Hampir 10 tahun yang lalu, sebuah peringatan keras disampaikan oleh
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang menjabat saat itu yaitu
Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa ada sekitar 60 ribu intel asing
berkeliaran di Indonesia.Mengutip berita yang dituliskan KORAN TEMPO berjudul “KSAD : 60 ribu
Intel Asing di Indonesia” edisi 26 Desember 2003 disampaikan secara
lengkap seperti ini :
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu menyebutkan,
sekurang-kurangnya terdapat 60 ribu intelijen asing tersebar di
Indonesia. Menurut dia, para intel itu telah lama berada di Tanah Air.
“Mereka masuk dengan mudah karena Indonesia belum memiliki arah yang
tepat untuk menangkalnya,” kata dia kemarin di Jakarta.
Ryamizard tidak bersedia menjelaskan identitas para intel asing itu
dan aktivitas mereka di Indonesia. Kata dia, data intelijen tidak bisa
diungkapkan. Ia hanya menegaskan, para intel itu akan dihukum mati bila
membocorkan rahasia negara Indonesia. Ia juga menyatakan, untuk
menangkal masuknya para intel lebih banyak, “rakyat Indonesia harus
memiliki semangat kebangsaan yang kuat.”
Pengamat militer dari CSIS Edy Prasetyono, yang dihubungi secara
terpisah, menilai pernyataan KSAD harus didudukkan dalam kerangka tepat
dan melihat konteks dunia saat ini. “Batas negara sudah tipis, bahkan
hilang. Informasi juga sudah sangat terbuka,” kata dia.
Edy menambahkan, kriteria intel asing yang dimaksud KSAD harus
diperjelas. Jika yang dimaksud KSAD adalah mereka yang berusaha mencari
informasi rahasia suatu negara secara resmi, kata dia, bisa diperkirakan
intel berada di kedutaan besar asing di Indonesia. “Kedutaan mana pun
adalah intel yang bertugas secara resmi menggali informasi di negara
tempatnya berkantor,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, banyak intel asing menyusup ke dalam tubuh LSM
dan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, ia
menegaskan, jumlah intel asing yang disebutkan KSAD mencapai 60 ribu
bisa saja benar. Namun, ia menambahkan, jumlah itu tidak perlu
dikhawatirkan.
Yang harus mendapat perhatian lebih, menurut Edy, cara Indonesia
membangun sistem politik, ekonomi, dan keamanan agar tidak mudah
terguncang. Sistem yang baik, kata dia, dapat bertahan dalam suasana
keterbukaan sekarang. Dia kemudian mencontohkan sejumlah negara yang
akhirnya kandas ketika berusaha menghindarkan diri dari era keterbukaan
seperti Myanmar dan Korea Utara.
Saat memberikan sambutan pada acara “Wisuda Purnawirawan Perwira
Tinggi TNI AD” di Magelang bulan lalu, Ryamizard menyampaikan, Indonesia
sedang menghadapi ancaman perang modern. Perang ini, kata dia saat itu,
dimulai dari infiltrasi agen asing yang menggarap elemen masyarakat
tertentu guna menciptakan ketidakstabilan nasional. “Mereka melakukan
provokasi dan propaganda untuk memicu timbulnya konflik SARA,” kata dia.setelah hancur, masih kata KSAD di Magelang, para agen asing “akan
mencuci otak dan mengubah paradigma berpikir dengan penggalangan
teritorial. Agresor, kata dia, kemudian akan mengubah paradigma
ideologi, politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia. Dengan cara
ini, menurut dia, para agresor akan terhindar dari tuduhan pelanggaran
HAM ataupun kejahatan perang. “Bahkan kerap dipuji sebagai pahlawan,” ia
menambahkan.
Soal perang modern itu, Edy mengaku sependapat dengan KSAD.
Indonesia, kata dia, memang berada di tengah-tengah perang modern.
