Rabu, Agustus 29, 2012

Aku Curi Uang Milik Rakyat Negeri Ini



Ilustrasi
Ilustrasi

AKU dan Qazi - istriku yang cantik - baru saja menikah. Kami punya tempat tinggal besar nan nyaman. Ya, tentu saja, di Menteng, di mana lagi? Di ibu kota, siapa yang tidak tahu letak kawasan Menteng? Di situlah kini kami berada.

Belum lama juga kami tinggal di sini. Rumah besar yang terletak di simpang Jalan Pontianak dan Jalan Surabaya. Nomornya, 1945. Sebulan silam, rumah ini baru kubeli dari Ibu Sari. Suatu malam aku bertamu ke sana seorang diri saja. Pemiliknya menyebut angka Rp26 miliar. Aku tidak menawar harganya lagi. Esoknya, cepat-cepat kuperintahkan sekretarisku, Nani, untuk mengecek sertifikat rumah itu ke Badan Tanah Nasional. Sertifikatnya ternyata aman, tak ada masalah.

“Padahal banyak sertifikat tanah yang bermasalah di negara kita. Sertifikat dipalsukan, sehingga jadi berganda. Penggandaannya akan berbuntut sengketa antara sertifikat milik rakyat miskin dan sertifikat yang dipunyai pengusaha kaya. Hak milik atas tanah itu menjadi sengketa, lalu selanjutnya membesar sebagai konflik. Sering malah menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Sertifikat bermasalah biasanya digandakan sendiri oleh orang dalam BPN,” Nani berkomentar sambil mentransfer uang bayaran atas pembelian rumah itu ke rekening Ibu Sari.

Sesaat, kupingku yang tipis terasa seperti berdenging-denging begitu mendengar komentar Nani. Tapi tak mengapa, tak jadi soal. Aku bisa menebalkannya kembali. Nani terbiasa berkomentar polos seperti itu, setiap hari. Absahlah rumah di Menteng ini jadi milikku. Begitu mudah aku memilikinya. Begitu mudahnya…

Aha, engkau pasti bertanya-tanya dari mana asal uang yang Rp 26 miliar buat membeli rumah ini, bukan? Tenang saja, semua akan kuceritakan kepadamu, semuanya. Tapi jangan kaget, jangan heran. Ceritanya panjang, namun baiklah kupendekkan saja. Cuma ini rahasia di antara kita. Tak seorang pun boleh tahu mengenai ini cerita.

Mengapa harus jadi rahasia? Soalnya mereka sampai sekarang belum juga mengusik aku. Mereka tidak mengejar namaku sebagai tersangka.
Untunglah, syukurlah.

Misteri ini masih tetap terbuka sedikit belaka. Tanggung kelihatannya di mata. Aku  bisa santai terus. Bersembunyi diam-diam. Sambil menyelinap berfoya-foya dalam nikmatnya gelap ibu kota.

Hanya koran-koran, majalah-majalah, televisi-televisi, dan radio-radio saja yang ternyata “gatal tangan” membeberkan kerugian besar hilangnya uang milik rakyat di negeri ini. Siapa yang mencurinya? Tentu saja, boleh kau terka.

Eh, memang mereka itu ya? Wartawan! Sejenis kumpulan orang sial dan kurang pekerjaan. Mereka memberitakan perkara korupsi dengan kurang ajarnya justru demi uang juga.

Sebagai anak bungsu dari orang yang paling berkuasa di Jakarta, posisiku masih aman tenteram. Tak ada penyelidikan yang diarahkan oleh Komite Pemberangus Korupsi kepadaku. Sebab, kendati begitu, para pengusut toh merasa takut juga dengan bapakku. Hal-ihwal mengenai skandal besar ini masih tertutup rapat di balik meja.

