Mantan Gubernur NTT Meninggal Dunia
Sabtu, 25 April 2009 - 22:41 wib
By Rahmat J
KUPANG - Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1998-2008, Piet Alexander Tallo meninggal dunia di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Sabtu (25/4/2009).
Tallo meninggal sekira pukul 20.30 WIB. Tallo meninggal dalam usia 67 tahun. Dia meninggalkan seorang istri bersama tiga orang anak.
"Secara umum kondisi kesehatan bapak mulai membaik setelah dokter melepas alat bantu pernapasan yang dipasang di bagian lehernya. Namun, ketika ke kamar kecil, beliau terjatuh dan nyawanya tak tertolong," ujar seorang kerabatnya di Kupang.
Tallo dilahirkan di Tefas, sebuah perkampungan kecil di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT pada 27 Mei 1942. Ayahnya Ch B Tallo berprofesi sebagai guru. Sedangkan ibunya, Ny M Tallo-Lodo adalah puteri seorang petani. Tallo mulai menunjukkan bakat sebagai seorang pemimpin semenjak masih di bangku Sekolah Rakyat (SR) GMIT SoE tahun 1955. Setelah tamat, dia melanjutkan pendidikan di SMP Negeri Kupang dan tamat tahun 1958. Tallo kemudian melanjutkan studi di SMA Negeri Kupang dan tamat pada tahun 1970.
Dia pun merantau ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Setelah menyelesaikan studinya, dia mempersunting Erny Christian sebagai isterinya pada 15 Maret 1967.
Minggu, April 26, 2009
Kamis, April 23, 2009
" TOM WAINGGAI "
G. ADITJONDRO: Mengenang Tom Wainggai
Artikel untuk Tabloid Jubi, Port Numbay, No. 16
Mengenang Perjuangan Tom Wanggai:
Dengan Bendera, atau Apa ?
--------------------------
Oleh George J. Aditjondro
MINGGU lalu, saya mendapat berita bahwa sejumlah aktivis Papua Barat
berkumpul di depan gedung DPRD Papua Barat di pusat kota Port Numbay
(Jayapura). Rupanya mereka mengenang kematian almarhum Thomas W.N.S.
Wainggai, tokoh pejuang kemerdekaan negeri ini yang meninggal dalam tahanan
rezim Orde Baru dalam usia 59 tahun.
Saya belum sempat mengenal beliau secara pribadi, seakrab sebagaimana saya
mengenal almarhum Arnold Ap, tetangga dan
kawan seperjuangan saya di Papua
Barat waktu itu. Pada saat saya meninggalkan Bumi Kasuari,
bulan Agustus 1987, untuk melanjutkan studi di AS,
kami mungkin baru berpapasan satu dua
kali di kantor gubernur. Tom, begitu panggilan akrabnya, waktu itu bekerja
di kantor BAPPEDA Propinsi,
berbekal sederetan gelar S-2 dan S-3 di bidang
hukum dan administrasi pemerintahan dari AS dan Jepang.
Makanya, saya agak terkejut ketika mendengar beliau
memproklamasikanberdirinya Republik Melanesia Barat
di Stadion Mandala, Port Numbay, pada tanggal 14 Desember 1988. Sejak saat itulah saya berusaha mengikuti dampak pernyataan
yang sekali lagi menuntut dipatuhinya hak rakyat Papua Barat
untuk menentukan nasibnya sendiri.
Setelah pulang dari studi di Universitas Cornell, AS,
dan mulai mengajar di bekas alma mater saya,
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Tom sudah
divonis 20 tahun penjara, dan sudah dipindah dari Port Numbay
ke penjaraCipinang. Lewat kawan-kawan di PGI yang aktif
dalam pelayanan rohani para narapidana,
saya berusaha terus mengikuti keadaan Tom.
Sekali-sekali, dalam perjalanan mengikuti seminar
di luar negeri, saya menyanggupi jadi 'tukang pos'
untuk mengirim surat-surat Tom ke kawan-kawannya
di mancanegara. Dengan seizin kawan-kawan Papua yang
melayani Tom, surat-surat itu
sempat saya fotokopi dulu, yang kemudian
sedikit menjadi "jendela" untuk memahami
pemikiran cendekiawan dari Serui ini.
Satu hal yang waktu itu sudah menarik perhatian saya adalah bahwa nada
surat-surat buat kawan-kawan Tom di AS,
Australia, Aotearoa (New Zealand),Negeri Belanda dan Jepang
itu sangat optimis bahwa kemerdekaan negara di
belahan barat Pulau Niugini itu akan segera tercapai.
Paling tidak, tahun 2000.
Dengan tetap menghormati perbedaan pendapat
di antara orang Papua, juga perbedaan antara pemikiran Tom
dan saya sendiri, saya terus berusaha mengikuti perkembangan Tom
di penjara. Juga ketika saya sendiri terpaksa hijrah dari
tanah tumpah darah saya, pada tanggal 1 Februari 1995,
gara-gara para pendukung Suharto
dan Habibie tidak senang saya mengecam KKN para boss mereka.
Kampanye dari Perth:
--------------------
Untunglah di tempat pelarian saya yang pertama,
Perth, ada satu kelompok pegiat HAM yang mengkhususkan diri
berkampanye untuk pembebasan Tom.
Seorang kawan akrab saya di Perth, Nonie Atkinson,
adalah anggota kelompok Amnesty International (AI)
kawasan Como, Perth Selatan. Kelompok ini telah
"mengadopsi" Tom Wainggai sebagai "prisoner of conscience"
(orang yang dipenjara karena keyakinannya),
dan ingin melakukan apa saja, tanpa kekerasan,
untuk membebaskannya dari penjara. Sejak akhir 1993, para
anggota kelompok itu sudah melayangkan surat-surat
ke alamat Menlu Ali Alatas, mendesak pembebasan Tom Wainggai
atas alasan kesehatan dan kemanusiaan.
Memang, ketika masih berada di Perth itu,
saya sudah mendengar dari kawan-kawan saya di PGI,
bahwa kesehatan mental tokoh pencetus 'Republik Melanesia Barat' sangat terganggu. Bahkan ketika saya masih berada di Salatiga,
kawan-kawan saya yang biasa 'keluar masuk' penjara Cipinang,
sudah melaporkan hal yang sama.
Nah, faktor kesehatan narapidana politik paling top
dari Papua Barat itulah, kemudian dijadikan
isyu sentral oleh kelompok AI di Perth, untuk
memperjuangkan pembebasannya. Sesudah
dua pertemuan di bulan Juli dan
Agustus 1995, kelompok AI Perth memutuskan
untuk mengirim surat pada wakil Palang Merah Internasional di Jakarta,
untuk memberikan pelayanan kesehatan
pada Tom. Juga diputuskan untuk mengirim surat
kepada Bambang Widjajanto,SH, yang pernah membela
Tom dalam sidang pengadilan di Port Numbay, tahun 1989,
untuk meminta foto-foto, kliping-kliping koran,
dan bahan informasi
apa saja yang dapat membantu kampanye pembebasan Tom di Australia.
Kelompok AI ini tidak sendiri dalam berkampanye. Mereka didukung oleh
Komisi Ahli Hukum Sedunia, ICJ (International Commission of Jurists) Seksi
Australia Cabang Australia Barat, yang anggota-anggotanya bekerja di
beberapa universitas di Perth. Para ahli hukum ini pun secara resmi
mengirim surat kepada Sekjen Komnas HAM, Menteri Kehakiman, dan Menteri
Luarnegeri Republik Indonesia, mendesak supaya Tom Wainggai segera
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Sayangnya, surat-surat yang
dilayangkan tanggal 28 Juli 1995 itu, tidak mendapat balasan. Siapa tahu,
mungkin hilang ditelan ombak Samudra Hindia.
Di kalangan politisi Australia Barat di parlemen federal di Canberra,
dukungan untuk perjuangan pembebasan Tom Wainggai, datang dari Partai
Hijau. Dalam kesempatan tanya-jawab dengan fraksi pemerintah di parlemen,
para senator Partai Hijau berulang kali mendesak Menlu Australia waktu itu,
Gareth Evans, untuk mempertanyakan nasib Tom Wainggai pada Menlu Indonesia,
Ali Alatas.
Antara Cipinang & Kramat Jati:
------------------------------
Sayang sekali, semua kegiatan itu bagaikan menggarami lautan. Pada hari
Selasa, 12 Maret 1996, ketika saya sudah pindah dari Perth ke Newcastle,
untuk menjalani kontrak mengajar selama lima tahun, kami dikejutkan oleh
telepon dengan berita sedih dari Jakarta. Kawan kami, seorang pegiat HAM
asal Papua Barat, memberitakan bahwa Tom Wainggai telah meninggal dunia
dalam perjalanan dari penjara Cipinang ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati.
Kawan-kawan dan kaum kerabatnya di Jakarta, menunggu kedatangan isteri Tom
yang kelahiran Jepang, tiba dari negeri kelahirannya, bersama-sama ketiga
anak Tom yang juga telah menyusul ke sana, demi kelangsungan sekolah
mereka. Ketiga anak itu bernama Solomon, Angelica, dan David.
