik lintas laut atau lintas udara.

Apa yang diperlukan: Belajar dari Bung Karno dan Para Pendiri TNI

1. Semangat
Sukarno percaya diri bahwa angkatan udara bisa dibangun, padahal di masa itu SDM sangat sulit, kepakaran tidak ada, uang tidak ada, industri tidak ada.
Saat ini kita kehilangan kepercayaan diri untuk menjadi pemimpin teknologi dunia. Bahwa kita bangsa yang besar dengan 230 juta kepala yang cerdas. Rakyat kita yang paling miskin berhutang ke luar negeri mencicil ponsel. Rakyat kita yang miskin berhutang ke luar negeri dengan mencicil motor. Rakyat menengah berhutang ke luar negeri dengan mencicil mobil. Rakyat yang kaya berhutang ke luar negeri mencicil mobil mewah CBU. Semua penghasilan rakyat kita disetorkan untuk menjadi kemakmuran bagi bangsa asing.
Sementara semangat kita untuk kemandirian industri dan kemandirian teknologi tinggi seperti hilang lenyap.
Kita perlu semangat untuk menegakkan supremasi udara TNI AU, dengan akuisisi alutsista mandiri. Kita harus sadar bahwa sekarang tahun 2012, bukan tahun 1952. RRC bicara bagaimana pergi ke Mars. Korea bicara bagaimana mendominasi pasar ponsel dunia. Kita masih harus belanja pesawat baling-baling ke Brazil. Sedangkan doraemon tidak perlu ke Brazil untuk baling-baling-nya.
2. Kejujuran
Sukarno jujur, bahwa Republik tidak memiliki uang yang cukup, dan AURI tidak memiliki pesawat yang memadai.
Disini kita perlu mencontoh kejujuran tersebut, bahwa anggaran TNI yang 1,5% itu tidak memadai untuk mencapai MEF sampai kapanpun. Yang ada hanyalah daftar belanjaan dari trimatra, untuk kebanggaan dan pencitraan semu. Kita perlu jujur bahwa TNI AU membutuhkan minimal 4 skadron fighter besar hanya untuk bisa memberi kesempatan bagi TNI AL dan AD bertempur secara moderen, belum untuk mencapai MEF.
Minimum untuk mencapai MEF dalam Tier 4, dengan kondisi hankam mandiri (tanpa sekutu yang kapabel), dibutuhkan 2,5% dari GDP, dan sedikitnya 8 skadron pesawat tempur besar (F-15, Su-27/30, dsb). Dan kebutuhan itu bisa meningkat seiring peningkatan anggaran militer negara-negara tetangga dan negara-negara yang memiliki kemampuan mem-proyeksikan militernya ke nusantara.
Kita harus jujur bahwa pesawat tempur kecil seperti F-16 tidak efisien untuk mencapai superioritas udara di nusantara, karena dibutuhkan dalam jumlah terlalu besar. Setidaknya 3 kali lipat daripada kebutuhan pesawat tempur besar diperlukan untuk menjamin superioritas udara nusantara, agar TNI, baik AU, AD, maupun AL dapat melakukan perang moderen. Bahwa kepemilikan terlalu banyak jenis pesawat menurunkan kemampuan kita melakukan pememeliharaan.
3. Memanfaatkan potensi rakyat
Sukarno mau datang ke Aceh, tanpa malu meminta dukungan material rakyat Aceh.
Pemerintah tidak perlu malu untuk meminta dukungan rakyat, partisipasi potensi industri nasional, potensi intelektual nasional di kampus-kampus, dan potensi pembiayaan swasta nasional. Buat RFC, RFI, RFP, minta pendapat rakyat, bangun manajemen untuk mengkoordinasikan seluruh kekuatan itu.
Kita harus memikirkan apa yang kita punya, dan mengembangkan apa yang kita punya itu. Kalau kita punya industri kayu jepara, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya industri di Bekasi, itu potensi rakyat kita. Kalau kita punya PT Dirgantara dengan N-219, itu potensi rakyat kita. Kita punya banyak pengusaha bermodal besar, itu juga potensi rakyat kita.
AURI dibangun bukan dengan uang, bukan dengan tenaga ahli, bukan dengan industri, tetapi dengan keberanian, dan semangat juang. Sekarang semuanya kita miliki, kecuali keberanian dan semangat juang.


