Senin, April 19, 2010
Islam Politik dan Formasi Otoritas Haba’ib Dari Kwitang Hingga FPI
Habaib
Keberadaan Habaib telah menarik perhatian banyak pihak dari masa kolonial hingga sekarang. Habaib dipotret sebagai orang Indonesia yang mempunyai otoritas religius tetapi berbeda dengan yang lain, karena hubungan geneologisnya dengan Muhamad SAW. Habaib merupakan panggilan kehormatan pada para sayyid keturunan Ba alawi atau Al-alawiyah yang kemudian melahirkan keluarga-keluarga seperti Basyir, Shahab, Alatas dll. Pusat Kajian Agama dan Kebudayaan (CSRC), UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, beberapa waktu lalu mengadakan sebuah diskusi meja-bundar untuk membahas fenomen politik para Haba’ib tersebut dengan mengundang pembicara Ismail F. Alatas, Research Scholar Department of History, National University of Singapore (NUS). Peneliti Interseksi, Dina Amalia Susamto menuliskan laporannya untuk Anda.
Ismail F. Alatas, membuka presentasinya dengan sebuah kutipan dari Gunawan Muhamad yang menulis tentang seorang Jawa yang menggurui dua orang klan dari Arab yaitu baasyir Shihab, bahwa bangsa ini merupakan bangsa yaKeberadaan Habaib telah menarik perhatian banyak pihak dari masa kolonial hingga sekarang. Habaib dipotret sebagai orang Indonesia yang mempunyai otoritas religius tetapi berbeda dengan yang lain, karena hubungan geneologisnya dengan Muhamad SAW. Habaib merupakan panggilan kehormatan pada para sayyid keturunan Ba alawi atau Al-alawiyah yang kemudian melahirkan keluarga-keluarga seperti Shahab, Alatas dll.
Balalawi merupakan suatu tarikat yang berbeda dengan tarikat lainnya. Balalawi tidak mempunyai ordo. Ia adalah sebuah kompleks yang mempunyai wali, ritual, teks-teks, tempat-tempat suci di Hadramaut, network yang dikukuhkan oleh persahabatan, dan garis genealogis.
Pada saat Balalawi meninggalkan hadramaut, hubungan genealogis Al-alawiyah tetap dijaga identitasnya dengan cara mengingatkan para pengikutnya, membedakan keturunan Balalawi dengan yang lain. Kekuatan genealogis ini menyukseskan keberadaan para habaib di tempat-tempat baru dimana mereka berada.
Ketika masuk ke Nusantara mereka melebur dengan masyarakat lokal setempat dan tidak takut bahwa kearaban mereka akan hilang, karena yang terpenting bukan kearaban tapi geneologi mereka yang tetap utuh. Baru pada awal abad ke-20, akhir abad ke-19, setelah pesatnya perkembangan teknologi mendekatkanjarak hadramuth ke Nusantara, muncul paham-paham baru modernisme, Arabisme. Pemerintah kolonial mempunyai peranan yang besar mengubah kerangka pikir orang-orang Hadramuth ini di bawah kerangka etnisitas Arab, sejak mereka ditempatkan dalam ghetto-ghetto yang terpisah dengan masyarakat lokal. Proses asimilasi pada saat itu berhenti dan mereka menginternAlisasi bahwa mereka keturunan Arab yang menggurui saudara mereka, masyarakat lokal.
Ketika kolonialisme, orang-orang Hadramaut ini lebih banyak membicarakan tentang negeriasal mereka, semacam long distance nationAlity. Mereka menulis di surat-surat kabar tentang tanah asal mereka. Hal ini menimbulkan respon dari kalangan nasionalis Indonesia seperti Sukarno, Agus Salim, dan lain-lain sehingga akhirnya mereka dikeluarkan dari pergerakan nasionalis Indonesia, seperti Syarikat Islam. Padahal awalnya mereka juga banyak berperan dalam pergerakan tersebut.