Bahkan, ia menganggap, perang gagasan sedang berlangsung di Asia
Tenggara dengan munculnya ide Komunitas Keamanan Bersama. “Siapa yang
paling diuntungkan dalam perang gagasan ini, dialah pemenangnya,” ia
melanjutkan. Desakan pihak luar negeri kepada Indonesia untuk menggunakan
pembangunan model ekonomi tertentu juga dianggapnya perang modern.
Karena itu, kata dia, tentara memang harus ditingkatkan mutu dan
keterampilannya dalam kerangka menjaga sistem keamanan negara. Meski
begitu, ia berpendapat, tentara bukan satu-satunya garda pertahanan
terdepan menghadapi perang modern ini.
Ilustrasi gambar : Dua anak kecil berlari membawa bendera merah putih
Pernyataan mantan kepala staf TNI Angkatan Darat (AD) Jenderal (purn)
Ryamizard Ryacudu 10 tahun lalu soal adanya 60 ribu agen asing di
Indonesia, baru kali ini mendapat konfirmasi pemerintah.
Tetapi itupun hanya dilokalisir bahwa diduga kuat intel asing bertebaran di PAPUA.
Mengutip pemberitaan REPUBLIKA (28/5/2013), tanggapan yang sangat
amat terlambat itu itu disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Pertahanan
Mayjen TNI Hartind Asrin menjelaskan, meski pernyataan tersebut hanya
berbentuk opini publik, namun bukan berarti data itu tidak valid.
“Boleh jadi jumlah mereka mencapai angka tersebut. Kita semua harus
waspada,”ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (27/5) malam. Untuk
penanganan intel tersebut, Hartind menegaskan, bola ada di tangan Badan
Intelijen Nasional (BIN). Sedangkan, pemerintah hanya sebatas membuat
kebijakan.
Tidak hanya itu, dia menjelaskan, media juga bisa berperan untuk
membantu pengungkapan keberadaan agen asing ini. Menurutnya, mereka
menggunakan beragam profesi seperti wartawan, peneliti, hingga Lembaga
Swadaya Masyarakat.Sinyalemen dari Kementerian Pertahanan ini langsung mendapat respon dari anggota DPR.Masih mengutip REPUBLIKA (28/5/2013), Anggota Komisi I DPRRI Nuning
Kertopati menjelaskan, bekal data tersebut harus dimanfaatkan oleh intel
negara memperketat pengawasan.
Terlebih, adanya eskalasi ancaman di daerah konflik seperti Papua.
“Maka pengawasan perlu ditingkatkan,”ujarnya saat dihubungi Republika,
Senin (27/5) malam.
Menurutnya, intelijen asing biasanya datang ke satu negara dengan
cara pengelabuan. Hal tersebut juga berlaku untuk para agen asing di
Papua.“Misalnya intelijen asing di Papua bisa saja berkedok agama, bisnis
atau pun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masih banyak
lagi,”jelasnya.
Dia mengungkapkan, intelijen negara memang seharusnya dapat
mengidentifikasi keberadaan mereka. Kemudian, mengelola informasi
tersebut dengan cara meningkatkan komunikasi dengan pemuka agama atau
adat budaya setempat. Sehingga, bentuk gerakan separatis atau terorisme
bisa dicegah.
Peta wilayah PAPUA, Indonesia
Pembuktian terhadap keberadaan intel asing di Indonesia memang sangat sulit dilakukan.
Tetapi Indonesia juga memiliki perangkat dan sumber daya manusia yang
bertugas di bidang intelijen, baik yang bertugas di Badan Intelijen
Negara ataupun yang bertugas dimasing-masing institusi (semisal TNI dan
Polri) pada divisi atau bagian intelijen.
Yang juga harus diwaspadai adalah jika patut dapat diduga ada
oknum-oknum aparat Indonesia sendiri (serta seluruh jaringan yang
dibangunnya) yang justru dipakai oleh kekuatan asing untuk menjadi kaki
tangan dan operator-operator operasi rahasia mereka di Indonesia.