Setahun lalu, ketika orang-orang mulai ribut, aku telah mengelak begitu lihainya dari pandangan publik. Seorang wartawan kecil yang usil, secara sembarangan bertanya, “Apa Anda menerima dana dari proyek Graha Olahragawan?”

Kubantah keras dia. Ini sebenarnya bukan tabiatku yang biasa. Semula aku selalu gagap menjawab wartawan. “Tidak ada itu dan tidak benar semua yang diisukan bahwa saya menerima dana dari kasus yang disebut-sebut selama ini,” ucapku dengan tegasnya membeberkan panjang-lebar di kantor Partai.

Sehari sebelumnya, dalam sidang kasus korupsi proyek itu, terdakwanya bekas bendahara Partai, mengaku pernah dipanggil bapakku ke rumah kami. Panggilan itu ditujukan buat membahas pembagian peranan dan uang yang melibatkan aku, si bendahara, dan seorang kepala departemen.

“Apa yang dikatakan terdakwa dalam sidang kemarin itu tidak benar sama sekali. Sejauh ini pula belum ditemukan bukti-bukti yang bisa menunjukkan keterlibatan diri saya atau pun Partai,” kataku lantang, awalnya. Lalu, kemudian suaraku tergagap lagi. “Ter…terutama orang-orang yang…yang selama ini dituduhkan atau disebut-sebut dalam persidangan, itu tuduhan yang tidak ada buktinya.

“Saya persilakan saja a…agar kasus ini diproses dan saya minta agar diberikan kesempatan kepada pihak pengadilan untuk membuka persidangan yang adil. Soal pemeriksaan rek… rekening petinggi-petinggi Partai gu…guna memperjelas kasus ini, saya katakan kasus ini tidak berkaitan dengan Partai.

“Semua sudah diaudit secara formal dan Badan Pengaudit Keuangan tidak pernah mengatakan bahwa di dalam Partai mengalir dana ter…tertentu dari kasus-kasus ataupun isu-isu yang selama ini berkembang khususnya di media massa. Jadi kami tidak takut karena selama ini kami clear kami tidak ada hubungan dengan dana-dana yang beredar di luar.”

Aku berhasil membuat publik kagum. Tapi banyak juga kalangan yang akhirnya membuang muka. Mungkin mereka jijik melihat perilaku kami sekeluarga yang mencaplok harta kekayaan rakyat seperti gurita raksasa bergentayangan di bawah permukaan laut, memburaikan cairan tinta hitamnya untuk membutakan mata ikan-ikan kecil, setelah itu menyedot habis mereka sebagai mangsa ke dalam nganga mulut kami.

Hanya kakak sulungku saja, satu-satunya yang jauh dari sorotan publik.
Atau apa karena profesinya tentara? Dan aku tak habis pikir: apa hubungan gosip dengan profesi? Istri kakakku, mantan artis berambut panjang, bintang iklan shampoo. Publik sudah bosan menggosipkannya sejak ayahnya – mertua kakakku – yang bekas bankir itu lolos dari jerat hukuman dalam perkara skandal korupsi Bank Sentral Negara dengan jatuhnya vonis yang amat ringan.

Mereka – kakak dan istri artisnya – kini sudah beranak satu. Keponakanku yang lucu. Ketika orang mulai ribut-ribut, beberapa bulan lalu. Pandangan publik kuelakkan lewat kelicinan seekor belut yang berkelit dari genggaman tangan seorang pemburu tua kemudian mencelat kembali ke selokan.

Satu saja cara mudah mengelak gosip: aku menikah. Pesta pernikahanku dengan Qazi, yang – sssttt… ini rahasia ya – sejak awal sesungguhnya tak mau kusunting jadi istri. Dia merajuk, bahkan, sampai melarikan diri ke London sebelum acara lamaran diadakan.

Tapi hari baik itu tiba juga. Kalender dibalik dari bulan tua ke tanggal muda. Pada suatu akhir pekan yang paling indah dalam hidupku, akhirnya aku menikah.

