Sebanyak
25 tahanan dan narapidana kasus makar yang sedang menjalani hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura menolak rencana pemberian grasi dari
pemerintah Indonesia kepada mereka pada Agustus nanti.
Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua Peneas Lokbere kepada VOA menegaskan, para tahanan politik itu menandatangani surat pernyataan yang ditujukan langsung ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentang penolakan grasi tersebut.
“Saya pikir itu tidak tepat. Ini sebuah penghinaan bagi bangsa Papua. Pemerintah Indonesia memberikan grasi, tapi akar pasal makar tetap terus melekat terhadap orang Papua. Kapanpun dan siapapun akan terus menghadapi ancaman penerapan pasal makar ini. Mereka dipenjara dengan hukuman berkisar 15 sampai 20 tahun penjara. Padahal mereka tidak mengorbankan kepentingan banyak orang tapi mereka dipenjara dengan hukuman yang sangat tinggi,” ujarnya.
“Bahkan ada juga para tahanan yang mengalami penyiksaan di penjara seperti Ferdinand Pakaya di LP Abepura. Mata sebelah kanannya mengalami rusak permanen. Ia dipukul oleh petugas LP Abepura. Jadi para tahanan politik papua membuat petisi menolak rencana Presiden Indonesia memberikan grasi kepada mereka.”
Pemerintah Indonesia, tambah Peneas, sebaiknya tidak mengeluarkan grasi terhadap para tahanan politik Papua, tapi membebaskan secara murni tanpa syarat apapun.
Aktivis National Papua Solidarity (NAPAS) Elias Patege mengatakan solusi terbaik dari permasalahan masalah Papua yang berlarut-larut ini adalah dialog damai dengan di mediasi oleh pihak ketiga. Pemerintah, tambahnya, secara bertahap sudah harus mengurangi jumlah militer di Papua.
“Solusi yang ditawarkan oleh rakyat Papua adalah dialog yang di mediasi oleh pihak yang netral. Dimana melalui dialog itu merumuskan, menetapkan apa solusi kedepan atas konflik politik yang sudah terjadi sejak 50 tahun yang lalu. Pemerintah harus punya niat yang baik untuk menyelesaikan konflik Papua secara komprehensif dan tidak secara parsial. Dimana saat ini secara sepihak pemerintah menerapkan kesejahteraan tapi disisi lain juga menerapkan pengiriman militer yang terus meningkat,” ujarnya.
Elias menambahkan, dari data yang dihimpun NAPAS, pada akhir Mei 2013, terdapat 76 orang tahanan politik di lembaga pemasyarakatan di Papua. Dalam minggu pertama Mei, menurutnya, tampak peningkatan jumlah penangkapan demonstrasi karena aktivitas mereka pada 1 Mei 2013 dalam memperingati 50 tahun pemindahan administrasi Papua ke Indonesia.
Dari data NAPAS, ujar Elias, telah terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan berkenaan dengan aktivitas dalam peringatan tersebut. Tiga orang aktivis meninggal dunia di Sorong, 36 orang ditangkap -- 30 orang diantaranya masih ditahan dan diduga mengalami penyiksaan di Timika dan Jayapura.
Dalam rilis yang diterima VOA, sebanyak 25 tapol/napol menandatangani surat pernyataan tentang penolakan grasi tersebut. Salah satu tahanan politik Filep Karma menuliskan bahwa mereka menolak grasi tersebut karena tidak membutuhkan dibebaskan dari penjara, tetapi menuntut pembebasan bangsa Papua dari penjajahan negara kolonial Republik Indonesia.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Darah Papua menyebutkan, Agustus mendatang sebanyak 50an tapol/napol akan mendapatkan grasi dari pemerintah pusat. Grasi tersebut merupakan salah satu poin dari 20 point tentang otonomi khusus plus.
Pemerintah hingga kini belum berkomentar soal penolakan grasi dari para tapol Papua ini. Namun juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha usai pertemuan Presiden dengan Gubernur Papua Mei lalu memastikan, pemerintah tetap berkomitmen menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai.
“Karena tentu pandangan Presiden, semangat yang ada di pemerintahan daerah Papua saat ini dengan semangat yang ada di sebagian besar masyarakat Indonesia itu sama, yaitu ingin agar penyelesaian solusi damai tercipta dui Papua yang lebih bermartabat dan lebih berkeadilan. Ini yang sedang diupayakan bersama,” ujarnya.
Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua Peneas Lokbere kepada VOA menegaskan, para tahanan politik itu menandatangani surat pernyataan yang ditujukan langsung ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tentang penolakan grasi tersebut.
“Saya pikir itu tidak tepat. Ini sebuah penghinaan bagi bangsa Papua. Pemerintah Indonesia memberikan grasi, tapi akar pasal makar tetap terus melekat terhadap orang Papua. Kapanpun dan siapapun akan terus menghadapi ancaman penerapan pasal makar ini. Mereka dipenjara dengan hukuman berkisar 15 sampai 20 tahun penjara. Padahal mereka tidak mengorbankan kepentingan banyak orang tapi mereka dipenjara dengan hukuman yang sangat tinggi,” ujarnya.
“Bahkan ada juga para tahanan yang mengalami penyiksaan di penjara seperti Ferdinand Pakaya di LP Abepura. Mata sebelah kanannya mengalami rusak permanen. Ia dipukul oleh petugas LP Abepura. Jadi para tahanan politik papua membuat petisi menolak rencana Presiden Indonesia memberikan grasi kepada mereka.”
Pemerintah Indonesia, tambah Peneas, sebaiknya tidak mengeluarkan grasi terhadap para tahanan politik Papua, tapi membebaskan secara murni tanpa syarat apapun.
Aktivis National Papua Solidarity (NAPAS) Elias Patege mengatakan solusi terbaik dari permasalahan masalah Papua yang berlarut-larut ini adalah dialog damai dengan di mediasi oleh pihak ketiga. Pemerintah, tambahnya, secara bertahap sudah harus mengurangi jumlah militer di Papua.
“Solusi yang ditawarkan oleh rakyat Papua adalah dialog yang di mediasi oleh pihak yang netral. Dimana melalui dialog itu merumuskan, menetapkan apa solusi kedepan atas konflik politik yang sudah terjadi sejak 50 tahun yang lalu. Pemerintah harus punya niat yang baik untuk menyelesaikan konflik Papua secara komprehensif dan tidak secara parsial. Dimana saat ini secara sepihak pemerintah menerapkan kesejahteraan tapi disisi lain juga menerapkan pengiriman militer yang terus meningkat,” ujarnya.
Elias menambahkan, dari data yang dihimpun NAPAS, pada akhir Mei 2013, terdapat 76 orang tahanan politik di lembaga pemasyarakatan di Papua. Dalam minggu pertama Mei, menurutnya, tampak peningkatan jumlah penangkapan demonstrasi karena aktivitas mereka pada 1 Mei 2013 dalam memperingati 50 tahun pemindahan administrasi Papua ke Indonesia.
Dari data NAPAS, ujar Elias, telah terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan berkenaan dengan aktivitas dalam peringatan tersebut. Tiga orang aktivis meninggal dunia di Sorong, 36 orang ditangkap -- 30 orang diantaranya masih ditahan dan diduga mengalami penyiksaan di Timika dan Jayapura.
Dalam rilis yang diterima VOA, sebanyak 25 tapol/napol menandatangani surat pernyataan tentang penolakan grasi tersebut. Salah satu tahanan politik Filep Karma menuliskan bahwa mereka menolak grasi tersebut karena tidak membutuhkan dibebaskan dari penjara, tetapi menuntut pembebasan bangsa Papua dari penjajahan negara kolonial Republik Indonesia.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Darah Papua menyebutkan, Agustus mendatang sebanyak 50an tapol/napol akan mendapatkan grasi dari pemerintah pusat. Grasi tersebut merupakan salah satu poin dari 20 point tentang otonomi khusus plus.
Pemerintah hingga kini belum berkomentar soal penolakan grasi dari para tapol Papua ini. Namun juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha usai pertemuan Presiden dengan Gubernur Papua Mei lalu memastikan, pemerintah tetap berkomitmen menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai.
“Karena tentu pandangan Presiden, semangat yang ada di pemerintahan daerah Papua saat ini dengan semangat yang ada di sebagian besar masyarakat Indonesia itu sama, yaitu ingin agar penyelesaian solusi damai tercipta dui Papua yang lebih bermartabat dan lebih berkeadilan. Ini yang sedang diupayakan bersama,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????