Pengetahuan dan segala sesuatu yang menyangkut data resmi, rahasia
negara, dokumen resmi negara, informasi negara atau bahkan hasil-hasil
penyadapan terhadap berbagai kalangan di Indonesia, hanya bisa dilakukan
oleh aparat yang memiliki perangkat teknologi (IT) yang memungkinkan
mereka mengakses semua itu.Dan satu hal yang harus diwaspadai juga, jangan justru ada
oknum-oknum aparat Indonesia dan jaringan mereka, yang justru
“ngaku-ngaku” jadi intel asing untuk jadi gagah-gagahan dan ajang fitnah
yang berbau politik. Ini yang disebut kontra intelijen.
Atau bisa juga yang patut dicurigai memerintahkan anggota tertentu
untuk menyamar menjadi jurnalis untuk menyampaikan informasi yang
menyesatkan dan provokasi ke jurnalis lain.
Banyak hal yang bisa terjadi menyangkut dunia intelijen.Dan orang awam seperti kita (dan mayoritas rakyat sipil Indonesia) sulit untuk bisa memahami permainan-permainan semacam ini. Apalagi sekarang adalah zaman modern. Jika benar negara-negara asing semakin berminat menginteli Indonesia
maka mustahil bagi mereka menurunkan dan mengerakkan personil-personil
yang secara fisik akan mudah dikenali sebagai orang asing (yang secara
fisik dikenali sebagai bule).
Kalaupun warga negara asing memang masuk ke Indonesia dalam kapasitas
mereka sebagai agen mata-mata, maka peluang yang paling aman bagi
mereka adalah menjadi turis atau wisatawan.
Objek pengintelan yang paling mudah disusupi adalah media atau para jurnalis.Bukan berarti, para wartawan atau jurnalis itu yang menjadi intel asing.Tetapi hasil kerja dan seluruh perangkat kerja yang mereka gunakan
dalam bidang kewartawanan yang jadi sasaran empuk penyadapan “berjamaah”
(semisal laptop, komputer, blackberry dan semua perangkat komunikasi
yang dimiliki kalangan jurnalis), ini yang paling mudah disadap.
Pengintelan di era yang modern ini akan sangat aman dilakukan dengan menggunakan perangkat IT.Disinilah harus diwaspadai juga, warung-warung atau kios-kios penjual
pulsa di berbagai daerah, termasuk toko-toko tak resmi yang menjual
alat-alat komunikasi. Terutama di Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan ibukota Indonesia.Tangan kita jangan mudah menuding negara asing sebagai pihak
satu-satunya yang sangat berminat untuk menginteli negara Indonesia. Hendaklah juga aparat-aparat keamanan di negara ini melakukan
introspeksi diri, sudah cukup loyalkah anda semua menjadi aparat di
negara ini ?
Jangan-jangan ada diantara oknum aparat di Indonesia yang paling rawan disusupi dan dikendalikan kekuatan asing ? Bisa juga untuk kepentingan penguasa di negara ini.
Menyebar kemana-mana untuk menginteli target-target politik yang tujuannya untuk kepentingan perorangan dan antar kelompok. Rumah dari orang-orang yang mau diinteli dikepung dan diawasi, ibarat
binatang buas mengawasi mangsanya dari detik ke detik tanpa henti dan
tanpa punya rasa malu samasekali menginteli rumah rakyatnya sendiri. Menyamar jadi tetangga atau membuka usaha di lingkungan perumahan
yang diminati oleh penguasa atau institusi tertentu untuk dipermainkan.
Ilustrasi gambar : tokoh tokoh nasional dan politisi di Indonesia
Apakah lawan politik pemerintah, tokoh nasional dan pihak-pihak yang
bersuara kritis di negara ini dilindungi hak-haknya untuk berkomunikasi
dan melakukan aktivitas mereka dengan aman tanpa pengintelan atau
penyadapan ?
Khusus masalah Papua misalnya, kita menjadi pihak yang akhirnya semakin dibenci oleh rakyat Papua.