Kuingat persis hingga pada kejadian-kejadian kecilnya. Aku yang gagah mengenakan pakaian adat Palembang duduk berhadapan dengan mertuaku. Kami dipisahkan sebuah meja persegi panjang. Di sebelah meja lainnya, tepat di samping kiri, duduklah saksi dari mempelai perempuan, yaitu Pak Amin. Di seberangnya, saksi dari mempelai laki-laki, entah siapa namanya aku lupa.

Sebelum akad nikah, dibacakan lantunan ayat suci merdu Al Quran.
Berikutnya, khutbah pernikahan. “Ananda saya nikahkan dan kawinkan Ananda dengan anak kandungku Qazi binti Hajata dengan mas kawin keping emas 1.000 gram dan seperangkat alat shalat dengan dibayar tunai!” ujar mertuaku sambil menjabat tanganku.

Nyaris tanpa jeda, sedetik saja, kemudian, kujawab: “Saya terima nikahnya dan kawinnya dengan Qazi dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Lafazku tumben tidak gagap, disambut cepat oleh saksi dari kedua belah pihak yang secara berbarengan sama-sama mengucapkan, “Sah!” Ucapan serempak itu mirip koor lagu – suara satu ditingkahi suara dua – telah dilatih sebelum acara.

Setelah bulan madu keliling Eropa, kami pindah ke rumah ini. Sebelum kubeli, kondisi rumah seperti tidak diurus. Rumah yang modelnya bagus nian. Bangunan bercat putih buatan tahun 1930-an. Luasnya 363 meter persegi, sedang lahannya 850 meter persegi. Arsitekturnya bergaya sebuah vila Hindia.

Namun, kami sering tidak saling bicara di rumah. Berdiam-diaman saja, walaupun tinggal berdua. Dia – istriku Qazi – tahu. Akulah biang keladi semua kericuhan ini. Aku bermain kartu dalam proyek yang dibangun di tempat kelahiran mertuaku.

Nama besar mertuaku disegani orang di sana. Padahal, dia hanya orang dusun bukan asli asal kota itu. Mulanya, menurut sebuah cerita, dia merantau dari dusunnya dan mengontrak rumah dekat stasiun kereta. Sejak remaja pula rambutnya sudah putih beruban-uban semua.

Setiap sore, dulu, hobinya mengumpulkan sisa es balok dari pabrik es dekat rumah kontrakannya buat dijual lagi kepada tukang es keliling. Anak-anak kecil di dekat situ biasanya selalu mengolok-oloknya dengan menjerit histeris “Wak Uban!” setiap memergoki kebiasaannya memungut es sisa.

Masalah besarnya baru terjadi tatkala aku terperangkap dalam jaring spionase intel Australia dan berakhir dengan kejadian nahas: ditangkap polisi di Singapura. Gara-gara apalagi, kalau bukan ketahuan mengisap narkotika? Barang laknat itu sudah sejak masa bersekolah jadi teman setiaku. Mengisapnya membuatku menyingkir sejenak dari kenyataan yang riuh-rendahnya tak mampu kutanggungkan.

Aku begitu muak mendengar rumor tentang asal-usul bapakku yang katanya anak haram jadah penguasa terdahulu dari istri seorang Gerwani. Atau tentang bapakku yang pernah menikah dengan istri lain – bukan ibuku – saat menjalani dinas pendidikan tentara.

Dan begitu mengetahui aku ditangkap polisi di Negeri Singa, ibuku langsung jatuh pingsan. Beliau terpaksa dibawa masuk rumah sakit. Sebab kepikiran terus dengan keselamatanku.

Untung saja pengacara kondang yang suka memakai kalung rantai emas berkilau itu berhasil mengeluarkan aku dari kantor polisi. Setelah menjalani pemeriksaan yang amat bertele-tele dibubuhi sebuah negosiasi yang alot! Kebebasanku kelak akan dibayar lunas dengan pengampunan narapidana perempuan asal Australia yang dipenjarakan di Bali.