Seorang Abrahm Baswedan kemudian melihat bahaya situasi ini dan membuat pernyataan; “kita harus mengubah kearaban menjadi keindonesiaan. Kemudian ada semacam sumpah pemuda turunan Arab, bahwa mereka bertumpah darah indonesia, bertanah air Indonesia. Para habaib dari ba alawiyah ini pun yang semula hanya mempunyai tarekat keluarga, menjadi lebih lebur dengan keindonesiaan.
Ada tiga tokoh Habaib yang berperan dalam perjalanan sejarah Habaib di Indonesia.
1. Abdul Rahman Al-Habsyi/ Habib Ali Kwitang (1870)
Habib Ali Kwitang yang merupakan murid dari Habib Usman Bin Yahya, sangat mengikuti jalan politik sunni yang akomodatif terhadap power struktur. Internalisasi keislmannya salah satunya adalah dengan menyerang praktik-praktik azimat yang membodohi masyarakat dan digunakan untuk melawan otoritas pemerintah kolonial yang sah. Paham sufi yang diajarkannya yaitu kesalehan profetik yang mengartikulasikan tasawuf berdasarkan orientasi syariah yang mengikuti sunnah nabi secara internal dan eksternal. Aliran tasawuf yang diajarkannya diterima oleh kalangan islam reformis. Habib Ali kwitang juga bermain di kubu para nasionalis. Ia menunjukkan nasionalismenya dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam ceramah-ceramahnya.
Agenda-agenda yang dijalankan oleh Habib Ali Kwitang adalah membangun jaringan dengan mengunjungi kyai-kyai kampung di seluruh betawi. Ia juga membuka taklim dengan kalangan masyumi dan mengajak kyiai-kyai kampung beserta murid-muridnya untuk datang dalam majlis tersebut, sehingga kyai-kyai ini sangat menyuport kwitang. Agenda yang paling penting dilaksanakan dalam rangka menguatkan identitas genealogis al-alawiyah adalah mengadakan maulid nabi tiap tahun, dimana habib sebagai cucu nabi sangat diistimewakan. Sunah nabi sering digunakan untuk menguatkan otoritas mereka sehingga meskipun keluar dari etnisitas Arab, tetapi identitas mereka secara geneologi al-alawiyah dapat utuh. Sunah tersebut adalah:
“aku tinggalkan padamu 2 perkara, yaitu Al-Qurnan dan keturunanku, maka ikutilah.” Kemahiran Habib Ali Kwitang dalam jaringan ini menurut Alatas membuat Kwitang menjadi sentral, meskipun hal tersebut tidak diakui oleh Habib di bungur, Bogor, karena Kwitang dekat dengan kolonial.
2.Habib Ali Husein Alatas (1889)/Habib Bungur,
Berbeda dengan habib Kwitang, Habib ini tidak bisa berpidato. Meskipun ia sering melontarkan kritik-kritik terhadap Kwitang, tetapi ia tetap mendatangkan murid-murid senior di Kwitang untuk mengajar di Bungur, Peranannya mengintensifikasikan jaringan yang dibuat Habib Kwitang dengan menulis buku tentang tokoh-tokoh Habaib yang menjadi tokoh utama dalam penyebaran agama Islam di Nusantara sejak zaman kerajaan Demak hingga Banten. Teks tersebut bertujuan membangun komunitas dan imajinasi para kyai-kyai di Indonesia. Ini dikuatkan dengan mobilitas Habaib bersama kyai-kyai kampung untuk mengadakan tur ziarah ke seluruh situs-situs suci tarekat Al-alawiah. Komunitas tekstual dan mobilitas ini juga dimanfaatkan oleh kyai-kyai kampung untuk mencitrakan diri terutama kyai-kyai yang tidak mempunyai trah ulama tradisional.