Hampir seminggu setelah Tom menghadap Sang Pencipta, jenazahnya berhasil
diterbangkan kembali ke negeri kelahirannya. Hari Senin, 18 Maret 1996,
pesawat yang mengangkut jenazah Tom mendarat di Bandara Sentani, didampingi
oleh isteri dan ketiga orang anaknya. Secara spontan, ribuan pendukung Tom
yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen, mengarak peti jenazah
dan keluarga yang berduka dari Sentani ke Port Numbay.
Kemarahan rakyat Papua karena berita kematian yang misterius itu, serta
merta dilampiaskan terhadap simbol-simbol kekuatan ekonomi dan politik yang
tidak berada dalam tangan bangsa Papua. Pasar Abepura, berbagai kompleks
pertokoan, puluhan rumah pendatang dan gedung instansi pemerintah, serta
mobil-mobil milik pendatang menjadi sasaran amukan massa.
Kematian Tom karena "sakit", setelah bertahun-tahun lamanya para pegiat HAM
di dalam dan di luar negeri gagal memperjuangkan pembebasan dini atas
alasan kesehatan dan kemanusiaan, masih tetap meninggalkan tanda tanya.
Sejauh ingatan saya, inilah kematian tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat
yang kedua di dalam -- atau sekitar -- penjara di Pulau Jawa.
Tokoh Papua yang telah mendahului Tom Wainggai adalah Gustaf Tanawani,
seorang bekas camat yang diadili dengan tuduhan subversi tahun 1984,
dipindahkan ke penjara Malang, dan meninggal secara misterius ketika
berstatus sebagai penghuni penjara Madiun, pada tanggal 8 Januari 1989.
Kebetulan, Gustaf Tanawani juga orang Serui seperti Tom.
Para kerabat dan pejuang HAM di Papua Barat, sudah sepantasnya menuntut
pemerintah pusat di Jakarta membuka kembali berkas Tom Wainggai dan Gustaf
Tanawani, untuk menghilangkan kesan seolah-olah penjara di Jawa bisa
menjadi tempat "menghilangkan" para pejuang kemerdekaan Papua Barat. Mirip
seperti peranan penjara Boven Digul di Papua Barat bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia di zaman kolonialisme Belanda.
Saya rasa, mengusut kembali kelalaian aparat hukum di Jawa, dalam
memelihara keselamatan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat yang
dibuang ke Jawa, saat ini lebih penting ketimbang mengenang Tom Wainggai
dengan mengabadikan bendera rancangannya.
Bintang Kejora versus Bintang 14:
---------------------------------
Mungkin, sobat-sobat di Papua Barat ada yang kurang senang dengan pendapat
ini. Tapi cobalah kita fikirkan dengan kepala dingin: mana yang lebih
penting, memperjuangkan dihormatinya hak kolektif bangsa Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri lewat referendum ataukah cara lain, atau 'adu
bendera' di pusat kota Port Numbay?
Kedua bendera yang kini dipertentangkan, sama-sama punya kelemahan. Sang
Bintang Kejora, konon dirancang oleh seorang Belanda, yang mencoba memadu
warna-warna dasar bendera Belanda dan AS, dengan Sampari yang merupakan
simbol kebangkitan dalam tradisi Teluk Saerera (Teluk Cenderawasih).
Khususnya, dalam mitologi Koreri yang berasal dari suku Biak-Numfoor.
Jadi, kalau mau dilihat dari sudut demokrasi, bendera itu bukan karya
sepenuhnya orang Papua sendiri, juga bukan hasil kompetisi yang terbuka
bagi seluruh rakyat Papua. Lalu, sampari (bintang kejora) terutama
merupakan bagian dari kebudayaan salah satu suku saja, di antara ke-240
suku bangsa Papua Barat.
Bendera 'Republik Melanesia Barat', yang kini populer dengan istilah
"Bintang 14", juga bukan hasil proses perancangan dan perlombaan yang
demokratis. Memang, bendera yang satu ini adalah karya salah seorang putra
terbaik bangsa Papua Barat, yang gugur di penjara rezim Jakarta, tapi
cobalah kita renungkan kembali proses pembuatan dan maknanya.
Menurut surat Tom kepada seorang kawannya di Negeri Belanda, tanggal 14 Mei
1993, bendera itu mulai dirancangnya di Jepang tahun 1969. Pada mulanya,
dia baru punya ide untuk menggunakan tiga warna -- hitam, putih, dan merah.
Kemudian, suatu hari di tahun 1983 di Tallahassee, Florida (AS), dia
mendapat ilham untuk menambahkan warna hijau, membentang dari atas ke
bawah, di bagian kiri bendera itu, mirip dengan posisi jalur merah pada
bendera Papua Barat yang lama. Di atas jalur hijau itu Tom meletakkan 14
bintang yang diatur berbentuk salib.
Selanjutnya, suatu hari di tahun 1986, di Port Numbay, Tom membuka Alkitab
dan menemukan 'pembenaran' terhadap bendera rancangannya, dalam kitab Wahyu
Bab 6, pasal 1 s/d 17. Dari situ dia memberikan makna hitam sebagai warna
maut, warna kematian, yang harus ditebus dengan salib, yakni penderitaan
yang harus dilalui oleh bangsa Papua untuk mencapai kebahagiaan di bumi,
yakni kemerdekaan.
Berbicara soal "bangsa Papua", di sini juga kita bisa lihat re-definisi
jatidiri bangsa penghuni separuh pulau cenderawasih, yang berusaha
dilakukan oleh Tom Wainggai di segala bidang. Nama "Papua", digantikannya
dengan nama "Melanesia". Singkatan "OPM" untuk para pejuang bersenjata di
hutan, digantinya dari "Organisasi Papua Merdeka" menjadi "Organisasi
Pembebasan Melanesia".
Lambang negara, yang tadinya hanya burung mambruk, dilengkapinya dengan
burung kuning dan burung mambruk, mengapit peta kawasan Papua Barat, yang
diganti namanya menjadi "Melanesia". Dan yang paling radikal tapi bersifat
eksklusif, adalah semboyan negara, yang dulunya dikenal dengan istilah "One
People, One Soul", diganti oleh Tom menjadi "Tuhan adalah Gembala Kami",
yang diambilnya dari kitab Mazmur, Bab 23, pasal 1 s/d 6.
Baik salib dalam ujud 14 bintang serta semboyan negara itu, tidak menjadi
masalah bagi Tom, yang memang membayangkan "Republik Melanesia" yang
dipimpinnya itu akan merupakan negara Kristen. Tentu saja, hal ini tak akan
diterima oleh dua kelompok besar dalam gerakan kemerdekaan Papua Barat,
yakni orang-orang Kristen yang menganut faham sekuler, khususnya pemisahan
"Gereja" dan "Negara", serta para pejuang kemerdekaan yang bukan Kristen.
Kelompok non-Kristen ini terdiri dari mereka yang Muslim, dan kebanyakan
berasal dari daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, serta para penganut
agama suku. Kedua kelompok ini tentunya juga tidak ingin negara yang akan
datang "memaksa" mereka masuk agama Kristen, atau mengatur kehidupan
bernegara menurut doktrin-doktrin atau simbol-simbol Kristen.
Saat ini, nama Papua untuk separuh pulau kasuari ini saja sudah
problematis. Soalnya, nama Papua sudah dikenal di negara tetangga, PNG,
untuk belahan selatan, di mana pernah ada gerakan Papua Besena yang
memperjuangkan pemisahan Papua dari Niugini (belahan utara). Itu sebabnya,
di kalangan pejuang kemerdekaan, istilah Papua Barat tetap merupakan
istilah yang lebih lazim dipakai untuk menyebut nama negerinya.
Dibandingkan dengan nama "Papua" yang diberikan oleh Gus Dur (berdasarkan
alasan yang keliru, seolah-olah istilah itu berasal dari bahasa Arab, dan
bermakna "telanjang"), istilah "Melanesia" tidak kalah problematisnya.
Bahkan istilah "Melanesia Barat" pun masih tetap problematis, sebab kawasan
Melanesia, yang merujuk ke warna kulit atau ras penghuninya, sesungguhnya
bukan baru mulai di pulau kasuari, tapi mulai dari Maluku dan Nusa Tenggara
Timur.
Usut Semua Kematian Misterius:
------------------------------
Kesimpulan saya, dari pada memecah-belah kekuatan dengan menyusun barisan
sendiri, dengan menggunakan istilah "Bintang 14", yang seolah-olah
merupakan saingan dari "fraksi Bintang Kejora", lebih baik semua yang ingin
memperjuangkan kemerdekaan membentuk satu presidium.
Soal bendera, para pejuang kemerdekaan sebaiknya bersikap lebih praktis dan
pragmatis, selama tujuan membentuk negara yang merdeka belum tercapai.
Pilihlah bendera yang sudah lebih dikenal oleh rakyat banyak, dan tidak
bersifat eksklusif.