13425223071824344925

 

Kesalahan Akuisisi Berulang

F-16 dengan metode akuisisi berupa pembelian, tidak pernah bermanfaat bagi kemampuan tempur TNI AU. Dengan jarak tempuh terbatas dan kemampuan angkut senjata terbatas, fighter kecil seperti F-16 sangat tidak ideal untuk meraih superioritas udara di Nusantara.
Besarnya kemungkinan embargo menjadikan alutsista AS sangat tidak sesuai untuk di beli, kecuali dengan tingkat kemandirian yang memadai.
Walaupun dapat diperoleh dengan kemandirian, F-16 sendiri tidak sesuai untuk Indonesia, dengan alasan:
  1. Jika diproyeksikan sebagai platform utama fighter kecil seperti F-16 dibutuhkan dalam jumlah terlalu banyak, dengan kemampuan jangkauan terbatas dan kemampuan angkat rendah, sehingga harus ada banyak pangkalan udara, yang masing-masing membutuhkan pengawalan besar. Pada saat F-16 kembali ke lanud karena daya angkut senjata rendah, dibutuhkan F-16 lain untuk mengudara menjaga lanud dari serangan. Akibatnya untuk dampak yang sama dengan fighter besar, dibutuhkan 3 kali lipat fighter kecil.

  2. F-16 blok 32 tidak mampu menghadapi fighter manapun dari alutsista asing. Kalaupun dapat dibeli blok 52 yang mahal, tetap kemampuan tersebut tidak ada, mengingat blok 52+ Singapura dan Thailand di upgrade oleh Israel, pakar utama dari teknologi F-16. Untuk itu lebih baik dipilih fighter kecil yang lebih murah, yang sama-sama tidak efektif, tetapi yang mendukung untuk kemandirian alutsista dengan produksi di dalam negeri. Dengan demikian, biaya mengoperasikan skadron fighter dengan kemampuan tempur terbatas dapat tetap di justifikasi.

  3. AS selalu menjual alutsista berkualitas lebih rendah kepada negara non-blok (mis: Indonesia, Malaysia), dibanding dengan yang dijual kepada sekutunya (mis: Australia, Thailand, Singapura). Sebagai contoh, F-16 block 52+ hanya diberikan kepada Singapura (Indonesia semula mau beli block 52, diminta beli bekas, upgrade ke block 32+), F/A-18F hanya diberikan kepada Australia. Hanya Singapura dan Australia yang memperoleh AIM-120 C7, sedang lainnya maksimal C5 atau lebih rendah. Hanya Australia yang memperoleh ASRAAM. Sidewinder AIM-9X baru diberikan setelah ada Phyton-5 untuk keunggulan Singapura dan Thailand. Demikian pula untuk rudal-rudal lain, Indonesia hanya diizinkan membeli rudal AS yang tidak mengganggu supremasi militer sekutu AS.
Fighter buatan Indonesia sekalipun awalnya mungkin seadanya, tetapi dapat kita kembangkan secara mandiri. Ada banyak platform fighter yang bisa dibeli untuk kita kuasai, khususnya riset yang gagal, atau konsep yang ditolak oleh negara besar.Untuk itu Janganlah kita mengulang terus kesalahan yang sama.
Tahun 2012, seharusnya kita membicarakan soal satelit mata-mata dan payung rudal terintegrasi, tetapi terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. 
Namun jangan juga kita terlena dan melakukan pengadaan alutsista yang diluar prioritas, tidak perlu dengan tingkat kemandirian rendah, dan manfaat yang tidak nyata, seperti 16 EMB-314.
Atau pengadaan yang tidak sesuai dan memberi ketidak pastian seperti 50 KF-X pada 2020.
Atau pengadaan 24 fighter kecil F-16 yang tidak meningkatkan kemampuan tempur TNI AU.
Padahal ada prioritas penting yang harus dikejar oleh TNI AU, yang sangat vital demi memberikan AL dan AD kesempatan untuk berperang. Hanya kemampuan tempur moderen pada TNI AU yang memungkinkan hal itu. Menghindarkan TNI dari terlikuidasi dan terpaksa melakukan perang gerilya pada abad yang sudah lanjut ini.
Prioritas TNI AU adalah memiliki kemampuan tempur moderen secepatnya, guna menjaga udara nusantara. Yang juga bermakna mengejar kemandirian akuisisi alutsista secara agresif dan progresif.
Kemampuan tersebut hanya bisa diperoleh dengan memprioritaskan:
  • Pengadaan satu jenis (bisa beda varian) fighter besar minimal 4 skadron, menuju ke-8 skadron

  • Pengadaan sistem AEW terpadu dengan keunggulan

  • Pengadaan sistem senjata rudal canggih dan teruji

  • Kesiapan menghadapi setiap skenario proyeksi militer asing ke wilayah Nusantara, dengan kemampuan melakukan perang moderen
Bagaimana jika kita bisa mengadakan F-16 blok 52+, dilengkapi rudal AMRAAM, dan C-295 AEW&C kita bisa datang tahun 2015 ? Apa masalahnya ?
  • Kepemilikan 2 platform fighter berbeda F-16 dan Su-27/30 akan mengakibatkan masalah dalam kemampuan tempur TNI AU. Selain soal pemeliharaan, linud, dsb, kita harus memelihara 2 platform BVRAAM: AMRAAM dan R-77, juga 2 platform untuk semua tipe rudal udara lain. Dalam hal ini riset untuk kemandirian rudal, elektronik, counter measure, dsb akan terlalu mahal dan sulit dilakukan karena konsentrasi terpecah pada 2 platform berbeda.

  • AEW&C pun menjadi tidak optimal, karena AEW&C harus dikonsentrasikan untuk optimalisasi salah satu platform. Sebagai contoh apakah platform AEW&C bisa mengirimkan sinyal lokasi BVR target ke AMRAAM dan R-77 sekaligus ? Salah satu harus dikorbankan: F-16 atau Su-27/30.

  • Menggunakan platform asing sepenuhnya untuk AEW, tanpa alih teknologi dan optimasi, sama dengan bunuh diri. Katakanlah kita memperoleh IAI/Elta AESA Gen 4 (pastinya bukan teknologi terkini Israel) dengan dual interface platform BVR AS dan Rusia (yang hampir mustahil). Negara Tier 4 keatas akan sangat mudah memperoleh informasi kelemahan sistem tersebut. Semua negara Tier 4 melakukan upgrade persenjataan dan elektronik di Israel, dan entah kenapa, saya yakin mereka jauh lebih dekat dengan Israel daripada Indonesia. Akibatnya, dalam situasi konflik, platform AEW&C Indonesia, yang merupakan kunci perang moderen, akan dengan mudah di eliminasi. Dengan demikian kepemilikan AEW&C untuk F-16 (baca: alutsista negara barat), akan menjadi false-sense-of-security. Memberi perasaan nyaman seolah-olah udara nusantara dikuasai, padahal begitu terjadi konflik, seluruh aset udara tidak dapat melakukan perang moderen.

  • F-16 blok 52+ milik negara Tier 2 semua di upgrade di Israel, yang menjadi berbeda dengan F-16 blok 52+ produk AS, sekalipun namanya sama. Apakah anda berfikir AS mau memberikan persenjataan yang dapat memberi resiko bagi keunggulan udara Australia,  Singapura, dan Thailand, yang menjalin perjanjian pertahanan dengan AS ? Belum lagi penggunaan rudal Phyton yang jaul lebih unggul dibandingkan Sidewinder. Apakah kita juga mau membeli Python-4 dari Israel ? Kalau demikian sebaiknya buka dulu hubungan diplomatik.

  • Pada saat kelengkapan perang moderen F-16 tersebut siap, negara-negara Tier 4 keatas sudah berganti platform superioritas udaranya, dari F-16, F-15, dan F-18 menjadi F-35. Tidak ada harapan F-16 blok apapun berhadapan dengan F-35. Dan jangan harap AEW&C Indonesia bisa tetap mengudara.

