Minggu, Juni 13, 2010

Rezim Neolib

Saya faham betul kegelisahan sahabat Blog I-I yang kecewa dengan artikel yang saya tulis beberapa waktu silam tentang Moral Story dari Sri Mulyani, serta masukan dari Grup Diskusi 77-78 dengan catatan panjang lebar tentang rezim Neolib yang merugikan bangsa dan negara Indonesia.

Satu hal terpenting adalah Blog I-I tidak memback-up argumentasi Rezim Neolib ataupun menyetujui cara pandang yang sangat negatif dari kelompok yang mengaku anti Neolib.

Apa yang Blog I-I ajak dari seluruh sahabat adalah berpikir kritis yang keluar dari jargon politik - ekonomi, serta melangkah pada wilayah strategis dan cara berpikir pragmatis untuk kepentingan bangsa dan negara melalui penentuan taktik yang akan menjadi kebijakan negara dalam mensejahterakan kita semua.

Coba renungkan pandangan saya berikut ini:

Pertama, dalam dunia gagasan boleh-boleh saja kita berbicara tentang nasionalisme ekonomi dan ekonomi kerakyatan. Demikian juga dalam dunia gagasan, kita juga boleh saja mendambakan pasar bebas yang akan mensejahterakan seluruh umat manusia di dunia.
Pada kenyataanya ekonomi selalu bergerak dalam nafsu kepentingan memperoleh keuntungan (the nature of economy). Bila kita bicara tentang kendali negara, nasionalisme ekonomi dan ekonomi untuk rakyat, dalam prakteknya pelaku ekonomi tidak akan peduli dengan semua jargon tersebut, yang akan dipedulikan adalah apakah sebuah investasi akan menguntungkan, apakah perdagangan akan menjanjikan keuntungan, apakah sebuah pasar akan mampu menyedot produk sebanyak-banyaknya, apakah ada resiko kerugian dari sebuah tindakan ekonomi. Begitu sederhananya sehingga seringkali agak mengerikan karena keuntungan adalah segalanya dalam prinsip dasar manusia melakukan kegiatan ekonomi. Pasar bebas dengan berbagai "aturan" yang menguntungkan kelompok kapitalis juga menghembuskan janji kesejahteraan yang lebih luas, namun prakteknya adalah penghisapan ekonomi dari lemah oleh yang kuat dan itulah realitanya.

Kedua, hanya terdapat dua pilihan yaitu ikut dalam perjalanan ekonomi global atau menutup diri dan mengambil kebijakan anti globalisasi (tutup pintu atau konfrontasi kebijakan yang menolak ikut dalam arus ekonomi liberal). Diantara beberapa platform politik dari partai politik, hanya Gerindra yang memiliki platform berbeda dengan ketegasan dalam strategi pembangunan eknominya yang mengambil jargon kerakyatan. Sementara partai politik lainnya cenderung campuran atau bahkan cenderung liberal. Tidak ada yang salah dengan semua konsep dan platform tersebut, karena ujiannya adalah pada saat dihadapkan dengan realita dunia dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kenyataan bahwa kekuatan ekonomi di dalam negeri dikuasai hanya oleh sekitar 1000-an elit Indonesia tentunya tidak dapat diabaikan bukan. Bahkan meskipun fakta telah menunjukkan betapa Aburizal Bakrie melakukan banyak kesalahan di tingkat nasional, kita tidak dapat seenaknya menyingkirkannya dari lingkaran kekuasaan karena Dia salah seorang yang memegang kunci ekonomi Indonesia. Kemudian kenyataan ekonomi global berputar dalam prinsip ekonomi liberal tentunya tidak dapat kita hindarkan. Realita ekonomi mendesak pemerintah Indonesia untuk memilih kebijakan yang tepat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ketiga, kita sangat ketinggalan dalam perdebatan ideologi ekonomi-politik. Kita juga kurang canggih dalam memahami perkembangan neoliberalisme dan sosialisme. Akibatnya kita terjebak dalam kebiasaan labeling yang cenderung melahirkan sentimen negatif. Padahal saya yakin kita semua ingin memajukan bangsa dan negara. Di dunia Barat, perdebatan antara sosialisme dan liberalisme telah begitu kompleksnya sehingga semakin sulit mencari batasannya dalam realita sehari-hari. Hal itulah yang menyebabkan lengkapnya diskursus atau perdebatan antara kelompok kaum kanan (liberal) dan kiri (sosialis), sehingga lahir kelompok kiri tengah dan kanan tengah yang semakin memperkaya khasanah perdebatan dalam penyusunan kebijakan ekonomi-politik suatu negara. Perbedaannya dengan perdebatan yang dilakukan di Indonesia adalah adanya kemauan seluruh pihak untuk saling mendengarkan dan mencari jalan yang terbaik untuk negara. Tradisi tersebut tampaknya kurang kuat di Indonesia.

Keempat, saya sangat menghormati pihak-pihak yang kritis dan mengembangkan analisa yang mengkritisi pemerintah dan seyogyanyalah pemerintah mau mendengarkan. Namun kritikan tersebut harus dibangun dalam semangat kemajuan Indonesia dan bukan menghancurkan sendi-sendi yang ada, karena kita akan semakin ketinggalan. Kepada pemerintah, janganlah terlalu alergi terhadap kritik dan masukan dari masyarakat khususnya yang bersifat ilmiah dan penelitian terhadap bahaya terlalu larutnya Indonesia dalam faham liberalisme ekonomi, karena fakta-fakta di dalam negeri telah tampak ketidakseimbangan dalam pembangunan ekonomi, dimana kelompok ekonomi lemah semakin tersingkir dengan masuknya gurita ekonomi khususnya di bidang retail.

Kelima, kebijakan pemerintah apapun bentuknya baik yang bersifat proteksi ekonomi wong cilik, maupun yang pro-pengusaha besar seyogyanya telah melalui proses evaluasi yang seksama sehingga akan dapat mencapai manfaat terbesar dan bukan dikendalikan oleh elit-elit tertentu sehingga miskin visi kebangsaan.

Semoga catatan saya ini dapat mengklarifikasi posisi Blog I-I dalam perdebatan tentang Rezim Neolib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog