Media-media Amerika Serikat mengungkap bahwa pemerintah Washington sebagai aktor utama kebocoran dokumen-dokumen di situs WikiLeaks. Koran Jomhouri Eslami cetakan Tehran, Senin (6/12) menulis, "Di tengah kegusaran para pejabat AS atas bocornya sejumlah kawat diplomatik di situs WikiLeaks, sejumlah pemimpin redaksi senior majalah Newsweek menegaskan bahwa ada koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri AS dalam merilis dokumen-dokumen tersebut."
Menurut keterangan mereka, pemerintah Barack Obama memberi pertimbangan dalam menyeleksi dokumen itu dan juga mempublikasikan, membesar-besarkan atau membatalkan publikasi konten tertentu. Padahal tanpa pengakuan ini juga terlihat ada gerakan terorganisir yang menargetkan tujuan-tujuan tertentu.
Pernyataan eksplisit dari orang-orang yang terlibat menerbitkan dokumen-dokumen tersebut membuktikan bahwa para pejabat Washington selain tidak gusar atas perilisan itu, tapi malah berusaha mengeksploitasi momen itu untuk tujuan tertentu dan progam politik.
Menurut koran Jomhouri Eslami, Perdana Menteri rezim Zionis Israel Benyamin Netanyahu menyambut langkah WikiLeaks dan mengatakan, "Untungnya semua dokumen itu tidak ada yang anti Israel dan Tel Aviv sama sekali tidak mengkhawatirkan publikasi dokumen-dokumen tersebut."
Situs WikiLeaks juga mengkonfirmasikan publikasi empat juta dokumen rahasia pemerintah AS dalam waktu dekat. Sambutan luar biasa Netanyahu adalah bukti bahwa ia yakin bahwa dokumen-dokumen berikutnya juga sama sekali tidak akan mengancam kepentingan Israel.
Ini berarti para pejabat Israel yakin bahwa informasi-informasi yang akan dibocorkan sudah difilter secara rapi dan komunitas Intejen Israel ikut mengontrol Wikikeaks karena mustahil bila tidak ada informasi tentang Israel yang bocor.
Tapi masalah yang lebih penting dari itu adalah perilaku Washington yang mencurigakan terhadap kebocoran dokumen-dokumen rahasia dalam jumlah besar, tulis Jomhouri Eslami.
Para pejabat Amerika dan dinas-dinas intelijen sebelumnya menunjukkan aksi intensitas setinggi mungkin terhadap tersangka dan bahkan mereka yang entah bagaimana bisa mengakses informasi rahasia, sementara sekarang dengan volume besar informasi yang bocor, pemerintah AS tidak menunjukkan reaksi yang sesuai dengan dimensi bahaya dan kerugian yang mereka derita.
Pejabat Washington hingga kini belum menunjukkan reaksi kerasnya atas kebocoran empat juta dokumen rahasia milik lembaga diplomasi AS. (/RM/SL)
Rabu, Desember 08, 2010
Minggu, Desember 05, 2010
Indonesia sekarang krisis kepemimpinan
JAKARTA - Indonesia sudah mulai kehilangan martabat bangsa karena kepemimpinan yang juga kehilangan kredibilitas. Krisis ini diakibatkan ketidakjelasan dan ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memimpin negeri ini.Secara tegas, hal itu dikatakan mantan KSAD, Jenderal (pur) Ryamizard Ryacudu, menanggapi berbagai permasalahan yang dihadai bangsa, belakangan ini. Menurutnya, SBY terlalu memikirkan diri sendiri melalui pencitraan diri yang berlebihan.
"Sudah terlalu banyak orang yang kecewa karena cara SBY memimpin belakangan ini. Sudah tidak jelas lagi kepentingan nasional kita," tegas Ryamizard, kepada Waspada Online, siang ini.
Ryamizard menilai, SBY sudah kehilangan arah dan lepas kendali dalam memimpin Indonesia. Banyak kebijakan dan keputusan salah dari SBY, menurutnya, sehingga rakyat sudah mulai gerah dan hilang kepercayaannya terhadap presiden.