  • Uang sebanyak itu lebih baik di prioritaskan untuk membangun armada fighter besar moderen dengan kemampuan BVR dan teknologi yang bisa kita kembangkan sendiri. Tulang punggung BVR, AEW dan BVRAAM bukan produk yang bisa dibeli dari negara lain, melainkan suatu teknologi yang harus dikuasai dan dikembangkan secara mandiri. Tidak berarti Pesawat AEW-nya harus kita produksi, atau propulsi BVRAAMnya yang harus di produksi sendiri, tetapi komponen-komponen vital yang menentukan kepemilikan kemampuan tempur udara untuk meraih supremasi udara nusantara.
Prosedur asal beli perlu dicegah. AEW&C, misalnya sebelum dibeli harus dipertimbangkan dengan baik spesifikasinya, agar fungsinya optimal. Adalah kekonyolan jika membeli AEW&C sebelum primary fighter dipesan, dan platform BVRAAM ditetapkan.

13425277621909791760

 

Pilihan Platform TNI AU

Kata kunci dari akuisisi alutsista yang berdampak positif adalah kemandirian akuisisi. Kemandirian disini artinya, setidaknya:
  • Produk dapat dirakit, dikembangkan desainnya, dan dilakukan seluruh pemeliharaan dan upgrade rutin di dalam negeri.

  • Persenjataan dapat dirakit, dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri.

  • Seluruh unsur elektronika dapat dikembangkan disainnya, dan di upgrade di dalam negeri, termasuk hardware dan software

Pilihan Pertama:

  • Fighter besar: F-15 Strike Eagle, dengan alih teknologi

  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat lama seperti F-5)

  • Rudal produk AS, Inggris, Prancis, Brazil, dan Israel, di transfer teknologi ke Indonesia
Kelebihan:
  • Teknologi lebih canggih

  • Pesawat dan rudal battle proven
Kelemahan:
  • Harga lebih mahal

  • Transfer teknologi lebih terbatas

  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meng-counter kelebihan alutsista negara tetangga, yang lebih dekat dengan AS dan didukung oleh Israel.

Pilihan Kedua:

  • Fighter besar: Kombinasi Su-27/30/34/35 atau Su PAK FA, dengan alih teknologi

  • Fighter kecil: produksi Indonesia (alih teknologi pesawat kecil Rusia)

  • Rudal produk Rusia, India dan China, di transfer teknologi ke Indonesia
Kelebihan:
  • Harga lebih murah

  • Transfer teknologi lebih
Kekurangan:
  • Teknologi belum battle proven

  • Harus dilakukan riset besar-besaran untuk meningkatkan daya tempur alutsista
13426688711729164327

Pilihan Ketiga:

  • Tetap seperti sekarang, bagaimanapun ok. Pembelian bebas untuk pencitraan. Bisa TNI AU menggunakan F-16.

  • Dilakukan perjanjian kerjasama pertahanan dengan AS, dengan kewajiban AS untuk melindungi Indonesia jika mendapat serangan dari negara manapun, selama 50, 75, atau 100 tahun.

  • Disusun undang-undang melarang pelanggaran HAM, sesuai dengan standar AS, agar menghindari terjadinya embargo militer di masa depan.