3. Habib Ali Ibnu Jidan
Habib ini bukan seorang yang akomodatif terhadap keberadaan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Ia seorang nasionalis yang masih menggunakan trah Balalawi. Ia mempunyai kelompok dalam perawian hadis yang disanadkan oleh internal Bal-alawi, bapak-anak, bapak-anak dst. Hadis ini dapat mensuport genealogi para Habib yang merupakan cucu nabi. Ibnu Jiddan menurut Alatas mengindonesiakan gelar habib menjadi KH. Sayyid, dalam rangka keluar dari kerangka etnisitas kearaban. Habib Ali Jidan adalah Habib pertama yang masuk dalam partai golkar. Kejadian ini banyak mengundang protes para kyai-kyai masyumi dan NU di kwitang termasuk Habib Bungur, sehingga mereka meninggalkan kwitang. Kwitang pada saat itu menjadi hancur. Tetapi dalam kehancurannya Habib Ibnu Jidan bersama Presiden Suharto saat itu membangun suatu Islamic Centre yang pertama di Indonesia.
Pada akhirnya bagaimana formasi tarekat alawyah yang semula adalah tarekat keluarga ini menjadi dapat beradaptasi dengan diskursus lain. Rekonfigurasi para Habaib ini membuat keberadaan Habaib terus eksis. Terbukti tahun 1997 banyak pihak memanfaatkan kapital sosial para Habaib untuk membangun jaringan massa secara informal yang mudah dibentuk dan dibubarkan, diantaranya kalangan militer dalam PAN Swakarsa. Alatas juga mengatakan FPI merupakan salah satu yang dimanfaatkan status quo. FPI merupakan kombinasi sejarah formasi Habaib dan otoritasnya serta konteks politik kontemporer Indonesia.
Dari paparan Alatas di atas menurut Rohedi, penanya pertama, tampak para Habaib ini cenderung dekat pada kekuasaan. Ini bukan persoalan lebur pada masyarakat lokal, menurut Roheidi, ini persoalan bagaimana para Habaib menancapkan pengaruh di tempat-tempat baru dalam diaspora mereka dari Hadramuth. Mungkin ada latar belakang atau political context yang menyebabkan mereka mencari tempat-tempat baru. Masih behubungan dengan situasi di Hadramuth dan keterkaitannya dengan para klan ini di Nusantara, penanya kedua menggunakan istilah rivalitas yang diimport dari Hadramuth ke Indonesia, tantang persoalan siapa yang dominan diantara klan-klan tersebut, dan bagaimana dengan klan Al-aidit yang nampaknya tidak mempunyai akses seperti klan Alatas misalnya dalam hal pendidikan. Penanya kedua juga mempertanyakan tantang FPI yang bahasannya hanya sekilas, apakah yang menyebabkan Habib Riziq nampaknya berbeda dengan para Hbaib yang lain, dalam cara pandang terhadap agama dan politik, apakah ini berkaitan dengan perbedaan ratib dalam liturgi yang dibawakan oleh habib Riziq?Penanya ketiga menanyakan matapencaharian Para Habaib, karena ia melihat berapa otoritas disalahgunakan oleh para Habaib dalam mengambil keuntungan ekonomi.
Alatas memaparkan bahwa sejak di Hadramaut memang para habib ini dekat dengan kekuasaan. Tapi Habib Usman Yahya, guru Habib Ali Kwitang, merupakan murid dari 1 generasi yang protes terhadap politik praktis di Hadramuth. Ketika di Indonesia tradisi itu tetap berlangsung, karena memang diakui bahwa dekat dengan kekuasaan adalah cara paling efektif untuk mempengaruhi. Hanya 1 atau 2 Habaib yang berada pada posisi oposan. Tokoh-tokoh dalam klan-klan yang dominan adalah keluaga-keluarga yang mempunyai otoritas religius yaitu Bin Jidan, Alatas dan Al-Habsyi. Antar keluarga ini memang mempunyai kecenderungan yang berbeda, yang mempengaruhi aktivitas mereka. Al-aidit adalah klan yang resesif sehingga tidak muncul dalam perpolitikan para habaib.