Salah satu tugas mendesak bagi presidium itu adalah menggugat pemerintah
Gus Dur dan Megawati untuk membongkar kasus kematian misterius sejumlah
putra terbaik Papua Barat, seperti Arnold Ap, Edu Mofu, Gustaf Tanawani,
Tom Wainggai, Obeth Badii, Chrisian Misiren,
Aloysius Gobay, Amos Womsiwor,
Obeth Womsiwor, Pakistan Rumbekwan,
Bernardus Adadikam, Max Ongge,
Lazarus Konsu, Hermanus Wayoi, dan masih banyak lagi.
Puri Baru, Minggu, 25 Maret 2000
******************************
OTTIS SIMOPIAREF
Artikel untuk Tabloid Jubi, Port Numbay, No. 16
Mengenang Perjuangan Tom Wanggai:
Dengan Bendera, atau Apa ?
--------------------------
Oleh George J. Aditjondro
MINGGU lalu, saya mendapat berita bahwa sejumlah aktivis Papua Barat
berkumpul di depan gedung DPRD Papua Barat di pusat kota Port Numbay
(Jayapura). Rupanya mereka mengenang kematian almarhum Thomas W.N.S.
Wainggai, tokoh pejuang kemerdekaan negeri ini yang meninggal dalam tahanan
rezim Orde Baru dalam usia 59 tahun.
Saya belum sempat mengenal beliau secara pribadi, seakrab sebagaimana saya
mengenal almarhum Arnold Ap, tetangga dan
kawan seperjuangan saya di Papua
Barat waktu itu. Pada saat saya meninggalkan Bumi Kasuari,
bulan Agustus 1987, untuk melanjutkan studi di AS,
kami mungkin baru berpapasan satu dua
kali di kantor gubernur. Tom, begitu panggilan akrabnya, waktu itu bekerja
di kantor BAPPEDA Propinsi,
berbekal sederetan gelar S-2 dan S-3 di bidang
hukum dan administrasi pemerintahan dari AS dan Jepang.
Makanya, saya agak terkejut ketika mendengar beliau
memproklamasikanberdirinya Republik Melanesia Barat
di Stadion Mandala, Port Numbay, pada tanggal 14 Desember 1988. Sejak saat itulah saya berusaha mengikuti dampak pernyataan
yang sekali lagi menuntut dipatuhinya hak rakyat Papua Barat
untuk menentukan nasibnya sendiri.
Setelah pulang dari studi di Universitas Cornell, AS,
dan mulai mengajar di bekas alma mater saya,
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Tom sudah
divonis 20 tahun penjara, dan sudah dipindah dari Port Numbay
ke penjaraCipinang. Lewat kawan-kawan di PGI yang aktif
dalam pelayanan rohani para narapidana,
saya berusaha terus mengikuti keadaan Tom.
Sekali-sekali, dalam perjalanan mengikuti seminar
di luar negeri, saya menyanggupi jadi 'tukang pos'
untuk mengirim surat-surat Tom ke kawan-kawannya
di mancanegara. Dengan seizin kawan-kawan Papua yang
melayani Tom, surat-surat itu
sempat saya fotokopi dulu, yang kemudian
sedikit menjadi "jendela" untuk memahami
pemikiran cendekiawan dari Serui ini.
Satu hal yang waktu itu sudah menarik perhatian saya adalah bahwa nada
surat-surat buat kawan-kawan Tom di AS,
Australia, Aotearoa (New Zealand),Negeri Belanda dan Jepang
itu sangat optimis bahwa kemerdekaan negara di
belahan barat Pulau Niugini itu akan segera tercapai.
Paling tidak, tahun 2000.
Dengan tetap menghormati perbedaan pendapat
di antara orang Papua, juga perbedaan antara pemikiran Tom
dan saya sendiri, saya terus berusaha mengikuti perkembangan Tom
di penjara. Juga ketika saya sendiri terpaksa hijrah dari
tanah tumpah darah saya, pada tanggal 1 Februari 1995,
gara-gara para pendukung Suharto
dan Habibie tidak senang saya mengecam KKN para boss mereka.
Kampanye dari Perth:
--------------------
Untunglah di tempat pelarian saya yang pertama,
Perth, ada satu kelompok pegiat HAM yang mengkhususkan diri
berkampanye untuk pembebasan Tom.
Seorang kawan akrab saya di Perth, Nonie Atkinson,
adalah anggota kelompok Amnesty International (AI)
kawasan Como, Perth Selatan. Kelompok ini telah
"mengadopsi" Tom Wainggai sebagai "prisoner of conscience"
(orang yang dipenjara karena keyakinannya),
dan ingin melakukan apa saja, tanpa kekerasan,
untuk membebaskannya dari penjara. Sejak akhir 1993, para
anggota kelompok itu sudah melayangkan surat-surat
ke alamat Menlu Ali Alatas, mendesak pembebasan Tom Wainggai
atas alasan kesehatan dan kemanusiaan.
Memang, ketika masih berada di Perth itu,
saya sudah mendengar dari kawan-kawan saya di PGI,
bahwa kesehatan mental tokoh pencetus 'Republik Melanesia Barat' sangat terganggu. Bahkan ketika saya masih berada di Salatiga,
kawan-kawan saya yang biasa 'keluar masuk' penjara Cipinang,
sudah melaporkan hal yang sama.
Nah, faktor kesehatan narapidana politik paling top
dari Papua Barat itulah, kemudian dijadikan
isyu sentral oleh kelompok AI di Perth, untuk
memperjuangkan pembebasannya. Sesudah
dua pertemuan di bulan Juli dan
Agustus 1995, kelompok AI Perth memutuskan
untuk mengirim surat pada wakil Palang Merah Internasional di Jakarta,
untuk memberikan pelayanan kesehatan
pada Tom. Juga diputuskan untuk mengirim surat
kepada Bambang Widjajanto,SH, yang pernah membela
Tom dalam sidang pengadilan di Port Numbay, tahun 1989,
untuk meminta foto-foto, kliping-kliping koran,
dan bahan informasi
apa saja yang dapat membantu kampanye pembebasan Tom di Australia.
Kelompok AI ini tidak sendiri dalam berkampanye. Mereka didukung oleh
Komisi Ahli Hukum Sedunia, ICJ (International Commission of Jurists) Seksi
Australia Cabang Australia Barat, yang anggota-anggotanya bekerja di
beberapa universitas di Perth. Para ahli hukum ini pun secara resmi
mengirim surat kepada Sekjen Komnas HAM, Menteri Kehakiman, dan Menteri
Luarnegeri Republik Indonesia, mendesak supaya Tom Wainggai segera
mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Sayangnya, surat-surat yang
dilayangkan tanggal 28 Juli 1995 itu, tidak mendapat balasan. Siapa tahu,
mungkin hilang ditelan ombak Samudra Hindia.
Di kalangan politisi Australia Barat di parlemen federal di Canberra,
dukungan untuk perjuangan pembebasan Tom Wainggai, datang dari Partai
Hijau. Dalam kesempatan tanya-jawab dengan fraksi pemerintah di parlemen,
para senator Partai Hijau berulang kali mendesak Menlu Australia waktu itu,
Gareth Evans, untuk mempertanyakan nasib Tom Wainggai pada Menlu Indonesia,
Ali Alatas.
Antara Cipinang & Kramat Jati:
------------------------------
Sayang sekali, semua kegiatan itu bagaikan menggarami lautan. Pada hari
Selasa, 12 Maret 1996, ketika saya sudah pindah dari Perth ke Newcastle,
untuk menjalani kontrak mengajar selama lima tahun, kami dikejutkan oleh
telepon dengan berita sedih dari Jakarta. Kawan kami, seorang pegiat HAM
asal Papua Barat, memberitakan bahwa Tom Wainggai telah meninggal dunia
dalam perjalanan dari penjara Cipinang ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati.
Kawan-kawan dan kaum kerabatnya di Jakarta, menunggu kedatangan isteri Tom
yang kelahiran Jepang, tiba dari negeri kelahirannya, bersama-sama ketiga
anak Tom yang juga telah menyusul ke sana, demi kelangsungan sekolah
mereka. Ketiga anak itu bernama Solomon, Angelica, dan David.
Hampir seminggu setelah Tom menghadap Sang Pencipta, jenazahnya berhasil
diterbangkan kembali ke negeri kelahirannya. Hari Senin, 18 Maret 1996,
pesawat yang mengangkut jenazah Tom mendarat di Bandara Sentani, didampingi
oleh isteri dan ketiga orang anaknya. Secara spontan, ribuan pendukung Tom
yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen, mengarak peti jenazah
dan keluarga yang berduka dari Sentani ke Port Numbay.
Kemarahan rakyat Papua karena berita kematian yang misterius itu, serta
merta dilampiaskan terhadap simbol-simbol kekuatan ekonomi dan politik yang
tidak berada dalam tangan bangsa Papua. Pasar Abepura, berbagai kompleks
pertokoan, puluhan rumah pendatang dan gedung instansi pemerintah, serta
mobil-mobil milik pendatang menjadi sasaran amukan massa.
Kematian Tom karena "sakit", setelah bertahun-tahun lamanya para pegiat HAM
di dalam dan di luar negeri gagal memperjuangkan pembebasan dini atas
alasan kesehatan dan kemanusiaan, masih tetap meninggalkan tanda tanya.
Sejauh ingatan saya, inilah kematian tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat
yang kedua di dalam -- atau sekitar -- penjara di Pulau Jawa.
Tokoh Papua yang telah mendahului Tom Wainggai adalah Gustaf Tanawani,
seorang bekas camat yang diadili dengan tuduhan subversi tahun 1984,
dipindahkan ke penjara Malang, dan meninggal secara misterius ketika
berstatus sebagai penghuni penjara Madiun, pada tanggal 8 Januari 1989.
Kebetulan, Gustaf Tanawani juga orang Serui seperti Tom.
Para kerabat dan pejuang HAM di Papua Barat, sudah sepantasnya menuntut
pemerintah pusat di Jakarta membuka kembali berkas Tom Wainggai dan Gustaf
Tanawani, untuk menghilangkan kesan seolah-olah penjara di Jawa bisa
menjadi tempat "menghilangkan" para pejuang kemerdekaan Papua Barat. Mirip
seperti peranan penjara Boven Digul di Papua Barat bagi para pejuang
kemerdekaan Indonesia di zaman kolonialisme Belanda.
Saya rasa, mengusut kembali kelalaian aparat hukum di Jawa, dalam
memelihara keselamatan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Papua Barat yang
dibuang ke Jawa, saat ini lebih penting ketimbang mengenang Tom Wainggai
dengan mengabadikan bendera rancangannya.
Bintang Kejora versus Bintang 14:
---------------------------------
Mungkin, sobat-sobat di Papua Barat ada yang kurang senang dengan pendapat
ini. Tapi cobalah kita fikirkan dengan kepala dingin: mana yang lebih
penting, memperjuangkan dihormatinya hak kolektif bangsa Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri lewat referendum ataukah cara lain, atau 'adu
bendera' di pusat kota Port Numbay?
Kedua bendera yang kini dipertentangkan, sama-sama punya kelemahan. Sang
Bintang Kejora, konon dirancang oleh seorang Belanda, yang mencoba memadu
warna-warna dasar bendera Belanda dan AS, dengan Sampari yang merupakan
simbol kebangkitan dalam tradisi Teluk Saerera (Teluk Cenderawasih).
Khususnya, dalam mitologi Koreri yang berasal dari suku Biak-Numfoor.
Jadi, kalau mau dilihat dari sudut demokrasi, bendera itu bukan karya
sepenuhnya orang Papua sendiri, juga bukan hasil kompetisi yang terbuka
bagi seluruh rakyat Papua. Lalu, sampari (bintang kejora) terutama
merupakan bagian dari kebudayaan salah satu suku saja, di antara ke-240
suku bangsa Papua Barat.
Bendera 'Republik Melanesia Barat', yang kini populer dengan istilah
"Bintang 14", juga bukan hasil proses perancangan dan perlombaan yang
demokratis. Memang, bendera yang satu ini adalah karya salah seorang putra
terbaik bangsa Papua Barat, yang gugur di penjara rezim Jakarta, tapi
cobalah kita renungkan kembali proses pembuatan dan maknanya.
Menurut surat Tom kepada seorang kawannya di Negeri Belanda, tanggal 14 Mei
1993, bendera itu mulai dirancangnya di Jepang tahun 1969. Pada mulanya,
dia baru punya ide untuk menggunakan tiga warna -- hitam, putih, dan merah.
Kemudian, suatu hari di tahun 1983 di Tallahassee, Florida (AS), dia
mendapat ilham untuk menambahkan warna hijau, membentang dari atas ke
bawah, di bagian kiri bendera itu, mirip dengan posisi jalur merah pada
bendera Papua Barat yang lama. Di atas jalur hijau itu Tom meletakkan 14
bintang yang diatur berbentuk salib.
Selanjutnya, suatu hari di tahun 1986, di Port Numbay, Tom membuka Alkitab
dan menemukan 'pembenaran' terhadap bendera rancangannya, dalam kitab Wahyu
Bab 6, pasal 1 s/d 17. Dari situ dia memberikan makna hitam sebagai warna
maut, warna kematian, yang harus ditebus dengan salib, yakni penderitaan
yang harus dilalui oleh bangsa Papua untuk mencapai kebahagiaan di bumi,
yakni kemerdekaan.
Berbicara soal "bangsa Papua", di sini juga kita bisa lihat re-definisi
jatidiri bangsa penghuni separuh pulau cenderawasih, yang berusaha
dilakukan oleh Tom Wainggai di segala bidang. Nama "Papua", digantikannya
dengan nama "Melanesia". Singkatan "OPM" untuk para pejuang bersenjata di
hutan, digantinya dari "Organisasi Papua Merdeka" menjadi "Organisasi
Pembebasan Melanesia".
Lambang negara, yang tadinya hanya burung mambruk, dilengkapinya dengan
burung kuning dan burung mambruk, mengapit peta kawasan Papua Barat, yang
diganti namanya menjadi "Melanesia". Dan yang paling radikal tapi bersifat
eksklusif, adalah semboyan negara, yang dulunya dikenal dengan istilah "One
People, One Soul", diganti oleh Tom menjadi "Tuhan adalah Gembala Kami",
yang diambilnya dari kitab Mazmur, Bab 23, pasal 1 s/d 6.
Baik salib dalam ujud 14 bintang serta semboyan negara itu, tidak menjadi
masalah bagi Tom, yang memang membayangkan "Republik Melanesia" yang
dipimpinnya itu akan merupakan negara Kristen. Tentu saja, hal ini tak akan
diterima oleh dua kelompok besar dalam gerakan kemerdekaan Papua Barat,
yakni orang-orang Kristen yang menganut faham sekuler, khususnya pemisahan
"Gereja" dan "Negara", serta para pejuang kemerdekaan yang bukan Kristen.
Kelompok non-Kristen ini terdiri dari mereka yang Muslim, dan kebanyakan
berasal dari daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, serta para penganut
agama suku. Kedua kelompok ini tentunya juga tidak ingin negara yang akan
datang "memaksa" mereka masuk agama Kristen, atau mengatur kehidupan
bernegara menurut doktrin-doktrin atau simbol-simbol Kristen.
Saat ini, nama Papua untuk separuh pulau kasuari ini saja sudah
problematis. Soalnya, nama Papua sudah dikenal di negara tetangga, PNG,
untuk belahan selatan, di mana pernah ada gerakan Papua Besena yang
memperjuangkan pemisahan Papua dari Niugini (belahan utara). Itu sebabnya,
di kalangan pejuang kemerdekaan, istilah Papua Barat tetap merupakan
istilah yang lebih lazim dipakai untuk menyebut nama negerinya.
Dibandingkan dengan nama "Papua" yang diberikan oleh Gus Dur (berdasarkan
alasan yang keliru, seolah-olah istilah itu berasal dari bahasa Arab, dan
bermakna "telanjang"), istilah "Melanesia" tidak kalah problematisnya.
Bahkan istilah "Melanesia Barat" pun masih tetap problematis, sebab kawasan
Melanesia, yang merujuk ke warna kulit atau ras penghuninya, sesungguhnya
bukan baru mulai di pulau kasuari, tapi mulai dari Maluku dan Nusa Tenggara
Timur.
Usut Semua Kematian Misterius:
------------------------------
Kesimpulan saya, dari pada memecah-belah kekuatan dengan menyusun barisan
sendiri, dengan menggunakan istilah "Bintang 14", yang seolah-olah
merupakan saingan dari "fraksi Bintang Kejora", lebih baik semua yang ingin
memperjuangkan kemerdekaan membentuk satu presidium.
Soal bendera, para pejuang kemerdekaan sebaiknya bersikap lebih praktis dan
pragmatis, selama tujuan membentuk negara yang merdeka belum tercapai.
Pilihlah bendera yang sudah lebih dikenal oleh rakyat banyak, dan tidak
bersifat eksklusif.
Salah satu tugas mendesak bagi presidium itu adalah menggugat pemerintah
Gus Dur dan Megawati untuk membongkar kasus kematian misterius sejumlah
putra terbaik Papua Barat, seperti Arnold Ap, Edu Mofu, Gustaf Tanawani,
Tom Wainggai, Obeth Badii, Chrisian Misiren,
Aloysius Gobay, Amos Womsiwor,
Obeth Womsiwor, Pakistan Rumbekwan,
Bernardus Adadikam, Max Ongge,
Lazarus Konsu, Hermanus Wayoi, dan masih banyak lagi.
Puri Baru, Minggu, 25 Maret 2000
******************************
OTTIS SIMOPIAREF
Senin, April 20, 2009
PAHLAWAN BESAR NEGERIKU
Menapak Jejak Perlawanan Ngurah Rai
Author : Luh De Suriyani
Jero Mangku Margarana (Balebengong.net)
Ladang-ladang jagung di Marga, Tabanan, Bali yang lebat dan tinggi menjadi benteng terakhir pertahanan pasukan Tjiung Wanara pinpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngoerah Rai. Marga di Kabupaten Tabanan adalah babak terakhir hidup penuh perjuangan Ngoerah Rai, pemuda kelahiran Carangsari, Badung, 30 Januari 1917 ini.