  • Banyak berdoa agar AS tidak bangkrut dan menarik seluruh Armada Pasifik.
Pilihan ketiga ini benar-benar merupakan opsi yang harus dipertimbangkan bila para pemimpin dan politisi kita tidak memiliki kebulatan tekad untuk meraih kemandirian alutsista.
Politik luar negeri bebas aktif itu memiliki konsekwensi besar pada Doktrin Pertahanan Indonesia. Hal ini perlu dipikirkan baik-baik. Untuk menjalankan hal tersebut dibutuhkan kemandirian alutsista minimal untuk mencapai MEF.
MEF pun harus disusun sebagai satu postur militer dimana TNI dapat melakukan perang moderen. Bukan disusun berdasarkan keterbatasan anggaran. Artinya, TNI berkewajiban menjelaskan bahwa jika anggaran tidak tercukupi, MEF tidak akan pernah tercapai. Dengan demikian tanggung-jawab atas ketidak mampuan TNI melakukan perang moderen (jika anggaran tidak memadai) akan berada pada para pemimpin sipil yang lemah, korup, dan tidak punya semangat juang untuk kemandirian alutsista.
Sebagai konsekwensi dari usulan peningkatan anggaran alutsista, TNI juga perlu berkewajiban menjamin agar sebagian terbesar dari anggaran tersebut kembali kepada rakyat, dalam bentuk pembangunan industri swasta ber teknologi tinggi, sebagai pemasok bagi industri pertahanan dan keamanan nasional.
Jika perlu, dengan anggaran tersebut, negara melalui TNI membangun kota industri pertahanan baru.
Dalam pelaksanaanya, dibutuhkan manajemen yang baik, bukan manajemen seadanya.
  1. Manajemen terpusat untuk akuisisi alutsista TNI, dalam bentuk inisiasi Proyek Akuisisi Pertahanan, pengawasan Proyek, dan Evaluasi Proyek untuk hasil yang sesuai dengan kebutuhan pengguna, dan kewajiban sosialisasi kepada masyarakat, agar jangan sampai masyarakat kesulitan memperoleh sumber informasi yang jelas mengenai setiap proyek akuisisi pertahanan.

  2. Manajemen riset pertahanan terpusat, yang mengarahkan dan mendorong keterlibatan potensi bangsa secara optimal dalam pengembangan kemandirian alutsista melalui penelitian. Juga pemanfaatan kapasitas riset perguruan tinggi untuk kepentingan riset alutsista.

  3. Koordinasi industri nasional, dan dunia pendidikan, untuk mengembangkan industri pertahanan tertentu, baik dengan memberdayakan industri yang telah ada, maupun dengan membentuk industri baru untuk terciptanya persaingan usaha, atau memfasilitasi / memaksakan pembentukan industri pendukung yang dibutuhkan oleh industri pertahanan.

  4. Manajemen lobby anggaran, untuk memberikan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait anggaran, maupun kepada masyarakat, bahwa anggaran pada masa tertentu telah digunakan untuk kepentingan pertahanan nasional secara tepat guna. Menjelaskan kepada publik bahwa dengan anggaran yang diperoleh, sejauh apa peningkatan kemampuan TNI, apakah dapat mencapai MEF atau tidak (secara jujur, bukan pencitraan).

  5. Manajemen intelijen teknologi tinggi untuk OPFOR (opposing forces), yaitu mempelajari kemampuan teknologi OPFOR, dan mencara jalan agar TNI memiliki kemampuan mengatasinya dengan baik. Termasuk membentuk skadron OPFOR dengan persenjataan, teknik tempur serupa dengan yang dimiliki oleh negara lain dengan kemampuan proyeksi kekuatan militer ke Indonesia.
Hal yang lebih utama dari semuanya, anggaran pemeliharaan alutsista harus diperhitungkan saat akuisisi, dan harus memadai. Percuma membeli alutsista jika pemeliharaannya mengancam nyawa para penerbang, putra terbaik Indonesia. Keselamatan kerja harus menjadi perhatian utama. TNI AU harus dapat beroperasi tanpa terjadi kecelakaan. Bila perlu alutsista yang tidak dapat dipelihara seluruhnya di-grounded. Jangan sampai ada kecelakaan dengan alasan pesawat sudah tua, atau kurang pemeliharaan, atau kurang program pelatihan pilot, atau kurang kelengkapan lanud. Di masa depan setelah program akuisisi, maka program pemeliharaan (dan pengembangan) alutsista harus menempati prioritas tertinggi.
Akhir kata, tulisan ini mohon jangan dibaca sebagai menyudutkan TNI atau TNI AU, melainkan justru bentuk dukungan. Tulisan ini semata-mata menyalahkan pemerintah dan DPR yang tidak tegas, tidak memiliki kebijakan, dan tidak membangun manajemen akuisisi alutsista yang baik dan komprehensif.