Bagaimana mereka tidak semakin membenci, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa oknum aparat keamanan kita memperkaya dirinya sendiri
dengan sangat menakjubkan.
Kita ambil contoh kasus Aiptu Labora Sitorus yang bertugas di Polres Sorong.Siapa yang tidak takjub kalau polisi berpangkat rendah ini punya rekening obesitas Rp. 1,5 Trilyun.
Itu sudah bukan masuk dalam kategori rekening gendut tetapi rekening yang kegendutan alias obesitas.
Transaksi senilai Rp 1,5 triliun itu diduga terjadi selama 5 tahun,
sejak 2007 hingga 2012. Rekening Labora yang dicurigai oleh Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Ia juga digosipkan memiliki pulau pribadi di wilayah Raja Ampat, Papua. Lalu bagaimana cara kita menjelaskan kepada dunia tentang fakta yang
sangat memalukan ini dari perilaku aparat keamanan kita di Papua ?
Bisakah dibayangkan dan dirasakan, betapa semakin benci dan geramnya rakyat Papua kepada kita semua tanpa terkecuali.
Saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah terujung Indonesia ini
merasa diabaikan oleh pemerintah tetapi ada oknum polisi yang bisa
sekaya itu dari hasil mengeruk kekayaan alam dan berbisnis di wilayah
Papua.
Hanya 1 orang polisi, bisa mempunyai rekening Rp. 1,5 Trilyun !
Seandainya pun ada ribuan atau belasan ribu intel asing di Papua,
bisakah dibayangkan bahwa negara kita menjadi bahan tertawaan selama ini
saat mereka memonitor ada polisi kita yang bertugas di Papua memiliki
transaksi hingga Rp. 1,5 Trilyun ? Dan intelijen kita, terutama KEPOLISIAN yang merasa paling hebat
dalam penanganan terorisme di negara ini, tidak bisa mendeteksi perilaku
dari anggotanya sendiri di Papua.
Padahal Papua adalah satu-satunya wilayah didalam NKRI yang paling banyak disorot oleh komunitas internasional. Kita juga perlu memberikan saran kepada Mabes Polri agar tidak lagi
menempatkan mantan-mantan Komandan Densus 88 Anti Teror untuk menjadi
Kapolda Papua. Jauh lebih baik menempatkan putra daerah menjadi Kapolda di tanah kelahirannya sendiri. Beri kesempatan kepada putra daerah Papua untuk memimpin di tanah
kelahirannya sendiri agar ada kebanggaan dari warga setempat bahwa putra
daerah mereka jadi pimpinan institusi POLRI di Papua. Putra daerah Papua yang terakhir yang dipercaya menjadi Kapolda
adalah Inspektur Jenderal Max Donald Aer pada era kepemimpinan Kapolri
Jenderal Sutanto.
Belum tentu Amerika Serikat misalnya, akan menjadi sangat
terkagum-kagum kalau Kapolda di Papua adalah mantan Komandan Densus 88
Anti Teror. Lalu prajurit TNI yang bertugas di Papua, juga harus diperhatikan
dengan seluruh keterbatasan dana yang mereka miliki dalam menjalankan
tugas.
Disinilah Mabes TNI Cilangkap, utamanya Mabes TNI Angkatan Darat,
harus memperhatikan kesejahteraan prajurit mereka dan keluarganya jika
sedang bertugas ke daerah-daerah terpencil.
Perhatikan prajurit kalian di daerah-daerah terpencil sebab anggaran
negara memang tak besar untuk angkatan pertahanan Indonesia.Yang selalu menjadi alibi adalah keuangan negara terbatas.
Lambang Garuda Indonesia
Hal yang paling baik untuk menangkal dan menghindari praktek-praktek
intelijen asing di Indonesia adalah pentingnya menjaga moralitas antar
sesama anak bangsa.
Pekerjaan intelijen, tak harus memfokuskan sorotan mereka pada
wilayah Papua saja, tetapi bisa ke seluruh lini kehidupan kita berbangsa
dan bernegara. Kita harus bangga menjadi rakyat Indonesia.Kita harus jaga rasa percaya diri dan nasionalisme di dalam diri kita. Bakar, bakarlah kembali semangat nasionalisme dan cinta pada tanah air.