Usianya baru 29 tahun ketika itu. Setelah Proklamasi Kemerdekaaan dikumandangkan, Ngoerah Rai menjadi Komandan Resimen Sunda Ketjil. Ia dan pasukannya, Tjiung Wanara, kemudian melakukan longmarch merayakan proklamasi ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Pasukan ini kemudian dicegat serdadu Belanda di Desa Marga.
Ketika itu, pagi hari pada 20 November 1946. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan, sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Tjiung Wanara yang siap dengan pertahanannya menunggu komando Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, Tjiung Wanara berhasil memukul musuh.
Namun, pertempuran belum usai. Kali ini, bukan hanya letupan sejata yang terdengar, NICA menggempur pasukan muda Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang mengakhiri hidup Ngurah Rai. Ini yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda.
Ladang jagung itu kini berubah menjadi Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana. Sebuah tugu segi lima setinggi 17 meter dibangun di tengah areal monumen. Foto I Gusti Ngurah Rai terpasang di sisi depan tugu yang disebut Candi Pahlawan Margarana. Berdiri depan tugu ini seperti melompat ke masa lalu, mengingat para pemuda Bali yang kini namanya terpahat di nisan-nisan monumen.
Sesaji berupa canang (persembahan terbuat dari anyaman janur dan bunga) dan ceceran bungan terlihat di sekitar tugu. Sejumlah remaja juga tengah menyiapkan sesaji penghormatan pada Ngurah Rai dan 1371 orang pahlawan lainnya yang juga dimakamkan di kawasan ini.
“Jiwa Gusti Ngurah Rai akan terus abadi, walau sudah puputan. Beliau masih muda,” ujar Jero Mangku Margarana, seorang pria tua yang delapan tahun memimpin persembahyangan di area tugu di Candi Pahlawan Margarana.
Proklamsi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 tercakup dalam sejumlah simbol di tugu ini. Tinggi tunggu dibuat 17 meter, lalu jumlah meru atau tumpukkan tugu 8 (bulan kedelapan), jumlah anak tangga empat buah, dan tugu bersegi lima. Suasana sejuk, rindang, dan perbukitan di utara menambah asri kawasan monumen ini.
Setiap tahun, saat pergantian tahun ajar, ribuan siswa secara rutin menguntungi tempat ini. Selain situs sejarah, kawasan ini memang sangat enak menjadi tempat rekreasi pendidikan. Bahkan untuk keluarga juga.
Kawasan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Depan pintu masuk adalah Patung Panca Bakti. Yakni lima buah patung gerilya terdiri atas pemuda, buruh, alim ulama, tani, dan wanita tengah bergerilya, menggambarkan persatuan dalam perjuangan kemerdekaan. Bagian tengah berdiri Candi Pahlawan Margarana berisi foto Ngurah Rai dan surat penolakan berundingnya pada Belanda.
Bagian belakang adalah Taman Bahagia, terdiri dari 1372 buah nisan dari pejuang yang gugur. Nisan berarsitektur simbol agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, mencerminkan keyakinan yang dianut pahlawan-pahlawan itu. Di sisi timur ada Gedung Sejarah berisi museum kecil yang merangkum jejak perjuangan I Gusti Ngurah Rai, persenjataan sederhana pasukan Tjiung Wanara, dan lainnya yang cukup menarik.
Selain itu ada Taman Suci, Taman Seni Budaya, dan Taman Karya Alam yang diperuntukkan untuk kegiatan rekreasi dan edukasi.
Kolam-kolam penuh ikan, balebengong, pohon-pohon rindang, dan perbukitan di utara kawasan ini menjadikan kawasan ini nyaman. Makam pahlawan yang terawat dan halaman rumpu yang bersih akan mendukung berbagai kegiatan edukasi sejarah bagi siswa dan masyarakat yang berkunjung. Suasana ini sangat mendukung kegiatan diskusi atau refleksi sejarah ketika kita berusaha merekonstruksi peristiwa puputan 20 November itu. Yang kurang hanya informasi dan suasana interaktif bagi pengunjung.
Sementara di Denpasar, sebuah monumen megah juga didirikan untuk memudahkan kita mengenal perjuangan rakyat Bali merebut kemerdekaan dari penjajah. Sebuah museum dalam monumen, bernama Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Berlokasi di Jl. Puputan Niti Mandala Renon.
Museum ini tak hanya merekam jaman perjuangan kemerdekaan tapi jaman pra sejarah dan kehidupan orang Bali. Jejak perjuangan Ngurah Rai diperlihatkan dalam diorama yang memperlihatkan babak-babak penting sejarang Bali. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya digambarkan sedang menyusun taktik dan ketika perang Puputan Margarana.
Suatu perjalanan napak tilas yang menarik. Membuka ingatan pada jiwa-jiwa kepahlawanan masa lalu, untuk direkonstruksi sesuai konteks masa kini. [b]
Author : Luh De Suriyani
Jero Mangku Margarana (Balebengong.net)
Ladang-ladang jagung di Marga, Tabanan, Bali yang lebat dan tinggi menjadi benteng terakhir pertahanan pasukan Tjiung Wanara pinpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngoerah Rai. Marga di Kabupaten Tabanan adalah babak terakhir hidup penuh perjuangan Ngoerah Rai, pemuda kelahiran Carangsari, Badung, 30 Januari 1917 ini.
Usianya baru 29 tahun ketika itu. Setelah Proklamasi Kemerdekaaan dikumandangkan, Ngoerah Rai menjadi Komandan Resimen Sunda Ketjil. Ia dan pasukannya, Tjiung Wanara, kemudian melakukan longmarch merayakan proklamasi ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Pasukan ini kemudian dicegat serdadu Belanda di Desa Marga.
Ketika itu, pagi hari pada 20 November 1946. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan, sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Tjiung Wanara yang siap dengan pertahanannya menunggu komando Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, Tjiung Wanara berhasil memukul musuh.
Namun, pertempuran belum usai. Kali ini, bukan hanya letupan sejata yang terdengar, NICA menggempur pasukan muda Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang mengakhiri hidup Ngurah Rai. Ini yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda.
Ladang jagung itu kini berubah menjadi Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana. Sebuah tugu segi lima setinggi 17 meter dibangun di tengah areal monumen. Foto I Gusti Ngurah Rai terpasang di sisi depan tugu yang disebut Candi Pahlawan Margarana. Berdiri depan tugu ini seperti melompat ke masa lalu, mengingat para pemuda Bali yang kini namanya terpahat di nisan-nisan monumen.
Sesaji berupa canang (persembahan terbuat dari anyaman janur dan bunga) dan ceceran bungan terlihat di sekitar tugu. Sejumlah remaja juga tengah menyiapkan sesaji penghormatan pada Ngurah Rai dan 1371 orang pahlawan lainnya yang juga dimakamkan di kawasan ini.
“Jiwa Gusti Ngurah Rai akan terus abadi, walau sudah puputan. Beliau masih muda,” ujar Jero Mangku Margarana, seorang pria tua yang delapan tahun memimpin persembahyangan di area tugu di Candi Pahlawan Margarana.
Proklamsi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 tercakup dalam sejumlah simbol di tugu ini. Tinggi tunggu dibuat 17 meter, lalu jumlah meru atau tumpukkan tugu 8 (bulan kedelapan), jumlah anak tangga empat buah, dan tugu bersegi lima. Suasana sejuk, rindang, dan perbukitan di utara menambah asri kawasan monumen ini.
Setiap tahun, saat pergantian tahun ajar, ribuan siswa secara rutin menguntungi tempat ini. Selain situs sejarah, kawasan ini memang sangat enak menjadi tempat rekreasi pendidikan. Bahkan untuk keluarga juga.
Kawasan ini terbagi menjadi beberapa bagian. Depan pintu masuk adalah Patung Panca Bakti. Yakni lima buah patung gerilya terdiri atas pemuda, buruh, alim ulama, tani, dan wanita tengah bergerilya, menggambarkan persatuan dalam perjuangan kemerdekaan. Bagian tengah berdiri Candi Pahlawan Margarana berisi foto Ngurah Rai dan surat penolakan berundingnya pada Belanda.
Bagian belakang adalah Taman Bahagia, terdiri dari 1372 buah nisan dari pejuang yang gugur. Nisan berarsitektur simbol agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, mencerminkan keyakinan yang dianut pahlawan-pahlawan itu. Di sisi timur ada Gedung Sejarah berisi museum kecil yang merangkum jejak perjuangan I Gusti Ngurah Rai, persenjataan sederhana pasukan Tjiung Wanara, dan lainnya yang cukup menarik.
Selain itu ada Taman Suci, Taman Seni Budaya, dan Taman Karya Alam yang diperuntukkan untuk kegiatan rekreasi dan edukasi.
Kolam-kolam penuh ikan, balebengong, pohon-pohon rindang, dan perbukitan di utara kawasan ini menjadikan kawasan ini nyaman. Makam pahlawan yang terawat dan halaman rumpu yang bersih akan mendukung berbagai kegiatan edukasi sejarah bagi siswa dan masyarakat yang berkunjung. Suasana ini sangat mendukung kegiatan diskusi atau refleksi sejarah ketika kita berusaha merekonstruksi peristiwa puputan 20 November itu. Yang kurang hanya informasi dan suasana interaktif bagi pengunjung.