Executive Summary

  • 10 F-16 A/B blok 15 korban embargo milik Indonesia, tidak memiliki kemampuan tempur regional di nusantara. 24 F-16 blok 32+ atau upgrade lebih tinggi juga tidak memiliki kemampuan tempur regional di nusantara dibanding dengan aset tempur negara lain.

  • Untuk memanfaatkan platform F-16, dibutuhkan minimal 160 F-16 blok 52+, dan kerjasama moderenisasi F-16 dengan Israel, serta jaminan suplai dari AS. Termasuk mengganti platform Su-27/30 dengan platform fighter besar AS (F-15SE atau F-18 atau F-35), agar tercipta efisiensi akuisisi persenjataan.

  • Prioritas TNI AU adalah kemampuan tempur moderen dan penguasaan udara nusantara, yang bisa dicapai bukan dengan pembelian F-16, melainkan dengan pengadaan fighter besar dengan kemandirian alutsista minimal.

  • Kemandirian alutsista minimal bemakna, teknologi alutsista dapat dipelihara, di-upgrade, dan di-redisain oleh industri lokal, demikian pula komponen elektronik dan persenjataan-nya. Tidak berarti harus di produksi 100% di dalam negeri, namun berarti dapat dicari solusinya jika suplai alutsista dari luar negeri terputus (baik oleh embargo, blokade, krisis ekonomi, atau perang).

  • MEF tidak boleh menjadi sekedar daftar belanjaan TNI, tetapi harus memikirkan unsur kemampuan tempur moderen yang sesungguhnya, yang saat ini tidak dimiliki oleh TNI, dan berfokus pada kemandirian akuisisi alutsista. Jika tidak, hanya membebani perekonomian nasional.

  • Anggaran minimum untuk mencapai MEF pada tier 3 adalah 2% GDP. Prioritas penggunaan dana tersebut adalah alutsista untuk superioritas udara (fighter besar, AEW, pesawat surveilance, radar darat EW / IGC, SAM moderen jarak jauh berbasis darat dan laut). Jika tidak, keunggulan jumlah dan kualitas TNI AD dan AL tidak memiliki arti.
Penulis sungguh rela jika sejumlah besar uang rakyat, termasuk potongan pajak yang tiap bulan dipotong dari gaji penulis itu, dipakai untuk membiayai akuisisi dan pemeliharaan alutsista. Biarlah hanya pada generasi penulis saja udara nusantara tidak terjaga. Kalau pada generasi sebelum ini AURI adalah angkatan udara terkuat di bumi belahan selatan, setidaknya dimasa anak cucu kita nanti, TNI AU memiliki Minimum Essential Forces, yang mampu melakukan perang moderen melawan segala ancaman.
Penulis cuma tidak rela kalau uang rakyat itu dipakai sekedar untuk membeli dan memelihara pesawat tempur untuk patroli pencitraan, tanpa kemampuan tempur yang bisa mengalahkan kapabilitas dari ancaman yang potensial.

KRI Klewang : Andalkan Desain “Ikan Cucut” Serta Stealth Capabilities


Di tengah situasi politik dan ekonomi Indonesia yang serba galau, ada secercah berita yang membanggakan, tepatnya pada 31 Agustus 2012, galangan kapal PT. Lundin meluncurkan KRI Klewang 625 di perairan selat Bali – Banyuwangi, sebuah KCR (kapal cepat rudal)/ Fast Missile Patrol Vessel (FMPV) yang lain dari pada yang pernah dimiliki TNI AL, bahkan di Asia Tenggara sekalipun belum ada padanannya. Selain desain yang mengadopsi trimaran (tiga lunas), KRI Klewang juga mampu membetot perhatian khalayak, tak lain berkat desain yang super revolusioner.
 
Alhasil bila dikalkukasi,Saat ini  TNI AL hanya punya 6 unit Kapal Cepat Rudal / KCR , tentu jumlah yang amat minim. Ditambah lagi secara kualitas rudal-rudal pada 6 KCR tersebut sudah cukup tua, keenamnya mengadopsi jenis rudal MM-30 Exocet. Nah, mengatasi minimnya jumlah KCR, TNI AL berusaha meningkatkan status KCT (kapal cepat torpedo) yang selama ini melekat di kelas FPB-57. Dengan dipasangnya C-802, kini FPB-57 dapat berperan sebagai KCT sekaligus KCR. Maklum senjata andalan FPB-57 sebagai KCT adalah dua tabung torpedo berpemandu AEG SUT (surface and underwater target).
Tak semua FPB-57 cocok untuk dipasangi rudal C-802, yang pas menyandang rudal maut ini tak FPB-57 NAV-V yang sudah mengalami modifikasi pada sistem kendali persenjataan. Selain KRI Layang, C-802 juga akan dipasangkan pada KRI Hiu (804), KRI Lemadang (806), dan KRI Todak (803).

M2A2 105mm : Howitzer Tua Yon Armed TNI AD


Howitzer M2A2 TNI AD saat ditarik dengan truk Unimog Bicara tentang alutsista (alat utama sistem senjata) tua yang dimiliki TNI seolah tak ada habisnya. Dari serangkaian perangkat yang berumur ‘sepuh’, ada satu jenis alutsista dari korps Artileri Medan (Armed) TNI AD yang tak asal tua, tapi juga sangat legendaris, bahkan punya rekam jejak prestasi tempur yang begitu panjang di banyak peperangan. Alutsista tersebut adalah meriam M2A2 Howitzer kaliber 105mm (4.2 inchi), sebuah meriam ringan battle proven (dari versi awal) sejak Perang Dunia II.
M2A2 adalah jenis meriam tarik (towed) dengan dua roda, dimana pada lingkungan TNI AD, meriam ini umumnya  ditarik dengan truk Unimog atau Reo. M2A2 beroperasi dengan pola recoil mechanism, dan dilengkapi sistem pendingan udara (air cooled). Soal keampuhan, M2A2 maksimum dapat melibas target sampai jarak 11.270 meter dengan kecepatan proyektil 472 meter per detik. Untuk keperluan dalam pengenaan target, laras meriam ini dapat digerakkan dengan sudut elevasi mulai dari -5 sampai maksimum 66 derajat.Untuk Indonesia, dilihat dari tahun kedatagannya, sebenarnya umur M2A2 tidak terlalu tua, ini lantaran meriam ini dibeli dalam kondisi bekas pakai dari AS pada tahun 1982/1983. Meski tidak didapatkan informasi berapa pucuk M2A2 yang didatangkan ke Indonesia, namun diprediksi jumlahnya lumayan banyak, pasalnya ada 10 batalyon armed yang mengoperasikan meriam jenis ini, sebut saja :
1.    Batalyon Armed 1/105 mm berkedudukan di Singosari, Malang.
2.    Batalyon Armed 2/105 mm berkedudukan di Deli Tua, Deli Serdang.
3.    Batalyon Armed 3/105 mm berkedudukan di Magelang.
4.    Batalyon Armed 5/105 mm berkedudukan di Cipanas.
5.    Batalyon Armed 10/105 mm Kostrad berkedudukan di Bogor.
6.    Batalyon Armed 12/105 mm Kostrad berkedudukan di Ngawi.
7.    Batalyon Armed 16/105 mm berkedudukan di Ngabang, Kalimantan Barat.
8.    Batalyon Armed 17/105 mm berkedudukan di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam.
9.    Batalyon Armed 18/105 mm berkedudukan di Berau, kalimantan Timur.
10.  Batalyon Armed 19/105 mm Kostrad berkedudukan di Bolang Mongondow, Sulawesi Utara.
Dalam sebuah hitungan diatas kertas, sebagai contoh Yon Armed 1/105mm, dilengkapi dengan 3 baterai meriam dengan jumlah total 18 pucuk. Sebagai informasi, satuan di bawah batalyon untuk artileri disebut baterai sebagai pengganti elemen kompi. Bila satu batalyon memiliki 18 pucuk meriam, maka populasi M2A2 yang dimiliki TNI AD paling tidak ada 180 pucuk.
Menurut Wikipedia, M2A2 dibuat oleh Rock Island Arsenal, manufaktur senjata dari AS. Versi awal meriam ini dikembangkan dari platform Howitzer M101, dan mulai dioperasikan oleh AD Amerika Serikat pada 1940. Mengawali kiprah di tahun 40-an, meriam ini sudah pasti diikutkan dalam kancang Perang Dunia Kedua, digunakan oleh AS baik saat melawan Nazi Jerman dan Jepang di palagan Pasifik. Hingga akhir Perang Dunia II, meriam M101 telah diproduksi sebanyak 8.536 pucuk. Dari informasi yang didapat, hingga 1953, meriam yang laris manis ini telah diproduksi 10.202 pucuk.