"Indonesia sekarang krisis kepemimpinan. Karena SBY terlalu sibuk mencitrakan diri dengan cara yang kurang elok, maka rakyat mulai merasa SBY sudah tidak pantas lagi memimpin," katanya.
"Jangan tunggu sampai rakyat betul-betul marah dan hilang kendali. Sehingga terjadi pergerakan-pergerakan yang tidak diinginkan. Tidak menutup kemungkinan rakyat akan berontak karena amarah yang tidak lagi bisa ditahan," tegas Ryamizard.
Selain Ryamizard, seorang mantan KSAD lainnya melontarkan nada serupa. Situasi dan kondisi di tengah masyarakat semakin berantakan, tidak menentu, dan lepas kontrol. "Karena presiden menganggap tidak ada masalah, presiden menganggap semua baik-baik saja. Padahal sebenarnya berantakan," kata Jenderal (pur) Tyasno Sudarto, kepada Waspada Online.
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi negeri ini, menurut Tyasno, adalah kepemimpinan yang tidak lagi mengedepankan kepentingan rakyat. "Kepemimpinan kita sekarang bermasalah. Disini kita bisa melihat bahwa SBY tidak pro rakyat, dia hanya mementingkan kepentingan kelompok, kepentingan golongannya saja tanpa memikirkan bagaimana rakyatnya di luar sana," kata Tyasno.
"Untuk menjadi pemimpin yang baik itu, seorang presiden harus bijaksana dalam mengambil keputusan. Dan harus merakyat dalam arti memikirkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Nah ini tidak dia lakukan," katanya.
Selain itu, Tyasno menilai SBY bahkan berdusta kepada rakyat. "Jangan bohong! Presiden itu tidak boleh mengucapkan dusta pada rakyatnya. Yang kita lihat sekarang kan presiden tak mau mengakui kesalahan, itu salah satu bagian dari kebohongan," kata Tyasno lagi.
Presiden juga diminta untuk memperbaiki sistem yang sudah lepas kontrol dan tidak terkendali. "Perbaiki sistem yang sudah rusak. Kan sistem kita sekarang ini tumpang tindih, akhirnya tidak efektif lagi untuk menjalankan yang dinamakan demokrasi. Yang saya lihat, pemerintah membiarkan rakyatnya mencari solusi sendiri atas permasalahan yang timbul. Tanpa ada arahan dari pemerintah, tidak ada kepedulian," Tyasno menegaskan.
DIAN SITUMORANG & AVIAN TUMENGKOL-WASPADA ONLINE
Pemerintah Indonesia Sadar Kalau di Jajah AMERIKA
Situs Wikileaks mengungkapkan bocoran ratusan ribu memo diplomatik dari berbagai kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di mancanegara, termasuk dari Jakarta.
Dari 251.287 memo diplomatik yang bocor, TheGuardian mendata bahwa 3.059 memo berasal dari Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dokumen itu merupakan semacam laporan diplomatik yang dikirim dari Kedubes AS di Jakarta dan Konjen AS di Surabaya. Situs Wikileaks berjanji akan mempublikasi dokumen itu secara bertahap.
Dan ternyata Wikileaks mulai menepati janjinya. Tiga buah dokumen mengenai Indonesia sudah dirilis. Dokumen itu dibuat dalam bentuk Congressional Research Service (CSR), lembaga think tank Kongres AS. Dokumen CRS ini biasanya menjadi dasar bagi Senat dan DPR AS dalam mengambil kebijakan. Dokumen-dokumen itu menyangkut beberapa isu sensitif seperti masalah Timor Timur, penghentian bantuan IMF dan Bank Dunia pada tahun 2000, pilpres 2004, dan pelatihan kopassus.
Bagaimana sikap Indonesia? Kementrian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan bersikap reaktif atas bocoran memo-memo diplomatik Amerika Serikat (AS) di laman WikiLeaks. Bila kumpulan memo tersebut ada yang menyinggung Indonesia, itu adalah masalah Amerika dan harus ditangani oleh Washington sendiri.
Demikian kata jurubicara Kementrian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, Michael Tene. Dia mengatakan pihak Kemlu terus informasi yang mengalir dari WikiLeaks, yang mengklaim punya bocoran lebih dari 250.000 memo diplomatik berkatagori rahasia atau terbatas, hasil laporan kantor-kantor perwakilan diplomatik AS di berbagai negara.
Namun, Kemlu mengaku tidak akan menanggapi jika memang benar Indonesia disinggung dalam salah satu dokumen bocoran. "Mengenai kemungkinan adanya isi dokumen yang melibatkan Indonesia, hal ini tidak akan ditanggapi oleh pemerintah Indonesia," ujar Tene dalam jumpa pers rutin di Jakarta, Jumat, 3 Desember 2010.
Namun dia mengatakan bahwa masalah ini perlu penanganan yang serius dari pemerintah AS. "Masalah kebocoran dokumen itu perlu ditangani oleh pemerintah AS sendiri," ujar Tene.
Sejak 28 November lalu, WikiLeaks telah mengunggah lebih dari 600 dokumen dan telah dimuat di sejumlah media massa internasional. Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, yang kini buron atas kasus perkosaan, mengatakan perlu waktu yang lama untuk mempublikasikan.
Sebelumnya, pengamat isu internasional, F.X. Baskara Wardaya berpendapat, Indonesia tak perlu reaktif.
"Bila langsung reaktif, malah bisa menjadi bahan tertawaan karena valid tidaknya dokumen perlu dibuktikan," lanjut Baskara kepada VIVAnews, Rabu 1 Desember 2010.
Menurut Baskara, belum tentu isi memo diplomatik yang bocor itu mengandung konotasi yang negatif atas Indonesia.
"Seberapa besar dampaknya bagi Indonesia itu tergantung pada siapa dan topik apa yang disinggung dalam pesan-pesan itu. Bisa saja melaporkan isu lain," kata Baskara, penulis buku "Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno" (2007).
Sementara, Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel mengaku tidak begitu ambil pusing dengan bocoran WikiLeaks itu, yang disebut-sebut juga memiliki bocoran memo diplomatik dari Kedutaan Besar AS di Jakarta. Otentisitas semua informasi itu juga dipandang masih diragukan.
Menanggapi pembocoran dokumen rahasia oleh Wikileaks, pemerintah Indonesia juga segera memulai analisis terhadap isi informasi yang dibocorkan Wikileaks dari dokumen Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta. Analisis itu diambil untuk menjadi rujukan dalam menentukan sikap resmi pemerintah Indonesia terkait informasi yang bocor tersebut.
"Kita analisis nanti ada keterkaitannya dengan apa yang menjadi concern kita, kan kita belum tahu sekarang, nanti kita cari," kata Menko Polhukam Djoko Suyanto di Istana Negara, Jumat (3/12). Dia menambahkan, pemerintah Indonesia sedang menelusuri isi dari informasi itu.
Djoko belum mengetahui perkembangan penelurusan yang dilakukan Menkominfo Tifatul Sembiring dan Menlu Marty Natalegawa seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya. "Tindakan kita yang pertama, kita sudah ada data berapa banyak, yang klasifikasinya rahasia, terbatas, maupun yang terbuka," kata Djoko.
Dari informasi itu pemerintah akan mengetahui isinya apa. "Dari itu nanti kita kumpulkan isinya apa, sampai sekarang kan kita belum tahu," kata Djoko. Setelah informasi terkumpul, ujarnya, barulah analisis bisa dilakukan. Kemudian, pemerintah Indonesia bisa menyikapi dari setiap informasi.
Apakah pemerintah Indonesia berkomunikasi dengan AS? "Oh iya pasti, pasti. Ini sebenarnya kan yang dibocorkan dokumennya Amerika," kata Djoko. Dia menyadari, setiap kedutaan dan konsulat dari negara mana pun selalu membuat laporan di mana mereka bertugas.
Djoko mengatakan, pemerintah Indonesia berkomunikasi dengan AS melalui Kementerian Luar Negeri. Dia memastikan ada antisipasi yang disiapkan pemerintah Indonesia. (Republika/Antara/Vivanews)
Langganan:
Postingan (Atom)