Kekuatan asing hanya dapat merambah dan merajalela menginteli negara
kita kalau anak bangsa di negeri ini lemah terhadap rayuan asing. Imbalan menjadi intel asing bisa jadi memang akan sangat menggiurkan.
Kita tidak tahu mengenai hal ini secara pasti.
Loyalitas kepada kekuatan asing pastilah juga akan berbuah hal-hal yang sangat manis, mewah, glamour dan indah tak terhingga. Tapi sedikit saja kita lemah dan memberi celah kepada kekuatan asing
untuk menguasai maka masa depan bangsa kita akan dipertaruhkan pada
lembaran-lembaran yang suram.
Dan sebelum kita sibuk mencurigai kekuatan asing menginteli negara kita, mari masing-masing melakukan introspeksi diri.Apakah institusi anda, sudah cukup bersih dari praktek-praktek
penyadapan atau pengintelan terhadap elemen-elemen masyarakat yang tak
boleh dijamah dan diusik kemerdekaannya ? Apakah institusi anda, sudah cukup bersih dari pengaruh asing atau sudah benar-benar dijamin kesterilannya ?
Apakah institusi anda yakin, bahwa bukan institusi anda yang
melakukan pengintelan dan penyadapan terhadap sesama anak bangsa di
negara ini ?
Apalagi jika menginteli dan menyadap pekerjaan kewartawanan dan para aktivis yang berjuang untuk rakyat.
Laptop disadap, handphone atau blackbery disadap, seluruh perangkat
kerja dan media sosial disadap, padahal bisa jadi semua praktek
penyadapan itu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pribadi pada
penyadap yang terus menerus ingin tahu urusan orang lain. Alias LANCANG.
Apalagi kalau alat penyadap yang digunakan sebenarnya adalah untuk
menyadap bidang-bidang terorisme, narkoba dan kejahatan lainnya.Harus diwaspadai penyalah-gunaan, atau bahkan pencurian alat sadap dan hasil-hasil penyadapan itu sendiri.
Apalagi kalau alat sadap itu alih-alih malah digunakan untuk
menyadapi para purnawirawan jenderal, tokoh nasional, lawan politik
pemerintah, kalangan jurnalis dan pengusaha, partai-partai politik dan
sebagainya.
Atau pura-pura menyamar menjadi seribu satu macam sosok agar bisa
masuk ke dalam kehidupan para jurnalis, tokoh dan aktivis misalnya.Menyamar jadi rental mobil, rental supir, supir pribadi, supir dinas,
pembantu rumah tangga, pedagang ini itu dan penyamaran lainnya yang
sebenarnya sudah diluar batas kewenangan mereka dalam tugas pokok yang
ada.
Yakinkan dulu institusi anda bahwa bukan kalian yang melakukan kegiatan-kegiatan intelijen yang kebablasan di negara ini. Kekuatan asing, hanya bisa merekrut dan memperbanyak agen mata-mata
lokal mereka di Indonesia, jika warga negara Indonesia memang sangat
lemah nasionalismenya.
Dugaan tentang adanya 6o ribu intel asing di negara ini adalah isapan
jempol belaka kalau kecurigaan itu ditumpahkan semua kepada sosok-sosok
yang berpenampilan fisik sebagai orang asing (bule).
Besar kemungkinan, mayoritas adalah warga negara Indonesia yang memutuskan untuk bekerja pada kekuatan asing. Lantas, siapa yang mau kita salahkan jika rakyat kita sendiri yang tergiur untuk bekerja pada kekuatan asing ?
Operasi intelijen di negara manapun memang harus mampu meraup dan
mengeruk informasi yang sebanyak-banyaknya, dengan tingkat akurasi yang
sangat tinggi.