Kehadiran elemen artileri pertahanan udara (Arhanud) mutlak diperlukan untuk melindungi obyek-obyek penting negara. Salah satu arsenal Arhanud milik Indonesia adalah rudal RBS-70. Meski bukan produk baru, rudal ini masih jadi tulang punggung pertahanan udara, selain rudal Grom. Sampai saat ini RBS-70 dioperasikan oleh Batalyon Arhanud Kodam dan Kostrad. Sifatnya yang mobile, alias mudah dipindahkan dan dirakit membuat rudal buatan Saab Bofors Dynamics, Swedia ini banyak dipakai oleh militer di banyak negara. Untuk gelar operasinya, RBS-70 umumnya dipadukan dengan radar Giraffe sebagai pemandu target.
Dalam konsep rancangannya, RBS-70 dikembangkan sebagai senjata pertahanan udara yang mudah
Rudal RBS-70
Rudal RBS-70
digunakan dan dapat dioperasikan dengan biaya perawatan rendah. Rudal ini mulai diproduksi pada tahun 1977. Meski masuk dalam kelas Manpads (man portable), tapi rudal ini dalam pengoperasiannya tidak bisa dipanggul, peluncur RBS-70 berikut alat bidik berupa teropong monoculer hanya bisa diletakkan pada dudukan peyangga berupa tripod yang memiliki berat 24 kg. Dengan desain model penyangga maka RBS-70 sangat ideal ditempatkan pada jip model Land Rover, seperti yang biasa digunakan oleh Arhanud TNI AD.

RBS-70 Arhanud TNI-AD
RBS-70 Arhanud TNI-AD
13425120162029389603


Terima kasih 
Sumber: Google Search, Wikipedia, e-book, paper, perpustakaan pribadi, nara sumber, Rumor Intelijen Asing,


PS:
Penulis  Mudy  mohon maaf  yang sebesar-besarnya kepada para pemenang tender, kontraktor, dan sub-kontraktor terkait pengadaan alutsista yang diacu oleh penulis. Penulis tidak memiliki kepentingan apapun terkait bisnis tersebut. Tulisan-tulisan ini semata-mata demi kemajuan Indonesia, demi terjaganya udara nusantara, serta demi terwujudnya kemampuan tempur moderen TNI untuk mempertahankan kepentingan bangsa. Agar di masa depan, akuisisi alutsista tidak sekadar daftar belanja, melainkan benar-benar memikirkan kemampuan tempur TNI untuk mencapai MEF yang sebenarnya.


2 komentar:

  1. Dewan Pimpinan Ranting PARTAI AMANAT NASIONAL Pondok karya Pondok Aren Tangsel Banten menilai sudah saatnya TNI.AD,TNI.AU dan TNI.AL memperkuat RUDAL ARHANUDSE-nya,contoh saja TNI.AL melirik RUDAL BRAHMOS,kenapa tidak TNI.AU dan TNI.AD melirik S.300,S.400-RUDAL HQ.16.Kalau dulu Presiden Soekarno mampu mendatangkan alutsista dari RUSIA?,Sekarang dimasa Presiden SBY ditantang jauh lebih besar,agar dapat memperkuat ARHANUDSE negara kita?...

    BalasHapus
  2. terlalu meng ada-ada

    BalasHapus

BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog