20 Mei 1908 - 20 Mei 2013. Kemarin kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-105. Satu abad lebih sudah kesadaran berbangsa kita terbentuk dan menjadi embrio kuat bagi terbentuknya negara yang kemudian diproklamasikan 17 Agustus 1945. Dasar tujuan berbangsa dan bernegara dinyatakan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945. Awal Reformasi 21 Mei 1998 juga patut disandingkan dalam memaknai Kebangkitan Nasional kali ini. Kebangkitan Nasional dan ruh Reformasi bukan hal yang terpisah. Ia melengkapi satu sama lain. Kebangkitan Nasional adalah semangat yang mendasari keberadaan bangsa dan negara Indonesia, sementara Reformasi adalah momentum atau jeda yang meluruskan perjalanan bangsa yang dianggap keluar jalur. Yang keluar dari prinsip-prinsip UUD 1945.
Alinea kedua Pembukaan UUD 1945
menyatakan: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945 adalah pintu gerbang. Tugas
negara selanjutnya adalah membawa Indonesia yang merdeka dan berdaulat
menuju bangsa berkeadilan dan makmur. Penjabarannya tertera dalam
pasal-pasal UUD 1945.
Indonesia merdeka, sudah jelas dan
diakui dunia. Tak ada satu makhluk pun di dunia ini yang masih meragukan
bahwa Indonesia adalah negara merdeka. Namun tentang Indonesia
berdaulat, hal ini yang masih menjadi persoalan. Berdaulat berarti
mempunyai kekuasaan penuh (kekuasaan tertinggi) untuk mengatur suatu
pemerintahan. Negara yang berdaulat adalah suatu negara yang telah
mendapatkan kekuasaan penuh untuk mengatur pemerintahannya. Tidak ada
kekuasaan lain yang dapat mendikte dan mengontrol negara tersebut. Dalam
konteks Indonesia, UUD 1945 menjadi dasar dan tujuan negara. Keluar
dari acuan UUD 1945 berarti kehidupan bernegara kita patut direformasi.
Dikembalikan ke bentuk awal (reform).
Berdaulat dalam konteks menuju bangsa
berkeadilan dan makmur, kini masih menjadi pertanyaan. Dalam perjalanan
68 tahun sebagai bangsa merdeka masih banyak persoalan yang belum
menunjukkan kedaulatan dan kemandirian kita. Hic et nun, sekarang dan di
sini, perjalanan kemandirian bangsa masih berlangsung. Bentuk
kemandirian dan kedaulatan yang kasat mata adalah potret industri kita.
Apakah industri kita sudah mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, seperti
amanat UUD 1945.?
Potensi sumber alam dan manusia yang berlimpah belum
juga membuat Indonesia berdaulat dan mandiri. Pemimpin dan teladan, dua hal yang makin langka di negeri ini.
Pemimpin berdiri di atas semua golongan, mengutamakan kepentingan semua
lapis warganya. Tak lagi memikirkan kepentingan partai, jabatan,
kelompok apalagi keluarganya. Tindakan seorang pemimpin semestinya
menunjukkan prinsip-prinsip tersebut. Pemimpin dibebankan
sejarah untuk memberi kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya rakyat yang
dipimpinnya. Kemaslahatan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Bukan
kemaslahatan partainya, bukan pula keluarganya. Oleh karenanya, tindakan
seorang pemimpin –yang genuine leader— otomatis akan menjadi teladan di
masyarakat. Pemimpin lahir dan hadir dari kebutuhan bangsanya bukan Boneka Pemimpin Negara yang menjaga agar kepentingan ekonomi Asing terpilihya Presiden Boneka hasil pencitraan konspirasi Negara negara Asing yang Mengeksploitasi Sumber Alam Indonesia selama 4 dekade
Ekonom Thee Kian Wie
yang meneliti sejarah ekonomi Indonesia sejak 1950 hingga 1990-an
mengungkap: sejak merdeka, ekonomi Indonesia selalu dipenuhi langkah
kebijakan yang merupakan coba-coba dibanding ketimbang langkah yang
didasarkan pada analisis dan rancangan yang cermat. Yang lebih
memprihatinkan lagi, langkah coba-coba di masa lalu itu amat sering
dilupakan. Padahal, seperti kata peribahasa: barang siapa gagal belajar
dari sejarah, ia akan dikutuk mengulangi sejarah. Katakanlah, Reformasi
1998 lalu kita dikutuk untuk mengulangi sejarah. Persoalannya, apakah
kita sudah benar-benar belajar? Banyak yang menyangsikan hal itu. Malah
dikatakan, reformasi kita dibajak kaum bermodal (kapitalis). Penguasaan
sumber daya alam contohnya. Masih banyak sumber daya alam kita yang
dikelola asing. Negara, dengan berbagai alasan, malah menyerahkan kepada
asing. Industri kita belum beranjak menjadi kekuatan yang memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Mandiri dan berdaulat secara ekonomi masih jauh
dari kenyataan. Kita makin tergantung impor.
Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan
Korea Selatan. Indonesia dan Korea Selatan merdeka hampir bersamaan
waktunya. Korea Selatan merdeka 15 Agustus 1945. Kini negara itu menjadi
kekuatan ekonomi dunia. Kebijakan industri Korea Selatan
berkesinambungan, tahun demi tahun, walau kekuasaan politik berganti,
berjalan sesuai target tetap, bukan coba-coba. Sadar dengan kekayaan
alam yang sangat terbatas, pemimpin Korea Selatan merancang industri
yang mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya dan bersaing dengan produk
asing. Kini di umur yang sama dengan Republik Indonesia, industri Korea
Selatan mampu ‘menguasai’ dunia.
Pada 1950, Korea Selatan adalah salah
satu negara termiskin di dunia. Sama miskinnya dengan negara-negara
termiskin di Afrika dan Asia. Ekonominya hanya bersandar pada pertanian,
belum lagi sempat hancur gara-gara pendudukan Jepang dan Perang Korea.
Selama empat dekade, Korea Selatan berubah cepat dari negara termiskin,
menjadi salahsatu Negara paling kaya dan tercanggih di dunia dengan
nilai ekonomi trilyunan dollar. Pada 1963, GDP perkapitanya cuma USD100.
Tahun 1995 sudah USD10.000. Dan pada 2007, USD25.000. Goldman Sachs
meramalkan 2050 Korea Selatan akan jadi negara terkaya nomor dua dunia,
mengalahkan semua bangsa lainnya kecuali Amerika dengan pendapatan per
kapita USD81.000. Korea juga tercatat sebagai bangsa dengan kecepatan
pertumbuhan ekonomi tercepat sepanjang sejarah.
Apa yang mengubah Korea Selatan?
Pemerintahnya berpikir soal industri baja itu sendiri secara masak.
Mereka merancang strategi jangka panjang dan konsisten melaksanakan itu.
Walau kekuasaan politik berganti, kebijakan strategis tetap dijalankan.
Ini berbeda dengan dengan Indonesia. Tiap rezim menjalankan agenda
coba-cobanya sendiri.
Hampir semua negara di dunia ini
mendambakan memiliki industri baja yang kuat dan tangguh. Karena
industri baja adalah mother industry (ibu segala industri). Kemajuan
industri baja pasti memicu penguatan sektor industri lainnya di suatu
negara. Kenapa demikian? Karena semua industri, apalagi industri berat,
bertumpu pada baja. Bagaimana suatu negara bisa membangun industri alat
rumah tangga, mesin jahit, elektronik, mobil, pesawat, kapal laut,
senjata, perakitan mesin, konstruksi dan lainnya, jika tidak dipasok
dengan baja berkualitas.
Jerman bisa menjadi raksasa menakutkan
dalam Perang Dunia I dan II karena memiliki industri baja yang tangguh
untuk memproduksi tank, pesawat, kapal laut dan lain sebagainya. Jepang
juga demikian. Meski industri bajanya tangguh, namun kedua negara
tersebut miskin bahan baku sehingga perlu mencaplok negeri lain.
Logikanya Indonesia bisa jadi superpower
baja karena deposit bijih besi yang kita miliki 320,43 juta ton!
Industri baja pun sudah kita rintis sejak 1970 dengan Krakatau Steel di
Cilegon, Banten. Sayangnya kita belum mampu mengeksplorasi maksimal
ratusan ton bijih besi itu. Banding dengan industri baja Korea Selatan,
Posco yang sama-sama berdiri pada 1970. Posco rata-rata mampu
memproduksi baja 28 juta ton per tahun, sementara KS hanya 2,5 juta per
tahun. Setelah 30 tahun industri baja Korea Selatan tumbuh, merek-merek
seperti Hyundai, KIA, Samsung dan sebagainya membanjiri dunia. Sementara
Indonesia kini malah kewalahan menghadapi berbagai produk asing
termasuk produk baja, khususnya dari China.
Pelajaran dari Korea Selatan adalah
bukti political will pemerintahnya yang tinggi dan konsisten terhadap
pembangunan bangsanya. Bukti strategi kebijakan industri yang terus
menerus berkesinambungan. Mentalitas rakyat akan terbentuk dengan bangga
dan cinta menggunakan produk lokal. Indonesia adalah pasar produktif
dan prospektif.
Kini industri baja kita malah dijual
pemerintah. Apakah kita tidak malu melihat bangsa-bangsa lain mampu
membuat dan memiliki merek sendiri atas mobil, pesawat, kapal laut,
mesin jahit, elektronik dan sebagainya. Sementara negeri yang kaya raya
ini hanya jadi objek pemasaran produk asing.Bangkit, mandiri dan
sejahteralah bangsaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????