Sementara di Denpasar, sebuah monumen megah juga didirikan untuk memudahkan kita mengenal perjuangan rakyat Bali merebut kemerdekaan dari penjajah. Sebuah museum dalam monumen, bernama Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Berlokasi di Jl. Puputan Niti Mandala Renon.
Museum ini tak hanya merekam jaman perjuangan kemerdekaan tapi jaman pra sejarah dan kehidupan orang Bali. Jejak perjuangan Ngurah Rai diperlihatkan dalam diorama yang memperlihatkan babak-babak penting sejarang Bali. I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya digambarkan sedang menyusun taktik dan ketika perang Puputan Margarana.
Suatu perjalanan napak tilas yang menarik. Membuka ingatan pada jiwa-jiwa kepahlawanan masa lalu, untuk direkonstruksi sesuai konteks masa kini. [b]
Jumat, April 17, 2009
BERAPA GAJI PARA PERWIRA TINGGI ?? ..!!!!!!!!
2010, Gaji Jenderal Naik Jadi Rp 35 Juta
16 Apr 2009 10:09:25
Jakarta, (tvOne)
Pemerintah berniat menaikkan gaji jenderal di kepolisian dan tentara nasional pada tahun depan menjadi sekitar Rp 30 - 40 juta.
Kenaikan take home pay itu akan diberlakukan pada 2010 seiring dengan program reformasi birokrasi pada tiga lembaga tersebut. Pemerintah lewat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menyusun konsep reformasi birokrasi tersebut.
Seperti diungkapkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Paskah Suzetta setidaknya ada tiga lembaga yang akan menjadi prioritas reformasi birokrasi. Tiga lembaga itu adalah Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan Agung.
"Mengacu pada konsep yang disusun Kementerian PAN, gaji jenderal TNI dan Polisi sekitar Rp 30 - 40 juta," ujar pejabat di Kementerian PAN tersebut. Namun, dia mengungkapkan jenderal yang menerima gaji tersebut adalah yang berada di level eselon satu dan mempunyai jabatan struktur.
Dia menjelaskan di setiap institusi eselon satu terbagi dalam beberapa bagian, misalnya ada eselon IA dan IB. Untuk eselon IA, kisaran penghasilannya Rp 35 - 40 juta. Sedangkan, eselon IB sekitar Rp 30 - 35 juta.
Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Herry Purnomo pada Jumat 27 Maret 2009 mengakui selama ini gaji para jenderal memang kecil. Jika ditambah tunjangan, seperti tunjangan anak dan tunjangan istri sebesar 2 persen. Bahkan, bagi yang punya jabatan struktural mereka mendapatkan tunjangan jabatan struktur. "Jadi, ditambah tunjangan gaji jenderal, sekitar Rp 5 - 7,5 juta per orang."
Sejumlah mantan jenderal mengakui rendahnya gaji mereka. Seorang mantan panglima Kodam, Mayjend Purnawirawan Johny Wahab mengatakan sebagai pensiunan dia cuma menerima penghasilan Rp 2,2 juta.
Prabowo Subianto, mantan Komandan Pasukan Khusus dalam bukunya “Membangun Kembali Indonesia Raya” juga menyebutkan rendahnya pensiunan jenderal sehingga dia banting setir menjadi pengusaha.
Dalam keterangan tertulis Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan, Rabu 4 Maret 2009 disebutkan soal standar gaji baru bagi PNS, TNI dan polisi.
Itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Gaji Anggota TNI dan Anggota Polri. Di aturan itu disebutkan gaji tertinggi adalah Rp 3,525 juta untuk pangkat Jenderal/Laksamana/Marsekal/Polisi dengan masa kerja 32 tahun atau lebih.
Pensiunan pokok tertinggi adalah Rp 2,643 juta untuk pensiun TNI dan Polri untuk golongan IV atau Perwira Tinggi.
16 Apr 2009 10:09:25
Jakarta, (tvOne)
Pemerintah berniat menaikkan gaji jenderal di kepolisian dan tentara nasional pada tahun depan menjadi sekitar Rp 30 - 40 juta.
Kenaikan take home pay itu akan diberlakukan pada 2010 seiring dengan program reformasi birokrasi pada tiga lembaga tersebut. Pemerintah lewat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah menyusun konsep reformasi birokrasi tersebut.
Seperti diungkapkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Paskah Suzetta setidaknya ada tiga lembaga yang akan menjadi prioritas reformasi birokrasi. Tiga lembaga itu adalah Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan Agung.
"Mengacu pada konsep yang disusun Kementerian PAN, gaji jenderal TNI dan Polisi sekitar Rp 30 - 40 juta," ujar pejabat di Kementerian PAN tersebut. Namun, dia mengungkapkan jenderal yang menerima gaji tersebut adalah yang berada di level eselon satu dan mempunyai jabatan struktur.
Dia menjelaskan di setiap institusi eselon satu terbagi dalam beberapa bagian, misalnya ada eselon IA dan IB. Untuk eselon IA, kisaran penghasilannya Rp 35 - 40 juta. Sedangkan, eselon IB sekitar Rp 30 - 35 juta.
Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Herry Purnomo pada Jumat 27 Maret 2009 mengakui selama ini gaji para jenderal memang kecil. Jika ditambah tunjangan, seperti tunjangan anak dan tunjangan istri sebesar 2 persen. Bahkan, bagi yang punya jabatan struktural mereka mendapatkan tunjangan jabatan struktur. "Jadi, ditambah tunjangan gaji jenderal, sekitar Rp 5 - 7,5 juta per orang."
Sejumlah mantan jenderal mengakui rendahnya gaji mereka. Seorang mantan panglima Kodam, Mayjend Purnawirawan Johny Wahab mengatakan sebagai pensiunan dia cuma menerima penghasilan Rp 2,2 juta.
Prabowo Subianto, mantan Komandan Pasukan Khusus dalam bukunya “Membangun Kembali Indonesia Raya” juga menyebutkan rendahnya pensiunan jenderal sehingga dia banting setir menjadi pengusaha.
Dalam keterangan tertulis Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan, Rabu 4 Maret 2009 disebutkan soal standar gaji baru bagi PNS, TNI dan polisi.
Itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Gaji Anggota TNI dan Anggota Polri. Di aturan itu disebutkan gaji tertinggi adalah Rp 3,525 juta untuk pangkat Jenderal/Laksamana/Marsekal/Polisi dengan masa kerja 32 tahun atau lebih.
Pensiunan pokok tertinggi adalah Rp 2,643 juta untuk pensiun TNI dan Polri untuk golongan IV atau Perwira Tinggi.
Rabu, April 15, 2009
Oooh IRIAN BARAT Negeriku
Kantor KPUD Papua Dibakar Teroris Bayaran
Selaasa, 14 April 2009 | 23:12 WIB
JAYAPURA, Berdasarkan sumber KOMPAS.com-& Sumber2 terpercaya Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, Selasa (14/4) malam ini sekitar pukul 22.30 WIT terbakar. Kebakaran yang terjadi di ruang aula itu diduga karena hubungan arus pendek listrik.Atau ada indikasi Sabotase
Sebelum kebakaran itu terjadi, aliran listrik di kota Jayapura dan sekitarnya padam selama sekitar 30 menit. Pelaksana tugas Kabid Humas Polda Papua Ajun Komisaris Besar Nurhabri menyatakan belum mengetahui secara pasti penyebab kebakaran yang terjadi di kantor KPU Papua yang bersebelahan dengan Kantor Gubernur Papua.
"Kebakaran terjadi di ruang aula dan api tidak sempat merembet ke bagian lain, saat ini masih dilakukan penyelidikan untuk mengetahui penyebab kebakaran walaupun diperkirakan berasal dari arus pendek karena percikan api diduga berasal dari kabel dekat AC (air condition)," ungkap Nurhabri.Selain menyelidiki penyebab kebakaran, polisi juga meminta keterangan dari tujuh orang petugas yang terdiri atas lima anggota Polri yang bertugas di kantor tersebut dan dua staf KPU Papua.Saat ini api sudah berhasil dipadamkan dan di sekitar lokasi pintu masuk kantor KPU Papua sudah diberi tanda garis Polisi ,
Tapi Sudah tiga tahun Pemerintah Pusat kurang Serius berusaha memberi rasa aman kepada Rakyat Papua -Irian Barat
Kiranya Pihak Pemerintah Sebelum Masa Transisi : MENKOPOLKAM Widodo AS dapat menangani secara specifik Sabotase2 dari kelompok separatis yang didanai dan dilatih Di negara2 Tetangga , Sebenarnya Negara2 Tetangga Didanai Swasta Terlihat lebih pada kebutuhan hasil2 tambang Papua tujuanya merebut semua / sebagian konsesi2 Monopoli pertambangan yang digarap Swasta Amerika Serikat Di Papua
Bapak Laksamana Widodo Sekarang saatnya Bapak sudi menorehkan sejarah demi Kesatuan dan keutuhaa Bangsa Indonesia Raya Maka Izin Allah SWT akan Mengabulkan Nya AMIN Ya Rab………!
Selaasa, 14 April 2009 | 23:12 WIB
JAYAPURA, Berdasarkan sumber KOMPAS.com-& Sumber2 terpercaya Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua, Selasa (14/4) malam ini sekitar pukul 22.30 WIT terbakar. Kebakaran yang terjadi di ruang aula itu diduga karena hubungan arus pendek listrik.Atau ada indikasi Sabotase
Sebelum kebakaran itu terjadi, aliran listrik di kota Jayapura dan sekitarnya padam selama sekitar 30 menit. Pelaksana tugas Kabid Humas Polda Papua Ajun Komisaris Besar Nurhabri menyatakan belum mengetahui secara pasti penyebab kebakaran yang terjadi di kantor KPU Papua yang bersebelahan dengan Kantor Gubernur Papua.
"Kebakaran terjadi di ruang aula dan api tidak sempat merembet ke bagian lain, saat ini masih dilakukan penyelidikan untuk mengetahui penyebab kebakaran walaupun diperkirakan berasal dari arus pendek karena percikan api diduga berasal dari kabel dekat AC (air condition)," ungkap Nurhabri.Selain menyelidiki penyebab kebakaran, polisi juga meminta keterangan dari tujuh orang petugas yang terdiri atas lima anggota Polri yang bertugas di kantor tersebut dan dua staf KPU Papua.Saat ini api sudah berhasil dipadamkan dan di sekitar lokasi pintu masuk kantor KPU Papua sudah diberi tanda garis Polisi ,
Tapi Sudah tiga tahun Pemerintah Pusat kurang Serius berusaha memberi rasa aman kepada Rakyat Papua -Irian Barat
Kiranya Pihak Pemerintah Sebelum Masa Transisi : MENKOPOLKAM Widodo AS dapat menangani secara specifik Sabotase2 dari kelompok separatis yang didanai dan dilatih Di negara2 Tetangga , Sebenarnya Negara2 Tetangga Didanai Swasta Terlihat lebih pada kebutuhan hasil2 tambang Papua tujuanya merebut semua / sebagian konsesi2 Monopoli pertambangan yang digarap Swasta Amerika Serikat Di Papua
Bapak Laksamana Widodo Sekarang saatnya Bapak sudi menorehkan sejarah demi Kesatuan dan keutuhaa Bangsa Indonesia Raya Maka Izin Allah SWT akan Mengabulkan Nya AMIN Ya Rab………!
Senin, April 06, 2009
Meninjau Koalisi
Kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi.
Jum'at, 20 Maret 2009, 08:14 WIB
Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto
news - Saat ini Indonesia memasuki fase yang sama seperti yang dialami oleh negara-negara demokrasi baru. Biasanya kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi (perwakilan rakyat yang dikejewantahkan melalui partai dan koalisi), tanpa terlalu mengindahkan aspek governabilitas atau cara memerintah.
Perlu diingat, kuat atau tidaknya suatu pemerintahan bukan hanya bergantung pada aspek koalisi. Namun di manapun, kebanyakan presiden yang datang dari partai minoritas memang mengalami deadlock (jalan buntu). Atau setidaknya hambatan, dalam meloloskan kebijakan pemerintahannya di parlemen – yang notabene dikuasai oleh partai mayoritas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna membangun sistem pemerintahan yang efektif. Misalnya, bagaimana merumuskan sistem pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
Jika pileg dan pilpres disatukan, maka akan lebih efektif karena preferensi publik didorong untuk memilih koalisi lebih awal. Partai-partai pun akan membangun koalisi lebih awal, sehingga koalisi tidak melulu pragmatis, dan mandat rakyat akan lebih kuat.
Desain wewenang antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) pun harus diberi garis demarkasi (pembatasan) yang lebih jelas. Ini penting karena meskipun pemerintahan terdiri dari koalisi besar (lebih dari 50 persen), namun hal itu akan menjadi percuma seandainya kewenangan eksekutif tidak tercantum secara tegas dalam konstitusi. Sebesar apapun koalisi, akan sia-sia saja bila wewenangnya tidak dipayungi oleh konstitusi yang merupakan hukum tertinggi di suatu negara.
Bayangkan saja bila pembagian tugas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak jelas. Bagaimana mungkin presiden yang hanya dibantu oleh puluhan orang menterinya, bisa melawan lebih dari 500 orang di parlemen? Dengan demikian, eksekutif akan efektif hanya bila didukung oleh constitutional power (kekuatan konstitusional).
Leadership style ( gaya kepemimpinan) juga menjadi faktor penting dalam membangun pemerintahan yang efektif. Bila seorang pemimpin tidak lincah, tidak canggih, lebih banyak diam, tidak bisa merumuskan agenda taktis dan strategis, maka bagaimana pemerintahan yang dipimpinnya bisa menyelesaikan berbagai persoalan bangsa?
Dengan demikian, sistem pileg dan pilpres, desain wewenang antara legislatif dan eksekutif, serta leadership style, merupakan beberapa faktor penting untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang kuat dan efektif. Tentu kuatnya ikatan dan komitmen dari koalisi juga tetap berpengaruh di sini.
Meninjau kemungkinan koalisi antara PDIP dan Golkar, koalisi besar antara dua gajah ini bisa saja berprospek. Namun bila koalisi terlalu kuat, dikhawatirkan check and balances antarlembaga eksekutif dan legislatif justru tidak bisa berjalan. Ini karena parlemen dikuasai oleh partai koalisi, sehingga oposisi yang merupakan minoritas di parlemen tidak bisa mengkritisi dan mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah secara efektif.
Bagaimanapun, koalisi sangat sulit dibangun dalam sistem multipartai seperti yang saat ini berlaku di Indonesia. Terlalu banyaknya partai membuat ikatan koalisi menjadi longgar. Selain itu, kohesifitas antarpartai pun menjadi lemah. Contohnya Jusuf Kalla (JK) menang pemilu dan kemudian didukung oleh PDIP secara organisasi. Benar bahwa PDIP secara formal mendukung JK. Namun tidak ada jaminan bahwa di internal PDIP tidak ada individu yang membandel dan menentang kebijakan partainya sendiri.
Disarikan dari Bima Arya Sugiarto, doktor dalam bidang ilmu politik dari Australian National University, dalam dialog ‘Membangun Pemerintahan yang Kuat dan Efisien’ di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2009.
Jum'at, 20 Maret 2009, 08:14 WIB
Direktur Eksekutif Charta Politika Bima Arya Sugiarto
Bima Arya Sugiarto
Meninjau Koalisi
news - Saat ini Indonesia memasuki fase yang sama seperti yang dialami oleh negara-negara demokrasi baru. Biasanya kegagalan negara demokrasi baru ialah mereka terlalu asyik dengan aspek representasi (perwakilan rakyat yang dikejewantahkan melalui partai dan koalisi), tanpa terlalu mengindahkan aspek governabilitas atau cara memerintah.
Perlu diingat, kuat atau tidaknya suatu pemerintahan bukan hanya bergantung pada aspek koalisi. Namun di manapun, kebanyakan presiden yang datang dari partai minoritas memang mengalami deadlock (jalan buntu). Atau setidaknya hambatan, dalam meloloskan kebijakan pemerintahannya di parlemen – yang notabene dikuasai oleh partai mayoritas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna membangun sistem pemerintahan yang efektif. Misalnya, bagaimana merumuskan sistem pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres).
Jika pileg dan pilpres disatukan, maka akan lebih efektif karena preferensi publik didorong untuk memilih koalisi lebih awal. Partai-partai pun akan membangun koalisi lebih awal, sehingga koalisi tidak melulu pragmatis, dan mandat rakyat akan lebih kuat.
Desain wewenang antara pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) pun harus diberi garis demarkasi (pembatasan) yang lebih jelas. Ini penting karena meskipun pemerintahan terdiri dari koalisi besar (lebih dari 50 persen), namun hal itu akan menjadi percuma seandainya kewenangan eksekutif tidak tercantum secara tegas dalam konstitusi. Sebesar apapun koalisi, akan sia-sia saja bila wewenangnya tidak dipayungi oleh konstitusi yang merupakan hukum tertinggi di suatu negara.
Bayangkan saja bila pembagian tugas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak jelas. Bagaimana mungkin presiden yang hanya dibantu oleh puluhan orang menterinya, bisa melawan lebih dari 500 orang di parlemen? Dengan demikian, eksekutif akan efektif hanya bila didukung oleh constitutional power (kekuatan konstitusional).
Leadership style ( gaya kepemimpinan) juga menjadi faktor penting dalam membangun pemerintahan yang efektif. Bila seorang pemimpin tidak lincah, tidak canggih, lebih banyak diam, tidak bisa merumuskan agenda taktis dan strategis, maka bagaimana pemerintahan yang dipimpinnya bisa menyelesaikan berbagai persoalan bangsa?
Dengan demikian, sistem pileg dan pilpres, desain wewenang antara legislatif dan eksekutif, serta leadership style, merupakan beberapa faktor penting untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang kuat dan efektif. Tentu kuatnya ikatan dan komitmen dari koalisi juga tetap berpengaruh di sini.