Beruntung aku tertangkap di Singapura bukan di sebelahnya. Kalau di Negeri Jiran, alamak, entah apa jadinya. Di sana diberlakukan hukuman berat buat para pemakai madat, sampai hukum mati.

Buat menutup isu penangkapanku, kasus korupsi proyek Graha Olahragawan diangkat secara besar-besaran oleh berbagai media massa. Ah, memang, selalu saja ada pengusaha media yang begitu tolol (atau pura-pura bodoh) menangkap umpan di ujung kail bernama “berita panas”, kendati sejatinya hanya sebuah trik sederhana mengalihkan perhatian dari urusan lain.

Para pengusut pun unjuk gigi. Penangkapan demi penangkapan mulai dilakukan. Semua pelakunya orang Partai. Bendahara dan sekretaris sudah dikurung dalam penjara. Kini, mata tajam publik terus mengawasi lekat-lekat sosok ketua Partai yang terkenal alim itu sedang diperiksa.

Kunikmati proses pemeriksaan kasus itu dari koran, majalah, televisi, dan radio yang “gatal mulut-gatal tangan-gatal mata-gatal telinga” untuk ramai-ramai menyingkapkan misteri hilangnya uang milik rakyat negeri ini. Mereka – para wartawan yang kurang ajar itu – bahkan, mengambil berita langsung dari dalam ruang sidang pengadilan!

Setiap pagi aku membaca koran di serambi. Bila mataku letih, kupandang bunga warna-warni yang tumbuh dalam pot-pot di sudut pekarangan. Matahari memancar,  tapi sinarnya terhalang atap model limas yang menaungi serambi. Tak lama membaca, karena aku tidak suka dengan kegiatan yang hanya membuang waktu – aku melangkah masuk melewati kusen beserta daun pintu terbuka yang terbuat dari kayu jati yang tak pernah diganti sejak pertama rumah ini berdiri.

Pemiliknya semula mulai menghuni rumah ini pada tahun 1950-an, saat beberapa bulan menikah dengan seorang pengusaha. Pengusaha itu mendapat rumah ini dari orang Belanda setelah mengantongi vestigingbewijs atau surat izin perumahan. Tapi Si Belanda itu bukan pemilik pertama. Pemilik aslinya orang Belanda lain. Sebelumnya, oleh Si Belanda pertama, rumah ini sempat dijual kepada orang Swiss.

Rumah beserta isinya itu kini sudah jadi milikku. Di ruang tamu banyak perabot antik. Nuansa suasana tempo dulu kental sekali. Ada lampu teplok kuno yang masih dapat menyala. Ada pula sofa dengan ukiran indah dari zaman Daendels. Bangunan rumah hampir tidak berubah dari aslinya. Model jendela luar di sekeliling kusennya dihiasi ornamen.

Sementara itu, dari ruang tengah, di televisi terdengar suara penyiar membaca berita, menyebutkan bahwa namaku semakin melambung, membubung jauh sampai ke langit tinggi percaturan politik. Seorang tokoh muda yang cemerlang di antara tokoh-tokoh politik tua renta.

Sudah bukan saatnya lagi aku bermain di belakang layar. Siapa yang bisa melawan si bungsu putra mahkota penguasa?

Bermiliar-miliar rupiah dana sudah kukantongi. Akulah pencuri uang milik rakyat negeri ini buat modal mencalonkan diri sebagai penguasa nanti. Dua tahun lagi aku akan tambah hebat beraksi. Tentu saja, yakinlah…

Kuraih kunci mobil di atas meja dekat layar kaca. Bergegas aku berjalan ke garasi. Dengan anak kunci itu, kubuka pintu sedan Porsche kesayanganku. Aku duduk menghenyakkan pantatku ke bangku sopir. Hari Minggu begini paling enak menyetir sendiri daripada disopiri karena arus lalu lintas lebih lengang dari hari biasa. Kugulirkan roda menuju kantor Partai.

