Jum'at, 20 Maret 2009, 08:14 WIB
Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto
Bima Arya Sugiarto
Meninjau Koalisi
news - Saat ini Indonesia memasuki fase yang sama seperti yang dialami oleh negara-negara demokrasi baru. Biasanya kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi (perwakilan rakyat yang dikejewantahkan melalui partai dan koalisi), tanpa terlalu mengindahkan aspek governabilitas atau cara memerintah.
Perlu diingat, kuat atau tidaknya suatu pemerintahan bukan hanya bergantung pada aspek koalisi. Namun di manapun, kebanyakan presiden yang datang dari partai minoritas memang mengalami deadlock (jalan buntu). Atau setidaknya hambatan, dalam meloloskan kebijakan pemerintahannya di parlemen – yang notabene dikuasai oleh partai mayoritas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna membangun sistem pemerintahan yang efektif. Misalnya, bagaimana merumuskan sistem pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
Jika pileg dan pilpres disatukan, maka akan lebih efektif karena preferensi publik didorong untuk memilih koalisi lebih awal. Partai-partai pun akan membangun koalisi lebih awal, sehingga koalisi tidak melulu pragmatis, dan mandat rakyat akan lebih kuat.
Desain wewenang antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) pun harus diberi garis demarkasi (pembatasan) yang lebih jelas. Ini penting karena meskipun pemerintahan terdiri dari koalisi besar (lebih dari 50 persen), namun hal itu akan menjadi percuma seandainya kewenangan eksekutif tidak tercantum secara tegas dalam konstitusi. Sebesar apapun koalisi, akan sia-sia saja bila wewenangnya tidak dipayungi oleh konstitusi yang merupakan hukum tertinggi di suatu negara.
Bayangkan saja bila pembagian tugas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak jelas. Bagaimana mungkin presiden yang hanya dibantu oleh puluhan orang menterinya, bisa melawan lebih dari 500 orang di parlemen? Dengan demikian, eksekutif akan efektif hanya bila didukung oleh constitutional power (kekuatan konstitusional).
Leadership style ( gaya kepemimpinan) juga menjadi faktor penting dalam membangun pemerintahan yang efektif. Bila seorang pemimpin tidak lincah, tidak canggih, lebih banyak diam, tidak bisa merumuskan agenda taktis dan strategis, maka bagaimana pemerintahan yang dipimpinnya bisa menyelesaikan berbagai persoalan bangsa?
Dengan demikian, sistem pileg dan pilpres, desain wewenang antara legislatif dan eksekutif, serta leadership style, merupakan beberapa faktor penting untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang kuat dan efektif. Tentu kuatnya ikatan dan komitmen dari koalisi juga tetap berpengaruh di sini.
Meninjau kemungkinan koalisi antara PDIP dan Golkar, koalisi besar antara dua gajah ini bisa saja berprospek. Namun bila koalisi terlalu kuat, dikhawatirkan check and balances antarlembaga eksekutif dan legislatif justru tidak bisa berjalan. Ini karena parlemen dikuasai oleh partai koalisi, sehingga oposisi yang merupakan minoritas di parlemen tidak bisa mengkritisi dan mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah secara efektif.
Bagaimanapun, koalisi sangat sulit dibangun dalam sistem multipartai seperti yang saat ini berlaku di Indonesia. Terlalu banyaknya partai membuat ikatan koalisi menjadi longgar. Selain itu, kohesifitas antarpartai pun menjadi lemah. Contohnya Jusuf Kalla (JK) menang pemilu dan kemudian didukung oleh PDIP secara organisasi. Benar bahwa PDIP secara formal mendukung JK. Namun tidak ada jaminan bahwa di internal PDIP tidak ada individu yang membandel dan menentang kebijakan partainya sendiri.
Disarikan dari Bima Arya Sugiarto, doktor dalam bidang ilmu politik dari Australian National University, dalam dialog ‘Membangun Pemerintahan yang Kuat dan Efisien’ di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????