Mengapa hal itu bisa terjadi?
Menjadi tugas intelijen dan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pengkajian secara serius dan segera mengambil langkah-langkah yang efektif dalam membangun identitas keIndonesiaan secara bermartabat dan berdasarkan pada keiklashan dan pemabngunan moral-spirit bangsa yang egaliter tanpa membedakan ras dan suku bangsa.
Bangsa Indonesia didalamnya masih menyimpan potensi besar rasisme dimana antar suku bangsa saling memiliki prasangka dan sikap diskriminasi. Orang Jawa misalnya sering dihina dengan sebutan Jawa koek dan menjadi bahan banyolan di Jakarta, Orang Padang dilabelkan dengan sikap kikir (padang bengkok), orang Batak dengan kekasarannya, orang Betawi yang kampungan, orang papua dengan kebodohan dan hinaan lainnya, dst..dst. Sadarkah kita bahwa semua sikap saling menghina tersebut telah mengoyak persaudaraan kita dalam kebangsaan Indonesia.
Benar bila dikatakan tidak ada bangsa Indonesia, yang ada hanya kumpulan suku-suku bangsa yang secara iklash bersatu membentuk satu bangsa baru Indonesia, hampir sama dengan Amerika yang sebenarnya merupakan kumpulan bangsa imigran dari berbagai benua di dunia.
Bahaya laten dari diskriminasi antar suku bangsa jauh lebih besar dari pada laten komunis ataupun radikalisme agama, karena taruhannya adalah pecahnya Republik Indonesia menjadi negara-negara kecil yang lemah. Oleh karena itu, perlu dibangun sejak dini bagaimana sesungguhnya potret bangsa Indonesia yang ideal dan kita harapkan bersama.
Bangsa Indonesia yang beraneka suku bangsa harus dibangun atas dasar kesamaan derajat sebagai umat manusia. Kita lahir setara sebagai manusia terlepas dari latar belakang etnisitas yang melekat sebagai keturunan dari orang tua kita. Prinsip ini harus ditanamkan sejak usia dini di sekolah dasar dan diperkuat hingga dewasa melalui peraturan yang menjamin bahwa perlakuan diskriminatif melanggar hukum positif di Indonesia.
Sebagai sebuah negara demokratis, sikap anti diskriminasi adalah sejalan. Bahkan dari kacamata adat istiadat maupun agama yang dipeluk di seluruh Nusantara, penghargaan terhadap kemanusiaan yang tidak membedakan latar belakang suku juga sejalan. Lalu dimana letak kesalahan kita sebagai anak bangsa?
Terjadinya pengkotak-kotakan dalam hubungan sosial dan kuatnya penanaman rasa berbeda diantara kita telah melahirkan batasan dalam hubungan sosial yang sehat. Kita hampir selalu menyimpan prasangka terhadap sesama saudara bangsa kita. Padahal kita semua pada saat yang bersamaan mendambakan persaudaraan yang tulus dalam membangun Indonesia Raya.
Setelah kita membangun prinsip-prinsip anti diskriminasi di sekolah dasar dan lanjutan, serta menciptakan koridor hukum yang melindungi kita semua dari tindakan diskriminatif, maka diperlukan pula sebuah tata kelola sosial, ekonomoi dan hukum yang menjamin bahwa prkatek diskriminatif tidak akan dapat berkembang. Hal itu mencakup pendidikan publik melalui berbagai media yang dilakukan secara terus-menerus, bukankah kita memiliki Kementerian Kominfo yang seharusnya melakukan kegiatan tersebut?
Pada tingkat masyarakat, gerakan civil society yang turut memperkuat pondasi anti diskriminasi perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah. Hal ini akan secara efektif menembus sekat-sekat perbedaan. Namun prosesnya tidak boleh dipaksakan melainkan berjalan secara wajar, normal dan bertahap untuk menghindari resistensi yang bersifat kekerasan atau provokasi tertentu dengan memperkuat isu perbedaan.
Keluhan di propinsi lain dalam isu diskriminasi relatif telah mulai menghilang, namun di Papua tampaknya hal ini masih cukup besar dan kita semua wajib membuka mata dan memperhatikan apa yang terjadi di Papua. Perbedaan fisik yang cukup menyolok seringkali menimbulkan "rasa" berbeda, hal inilah yang harus kita proses dalam persaudaraan sejati demi masa depan kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Apabila "rasa" tersebut tidak dapat diatasi dengan pendidikan, dengan pembangunan komunikasi sehat, dengan proses pembauran yang wajar serta dengan sikap saling menghormati, tentunya kita akan terus terjebak dalam pe"rasa"an berbeda, membedakan dan dibedakan. Kesempatan kepada saudara kita di Papua untuk belajar di propinsi lain dan diperlakukan secara wajar sebagai saudara sebangsa akan mendorong terjadinya penigkatan saling memahami. Namun proses ini tidak dapat terjadi dalam waktu semalam, karena masyarakat begitu luas dan banyak elemennya sehingga, konflik personal kadang kala dikembangkan menjadi konflik yang bersifat antar ras, hal inilah yang harus dihindari. Pengalaman-pengalaman personal tidak dapat menjadi justifikasi terjadinya praktek diskriminasi secara terstruktur, namun berdasarkan pengalaman personal tersebut kita dapat gunakan untuk menghindari terjadinya diskriminasi yang disengaja secara struktural.
Kepada seluruh sahabat Blog I-I di Papua. Jangan takut dan khawatir dalam memperjuangkan kesamaan derajat dengan seluruh komponen bangsa Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????