Dan di zaman sekarang ini — dimana Teknologi Informasi sudah sangat
canggih luar biasa — penggunaan sumber daya manusia yang bekerja secara
konvensional dalam operasi intelijen asing sesungguhnya sangat kecil
prosentasenya. Sebab, hanya dengan menggunakan IT, negara manapun di dunia ini bisa saling menginteli dan saling mengawasi dari jarak jauh.
Negara yang sudah sangat maju, hanya tinggal duduk manis di
negaranya, mereka bisa tahu segala hal tentang Indonesia dari jarak jauh
(tanpa harus buang uang membayar agen agen lokal yang jumlahnya sampai
60 ribu orang ?). Kecanggihan teknologi harus diperhitungkan pada era kekinian.
Sehingga, yang lebih besar prosentasenya untuk bermain dalam
transaksi intelijen asing adalah orang-orang yang patut dapat diduga
memang sama-sama memiliki akses menembus seluruh data di negara dan
menguasai kemajuan teknologi. Dan untuk menghadapi ancaman intel asing, tak cukup hanya kekuatan intelijen Indonesia yang bisa menangkis semua itu sendirian.
Kita, kita semua yang harus sama-sama waspada dan berpegang teguh
pada nilai-nilai luhur yang sudah diajarkan oleh para founding fathers
kita.
Presiden Sukarno merangkul Jenderal Sudirman yang baru kembali dari gerilya.
Simaklah pesan-pesan nasional dari para pendiri bangsa kita agar ke
depan kita lebih waspada terhadap ancaman global yang menggunakan
praktek intelijen untuk menyetir dan menguasai bangsa ini.
“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa
pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT
Proklamasi, 1949 Soekarno) “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga
warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita
selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak
keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat
nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk
mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang
presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah
kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa.” (Soekarno“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk
berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak
akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. (Soekarno)
“Kita tak perlu takut pada pengaruh asing, sebab bangsa kita telah
menunjukkan dapat menerima pengaruh asing tanpa merusak kebudayaannya
sendiri, melainkan karena kreatifitas bangsa Indonesia sendiri pengaruh
itu justru dijadikan
‘memperkaya’ kebudayaan Indonesia.” (Pesan Bung Hatta)
Kebudayaan kita menjadi kuat bila ada landasan yang kokoh, yakni adab
dan moral. Kebudayaan adalah pertahanan rohani dan semangat, serta
martabat bangsa. (Pesan Bung Hatta) Janganlah mudah tergelincir dalam saat yang akan menentukan nasib
bangsa dan negara kita, seperti yang kita hadapi pada dewasa ini, fitnah
yang besar atau halus, tipu muslihat yang keras atau yang lemah,
provokator yang tampak atau sembunyi, semua itu insya Allah dapat kita
lalui dengan selamat, kalau saja kita tetap awas dan waspada, memegang
teguh pendirian cita-cita, sebagai patriot Indonesia yang sejati. (Pesan
Jenderal Besar Soedirman di Jogjakarta tgl 4 Oktober 1949)
Dalam menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga tetap jangan lengah,
karena kelengahan dapat menyebabkan kelemahan, kelemahan menyebabkan
kekalahan berarti penderitaan. Insyaf. Percaya dan yakinlah, bahwa
kemerdekaan suatu negara dan bangsa, yang didirikan di atas korban harta
benda dan jiwa raga, dari rakyat dan bangsanya itu, insya Allah tidak
akan dapat dilenyapkan manusia siapa pun juga”. (Pesan Jenderal Besar
Soedirman)
Jadi, kita harus bangga menjadi bangsa Indonesia dan jangan
menggadaikan jatidiri kita sebagai rakyat Indonesia demi kepentingan
apapun yang memberikan celah kepada kekuatan asing untuk menguasai.
Mari kita berkawan kepada negara-negara sahabat dan komunitas
internasional manapun didunia ini, dengan menunjukkan jatidiri kita
sebagai bangsa yang santun, bersahabat dan penuh integritas diri.
Sekali lagi, jaga NASIONALISME !