Meninjau kemungkinan koalisi antara PDIP dan Golkar, koalisi besar antara dua gajah ini bisa saja berprospek. Namun bila koalisi terlalu kuat, dikhawatirkan check and balances antarlembaga eksekutif dan legislatif justru tidak bisa berjalan. Ini karena parlemen dikuasai oleh partai koalisi, sehingga oposisi yang merupakan minoritas di parlemen tidak bisa mengkritisi dan mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah secara efektif.
Bagaimanapun, koalisi sangat sulit dibangun dalam sistem multipartai seperti yang saat ini berlaku di Indonesia. Terlalu banyaknya partai membuat ikatan koalisi menjadi longgar. Selain itu, kohesifitas antarpartai pun menjadi lemah. Contohnya Jusuf Kalla (JK) menang pemilu dan kemudian didukung oleh PDIP secara organisasi. Benar bahwa PDIP secara formal mendukung JK. Namun tidak ada jaminan bahwa di internal PDIP tidak ada individu yang membandel dan menentang kebijakan partainya sendiri.
Disarikan dari Bima Arya Sugiarto, doktor dalam bidang ilmu politik dari Australian National University, dalam dialog ‘Membangun Pemerintahan yang Kuat dan Efisien’ di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Selasa, 17 Maret 2009.
Waspadai Kerawanan di Aceh Jelang Pemilu
Menjelang pemungutan suara 9 April 2009, di Aceh suhu politik dan kriminal sama-sama meningkat. Intimidasi, teror mewarnai masa kampanye di Aceh, masyarakatpun cemas. Banyak pihak meminta pemilu di Aceh diundur saja. Situasi dan kondisi di Aceh tersebut sebaiknya segera mendapat perhatian dari aparat keamanan, bila tidak segera diatasi maka kedamaian di Aceh akan terusik.
Kepala Kepolisian Resor Aceh Utara Ajun Komisaris Besar Yosi Muamartha Yosi di Lhoksukon, Kamis (2/4), terkait permintaan partai nasional dan beberapa partai lokal di Aceh Utara untuk memundurkan jadwal pemungutan suara karena masih maraknya intimidasi dan teror, mengatakan Polisi menjamin keamanan partai nasional maupun partai lokal dari intimidasi dan teror pihak mana pun menjelang hari pemungutan suara. Polisi telah merespon permintaan partai-partai nasional di Aceh Utara yang meminta pengunduran jadwal pemungutan suara. Permintaan pengunduran jadwal pemungutan suara dari partai-partai nasional ini tengah dibahas di Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Namun tak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan terkait persoalan situasi keamanan di Aceh Utara. Sampai sekarang tidak ada laporan berkaitan dengan pidana pemilu. Pantauan polisi di lapangan juga kondisi Aceh Utara masih tergolong aman.
Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Aceh Utara, Satria Insan Kamil, mengatakan karena partai nasional meragukan jaminan keamanan dari polisi maka ada permintaan agar pemungutan suara diundurkan. Sebelumnya, hampir seluruh partai nasional yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif di Aceh Utara dan beberapa partai lokal seperti Partai Bersatu Atjeh (PBA) menuntut pengunduran jadwal pemungutan suara karena masih maraknya teror dan intimidasi terhadap peserta pemilu dan warga masyarakat (Kompas, 2/4). Polisi tak bisa menjamin peserta pemilu, terutama dari partai nasional dan partai lokal di luar Partai Aceh, aman dari intimidasi dan teror. Misalnya Polres Aceh Utara belum menangkap pelaku kasus pemukulan calon legislatif PBA Ismet Nur AJ Hasan yang diduga dilakukan kader Partai Aceh.
Lebih lanjut Satria menyatakan kalau memang polisi tak bisa menjamin tidak ada lagi teror dan intimidasi, sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundurkan jadwal pemungutan suara di Aceh Utara. Bagaimana kami mau melakukan sosialisasi ke pedalaman kalau terus diintimidasi dan diteror. Hampir semua partai nasional kesulitan untuk melakukan sosialisasi ke pedalaman karena dihalangi oleh salah satu partai lokal. Dikhawatirkan, pemilih di pedalaman Aceh Utara juga tak bisa menggunakan hak pilihnya tanpa paksaan dan intimidasi. Menyikapi kondisi ini, partai nasional dan beberapa partai lokal telah menyiapkan draft kesepakatan soal pengunduran jadwal pemungutan suara ini untuk dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, KPU dan Komisi Independen Pemilihan
(KIP) Aceh Utara.
Sementara itu, salah seorang calon legislatif DPRK Aceh Utara dari Partai Persatuan Daerah Syaiful Mahdi menuturkan, mustahil perdamaian di Aceh bisa terpelihara kalau menjelang pemilu masih ada intimidasi dan teror. Pihaknya meminta kader salah satu partai lokal untuk tidak terlalu berlebihan dalam berusaha mencari dukungan pemilih. Kita semua ini orang Aceh. Jangankan partai politik, masyarakat pun berharap demikian.
Semua pihak, baik parpol nasional maupun lokal di Aceh bisa memelihara kedamaian, terutama untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Pemilu bukan untuk mencari menang sendiri dengan menghalalkan segala cara, tetapi pemilu merupakan proses demokrasi yang baik, fair dan penuh kebersamaan demi kemajuan bangsa dan jalannya roda pemerintahan yang stabil.
Menjelang pemungutan suara 9 April 2009, di Aceh suhu politik dan kriminal sama-sama meningkat. Intimidasi, teror mewarnai masa kampanye di Aceh, masyarakatpun cemas. Banyak pihak meminta pemilu di Aceh diundur saja. Situasi dan kondisi di Aceh tersebut sebaiknya segera mendapat perhatian dari aparat keamanan, bila tidak segera diatasi maka kedamaian di Aceh akan terusik.
Kepala Kepolisian Resor Aceh Utara Ajun Komisaris Besar Yosi Muamartha Yosi di Lhoksukon, Kamis (2/4), terkait permintaan partai nasional dan beberapa partai lokal di Aceh Utara untuk memundurkan jadwal pemungutan suara karena masih maraknya intimidasi dan teror, mengatakan Polisi menjamin keamanan partai nasional maupun partai lokal dari intimidasi dan teror pihak mana pun menjelang hari pemungutan suara. Polisi telah merespon permintaan partai-partai nasional di Aceh Utara yang meminta pengunduran jadwal pemungutan suara. Permintaan pengunduran jadwal pemungutan suara dari partai-partai nasional ini tengah dibahas di Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Namun tak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan terkait persoalan situasi keamanan di Aceh Utara. Sampai sekarang tidak ada laporan berkaitan dengan pidana pemilu. Pantauan polisi di lapangan juga kondisi Aceh Utara masih tergolong aman.
Ketua Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Aceh Utara, Satria Insan Kamil, mengatakan karena partai nasional meragukan jaminan keamanan dari polisi maka ada permintaan agar pemungutan suara diundurkan. Sebelumnya, hampir seluruh partai nasional yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif di Aceh Utara dan beberapa partai lokal seperti Partai Bersatu Atjeh (PBA) menuntut pengunduran jadwal pemungutan suara karena masih maraknya teror dan intimidasi terhadap peserta pemilu dan warga masyarakat (Kompas, 2/4). Polisi tak bisa menjamin peserta pemilu, terutama dari partai nasional dan partai lokal di luar Partai Aceh, aman dari intimidasi dan teror. Misalnya Polres Aceh Utara belum menangkap pelaku kasus pemukulan calon legislatif PBA Ismet Nur AJ Hasan yang diduga dilakukan kader Partai Aceh.
Lebih lanjut Satria menyatakan kalau memang polisi tak bisa menjamin tidak ada lagi teror dan intimidasi, sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundurkan jadwal pemungutan suara di Aceh Utara. Bagaimana kami mau melakukan sosialisasi ke pedalaman kalau terus diintimidasi dan diteror. Hampir semua partai nasional kesulitan untuk melakukan sosialisasi ke pedalaman karena dihalangi oleh salah satu partai lokal. Dikhawatirkan, pemilih di pedalaman Aceh Utara juga tak bisa menggunakan hak pilihnya tanpa paksaan dan intimidasi. Menyikapi kondisi ini, partai nasional dan beberapa partai lokal telah menyiapkan draft kesepakatan soal pengunduran jadwal pemungutan suara ini untuk dikirimkan ke Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, KPU dan Komisi Independen Pemilihan
(KIP) Aceh Utara.
Sementara itu, salah seorang calon legislatif DPRK Aceh Utara dari Partai Persatuan Daerah Syaiful Mahdi menuturkan, mustahil perdamaian di Aceh bisa terpelihara kalau menjelang pemilu masih ada intimidasi dan teror. Pihaknya meminta kader salah satu partai lokal untuk tidak terlalu berlebihan dalam berusaha mencari dukungan pemilih. Kita semua ini orang Aceh. Jangankan partai politik, masyarakat pun berharap demikian.
Semua pihak, baik parpol nasional maupun lokal di Aceh bisa memelihara kedamaian, terutama untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan suara pemilu 2009. Pemilu bukan untuk mencari menang sendiri dengan menghalalkan segala cara, tetapi pemilu merupakan proses demokrasi yang baik, fair dan penuh kebersamaan demi kemajuan bangsa dan jalannya roda pemerintahan yang stabil.
Langganan:
Postingan (Atom)