Pembacaan ratib hanya liturgical technic yang tidak berpengauh dalam pemahaman agama dan politik. Menurut Alatas yang membuat Habib Riziq berbeda dengan para Habaib yang lain karena sejak kecil pendidikan Habib Riziq di Saudi Arabia. Menjawab pertanyaan tentang fenomena para Habaib yang menggunakan otoritasnya untuk keuntungan ekonomi menurut Alatas merupakan suatu kenyataan yang bukan tidak dikritik oleh generasi muda Al-alawiyah. Ada sebuah anekdot tentang pergeseran dari otoritas religius ke kebutuhan ekonomi ini :
seorang Habaib berwasiat pada anaknya, “Nak, kalau kamu bangkrut, sudah tidak punya apapun, betul-betul habis bukalah ini.” Sang ayah memberikan satu bungkus kotak. Di suatu hari ketika anak Habaib ini benar-benar bangkrut, ia membuka isi kotak itu, yang ternyata isinya adalah jubah dan sorban.
Keberadaan Habaib menurut Alatas seiring dengan fluktuasi demokrasi di Indonesia digunakan oleh para politisi untuk mendapatkan massa. Bukankah hubungan ini sangat kausalitas mengingat sejak awal para Habaib ini juga menggunakan para penguasa untuk mendapatkan pengaruh massa di tempat-tempat baru orang-orang Hadramuth berdiaspora. Tidak menjadi sesuatu yang baru jika kemudian fenomena ini berlaku sebaliknya dimana para politisi menggunakan para Habaib dan massanya untuk memperoleh kemenangan demokrasi. Simbisosis mutualisme ini dilihat dari sudut pandang para Habaib yang dinyatakan Alatas untuk terus melakukan rekonfigurasi yang adaptif sebagai suatu usaha mempertahankan status quo-nya, sehingga apakah kerangka etnisitas yang berusaha dihilangkan dan diganti kerangka al-alawyah sebagai kuturunan nabi, keduanya tidak mengalami apa yang disebut Alatas sendiri para Habaib yang inklusif, anti kekerasan dan berbeda dengan FPI.
FPI yang dalam analisis hanya disebut sekilas mengeluarkan Habib Riziq dari tradisi habaib Al-alawiyah yang lain dengan alasan dibesarkan di Arab Saudi dan tidak menggunakan tradisi seperti Habaib yang lain tetapi menggunakan otoritas Habib. Meskipun Harun, salah satu penanya, mengatakan bahwa anggap saja Habib Riziq merupakan salah satu habib yang nyleneh, seperti juga Habib Munsyir yang tidak menggunkan metode jaringan kyai-kyai kampung, tetapi persoalan lain adalah penanda genealogis yang membedakan dengan non-alawiyah ini sulit untuk benar-benar lebur dengan masyarakat lokal. Jadi jawaban Alatas pada penanya yang mengatakan apa pentingnya alawiyah dan non-alawyah, juga sekaligus pernyataan yang sama Gunawan Muhamad tentang orang lokal yang menggurui dua klan Baasyir dan Shihab yang seakan ada dikotomi terbalik local-non local. Pernyataan Alatas yang akhirnya mengatakan sulit untuk menjadi 2 entitas sekaligus, tidak seperti orang Jawa atau Sumatara yang pada saat yang sama bisa menjadi orang Indonesia: sedangkan orang arab atau China akan sulit, karena menurut Alatas mereka akan selalu ditempatkan pada narasi histori nasional sebagai keturunan imigran, lalu dijadikan kelompok etnis. Alatas menyebutkan contoh, kalau Amrozi yang meledakkan bom Bali, ia hanya akan dipandang sebagai Amrozi tetapi jika Habib Riziq atau keturunan migran lain akan dipandang lebih dalam lagi latar belakang etnisitasnya, seperti yang dilakukan oleh Gunawan Muhamad dalam menggurui dua klan di atas. Alatas mengatakan, mengetniskan itu tidak perlu lagi dilakukan dalam suatu negara yang demokrasinya sudah dewasa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????