Sesampai di sana aku bilang kepada Nani agar dia mengatur jumpa pers, siang nanti. Tapi acara belum dimulai, lagi-lagi muncul wartawan usil itu!

Sambil cengar-cengir, dia menyapa “Selamat pagi!” sebagai basa-basi.
Lalu langsung menodongkan alat perekam, menembakku dengan pertanyaan klise. Ia minta pendapatku soal pengampunan Dascy, narapidana perempuan asal Australia yang dipenjarakan dalam kasus kepemilikan narkoba di Bali.

Dascy sebelumnya dihukum 30 tahun penjara setelah tertangkap tangan membawa 2 kg daun kering cannabis sativa. Hukuman penjara telah dijalaninya selama 7 tahun. Kini, langit kebebasan terbentang di atas kepala berambut pirang si mata biru asal Australia.

“Bagaimana komentar Bapak?” wartawan kecilku mendesak.

Dalam sebuah bayangan yang tulus, komentarku akan berbunyi lancar:
“Yang sedang berada dalam masalah besar sebenarnya saya sendiri. Enam bulan lalu, karena mengisap narkoba, saya tertangkap polisi di Singapura. Saya berhasil dibebaskan dari sana bukan berdasarkan hak kekebalan diplomatik, melainkan dengan balasan pengampunan si Dascy ini.”

Tapi dia bukan wartawan yang pintar, kukira. Kupikir, lelaki muda mirip anak kecil di hadapanku ini takkan mampu menyimpan jawaban off-the-record semacam itu sebagai sebuah rahasia besar sampai mati.

“Pengampunan ini, ter…terlepas dari diberikan kepada siapa – sekali lagi saya tekankan: ‘ter…terlepas dari diberikan ke…kepada siapa pun’, merupakan perbuatan yang baik. Menunjukkan pada orang lain bah…bahwa kita berbuat baik kepada warga negara lain akan berpengaruh ba…baik pula bagi warga negara kita sendiri yang…yang sedang mengalami kasus hukum di negara lain.”

Terakhir, sebelum pergi, aku berusaha serius. Kupintarkan nalar si wartawan itu dengan data statistik. “Saat ini,” kataku, “ada 2…200 lebih WNI yang sudah diselamatkan da…dari dakwaan pembunuhan, narkoba, dan kejahatan berat lainnya yang kasusnya ter…terjadi di negara lain.”

Kuberi dia senyum kecil. Wartawan itu tak bisa menghentikan langkahku lagi.

Masuk kantor Partai, kuayunkan kakiku ke ruangan kerja pribadiku.
Kukunci pintu, setelah kukatakan kepada Nani, jangan mengganggu dulu:
“Aku mau belajar.”

Ya, biasa, di kantor, aku belajar terus supaya makin cerdas. Hari ini pelajaran sejarah tampaknya menarik. Kurogoh saku, kugenggam sekepal sejarah itu: di Jepang pada 1893 Nagai Nagayoshi pertama kali membuat metamfetamin. Barang ini sekarang terkenal dengan singkatan “meth”.
Obat praktis bagi kasus parah gangguan hiperaktivitas kekurangan perhatian. Crystal Meth atau metamfetamin berbentuk kristal dapat diisap lewat pipa.

Aku tak pernah henti-henti belajar. Kuisap asap sejarah Nagayoshi. Aku tak mau berhenti!

Padahal kalau mau menyetop semua kekacauan ini, maka harus kuhentikan sendiri, sekarang juga. Sebab kalau nanti sampai publik tahu siapa sebenarnya aku, mungkin semuanya sudah basi. Sudah basi...***
 
Penulis Arpan Rachman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAGAIMANA PENDAPAT ANDA ???????

Pengikut dari 5 benua

Arsip Blog